Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Alasan Mengapa Saya Tak Ingin Punya Anak

10 Februari 2018   11:44 Diperbarui: 11 Februari 2018   13:32 4362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini, memiliki anak mulai dianggap bukan sebagai suatu keniscayaan tetapi sebagai pilihan. Makin banyak generasi muda yang memilih untuk tidak memiliki anak. Golongan baru ini tidak jarang saya temukan beradu argumen dengan sesama generasi muda lainnya yang memilih untuk punya anak.

Dari yang awalnya sekadar obrolan bersahabat bisa segera berubah menjadi debat kusir karena masing-masing berusaha mempertahankan pendapatnya. Berikut argumen-argumen ini yang biasa dikemukakan oleh grup tidak mau punya anak:

Bumi sudah overpopulasi

Yang pernah ngobrol dengan orang yang tidak mau punya anak pasti pernah mendengar alasan ini. Ini alasan klise yang sering diungkapkan tidak hanya oleh mereka tetapi juga oleh banyak politikus dan peneliti. Memang secara kasat mata, pertanda bahwa bumi overpopulasi sudah bisa kira rasakan, misal: pemanasan global, polusi, kriminalitas, penurunan cadangan sumber daya, dll.

Menurut Wikipedia, saat ini populasi manusia adalah 7,6 miliar orang, dengan pertambahan pendudukan kurang lebih 74 juta per tahun, diperkirakan pada tahun 2050 populasi manusia akan mencapai 9 miliar orang (dengan asumsi penurunan angka fertilitas dari 2,5 menjadi 2). Dengan kondisi dan perilaku manusia saat ini, kapasitas bumi menampung manusia adalah antara 4-16 miliar orang. Berarti saat ini bumi sudah mulai ada di batas waspada.

Tentunya overpopulasi akan menimbulkan sejuta permasalahan di bidang lingkungan, ekonomi, perdagangan, agraria, sumber daya, dll. Jadi alasan overpopulasi bumi adalah argumen yang cukup valid, minimal bisa diterima. Yang benar-benar serius dengan pemikiran ini bisa bergabung dengan gerakan VHEMT (Voluntary Human Extinction Movement) dari Amerika Serikat, suatu gerakan mengajak semua masyarakat untuk berhenti bereproduksi.

Tetapi pemikiran ini harus berupa gerakan massal, seperti gerakan untuk menghemat energi, misalnya: Earth Hour. Bila gerakan ini hanya dilakukan oleh segelintir orang tidak akan menimbulkan efek yang signifikan. Menurut saya pribadi, alasan ini terlalu mengawang, gak napak bumi. Katakanlah, bila semua manusia berhenti bereproduksi hari ini, manusia baru akan punah dalam waktu 70-120 tahun (dengan asumsi harapan hidup manusia di dunia yaitu 70 tahun dan manusia tertua dapat hidup sampai 122 tahun).

Alasan ini bisanya dilawan dengan argumen bahwa bukan jumlah manusianya yang memberatkan bumi tetapi perilaku dan pola konsumsinya. Mahatma Gandhi mengatakan "The world has enough for everyone's need, but not enough for everyone's greed."

Mau mengejar cita-cita dan karir

Generasi milenials terkenal dengan generasi yang sangat bersemangat mengikuti kata hati dan passion, berjuang mendapatkan apa yang mereka inginkan. Generasi X barangkali tidak bisa lagi memahami pola kerja generasi milenials ini, seringkali tidak tidur karena bekerja, duduk di kafe pencet-pencet gadget ternyata sedang bekerja, tetapi jarang terlihat stres karena semua dilakukan dengan senang hati menuju cita-cita besar di ujung jalan.

Pergerakan hidup mereka sangat cepat dan dinamis bisa jadi membuat mereka merasa tidak ada waktu dan energi untuk memikirkan hal rumit seperti pernikahan apalagi memiliki anak. Anak dianggap sebagai penghambat yang akan memecah konsetnrasi dan memperlambat langkah mereka menuju impian mereka.

Selain itu di era emansipasi sekarang ini, banyak wanita yang juga memiliki karir tidak kalah dengan para pria. Untuk memiliki seorang anak, seorang wanita harus menyediakan waktu tidak hanya 9 bulan tetapi sampai 1-2 tahun sesudahnya untuk menjaