Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Potret Klasik Perjuangan Moral dalam Film "Silenced"

23 Februari 2018   06:30 Diperbarui: 23 Februari 2018   13:30 10234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film "Silenced" menceritakan perjuangan Kang In Ho (diperankan oleh Yoo Gong), seorang guru baru di Sekolah Luar Biasa (SLB) berasrama bagi anak tuna rungu di daerah Mujin, yang jauh dari pusat kota. Kang In Ho dengan semangat idealis pengajar muda, berbekal rekomendasi dari seorang professor di Seoul, berangkat dengan antusias. Sayangnya yang dia temui di sana tidak sesuai harapan, sistem sekolah yang korup memaksa dia harus membayar "sumbangan pembangunan gedung". Ditambah lagi dia mulai menemukan keanehan perilaku beberapa anak di kelasnya.

Suatu hari Kang In Ho, mendengar suara teriakan dari kamar mandi asrama jauh setelah jam sekolah usai. Ketika dia menggedor pintu kamar mandi, suara teriakan seketika itu berhenti, Kang In Ho kemudian dihadang oleh sekuriti asrama karena dikira hendak masuk ke kamar mandi perempuan. Belakangan Kang In Ho baru mengetahui bahwa saat itu Kim Yeon Doo, salah seorang muridnya sedang dicabuli oleh kepala sekolah di dalam kamar mandi tersebut.

Dengan perasaan bersalah yang mendalam ditambah dengan beberapa kejadian lain yang dia saksikan sendiri, Kang In Ho kemudian bekerja sama dengan Seo Yoo Jin (diperankan oleh Jung Yumi), anggota LSM setempat untuk mendapatkan keadilan bagi para anak tuna rungu ini.

Seperempat awal bagian film ini, penonton disuguhi adegan-adegan yang bisa membuat bulu kuduk merinding, guru di sekolah memukuli seorang murid di ruang guru di depan guru lainnya tanpa ada yang menghalangi, kepala sekolah menggunakan kekuatan dan kekuasannya untuk mencabuli anak muridnya yang tuna rungu, anak-anak tersebut menceritakan detail kejadian kepada polisi dalam bahasa isyarat, dll.

Sisa dari film ini kemudian lebih membuat batin kita malu sendiri karena terasa hampir terlalu familiar. Perjuangan Kang In Ho dengan Seo Yoo Jin terus-menerus dibenturkan pada berbagai tembok penghalang antara lain: kenyataan bahwa pejabat sekolah adalah orang yang dihormati masyarakat dan gereja setempat sehingga sulit dilawan, kepolisian yang terang-terangan menolak membantu karena selalu mendapat jatah uang suap dari sekolah, pemerintah daerah dan dinas pendidikan setempat yang saling lempar tanggung jawab, hakim-jaksa-pengacara yang ternyata juga berpihak pada para tersangka dengan semangat kekeluargaan dari kampung yang sama, dll.

Film garapan sutradara Dong-hyuk Hwang ini diangkat dari novel karya Kong Ji Young berjudul Dogani  (diterbitkan tahun 2009) yang terinspirasi dari kisah nyata yang terjadi di Gwangju Inhwa School. Film ini bertahan di peringkat pertama selama 3 minggu berturut-turut di Korea, meraup pendapatan 7,8 miliar won dalam minggu pertama sejak dirilis, dinominasikan dan memenangkan beberapa penghargaan dan tembus tayang di beberapa bioskop Amerika dan Kanada.

Tetapi prestasi yang sesungguhnya adalah film ini memantik kemarahan publik atas bobroknya sistem pendidikan dan peradilan di Korea Selatan, kemudian memaksa pengadilan untuk membuka kembali kasus Gwangju Inhwa School, menetapkan hukuman yang lebih pantas bagi para pelaku dan mendorong disahkannya UU baru yang disebut Dogani Bill yang menghapus pembatasan status tindak kriminal seksual pada anak di bawah 13 tahun dan wanita disabled serta menaikkan maksimal hukuman menjadi penjara seumur hidup.

Sebelumnya dari 4 terdakwa hanya 2 yang akhirnya di penjara dengan masa hukuman kurang dari 1 tahun, sementara 2 lainnya bebas karena membayar uang damai. Setelah film ini dirilis dan kasus dibuka kembali, terdakwa diganjar hukuman 12 tahun penjara dan pemerintah Kota Gwangju akhirnya menutup SLB tersebut pada November 2011.

Sepanjang film, penonton dibombardir dengan kenyataan-kenyataan yang selama ini tidak mau kita hadapi. Sutradara tidak perlu menambahkan terlalu banyak bumbu drama di mana-mana karena plotnya sendiri sudah sangat dramatis. Kesalahan sebesar pelecehan seksual terhadap anak disabilitas begitu beratnya dilawan, mendapat tentangan dari sekian banyak pihak yang seharusnya membawa keadilan bagi masyarakat khususnya kelompok disabilitas, contohnya: polisi, guru, pemerintah, pemimpin agama, jaksa penuntut, hakim, dll.

Bahkan dalam salah satu adegan digambarkan pengacara terdakwa mengatakan "Tindakan seksual pada anak tentunya dapat terjadi atas persetujuan si anak." Miris dan menyedihkan, namun tidak bisa lebih nyata lagi. Kita sering lihat dan dengar sendiri, orang menghalalkan segala cara dan dan melogiskan semua kata-kata hanya demi membela diri dan menang di pengadilan, seakan-akan moral dan hati nurani sudah tidak ada lagi. 

Pengadilan yang tidak menyediakan penerjemah bahasa isyarat padahal kasusnya jelas-jelas melibatkan orang tuna rungu merupakan contoh kecil bahwa dari awal korban tidak berada dalam posisi yang seimbang apalagi diuntungkan.

Dari sisi korban dan sang pejuang juga bukan hal sederhana, banyak hal yang memberatkan. Kang In Ho dalam perjuangannya dibenturkan dengan kebutuhan finansialnya sebagai orang tua tunggal, setelah kasus ini merebak Kang In Ho langsung kehilangan pekerjaannya, ibunya sama sekali tidak mendukung perjuangannya karena khawatir dengan keselamatannya. Korban yang masih di bawah umur harus diwakilkan oleh keluarga dalam mengambil keputusan, keluarga korban yang memiliki kesulitan finansial dan ternyata juga memiliki keterbelakangan mental tanpa banyak tanya segera menyetujui permintaan damai dari terdakwa. 

Sudah jatuh tertimpa tangga, korban yang seharusnya menjadi sosok sentral justru seakan-akan invisible, tidak diperhatikan perasaannya apalagi kesejahteraannya. Saya tidak bisa menahan air mata saya ketika salah satu korban, Joen Min Su, histeris setelah mengetahui bahwa keluarganya sudah menandatangani perjanjian damai. Diceritakan Joen Min Su akhirnya membalas dendam sendiri kepada pelaku sekalian bunuh diri.

Mungkin jauh lebih mudah apabila pejuang keadilan adalah sosok angelik yang hidup soliter tanpa sekian banyak baggages yang harus dia pikirkan dalam hidupnya. Atau jauh lebih mudah bila korban adalah sosok robotik, yang tidak punya perasaan, tidak punya keluarga, tidak punya masa depan. Tapi bila demikian maka semuanya jadi tidak relevan dan tidak perlu diperjuangkan.

Pola pertarungan ala Daud versus Goliath seperti ini mungkin akan senantiasa terjadi sampai akhir zaman dalam perjuangan memperoleh keadilan di mana pun, hanya bedanya di sini Sang Goliat hanya dapat benjol sedikit sementara Daud babak belur plus mendapat malu dan bullying. Dan sama seperti perjuangan demi keadilan lainnya di dunia nyata, film ini pun berakhir sad ending bagi para korbannya.

Selesai menonton film ini, hati saya terasa perih tersayat-sayat. Kisah ini nyata terjadi, bukan imajinasi liar penulis skenario. Saya hanya bisa berdoa, film ini tidak menjadi nyata di negara kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun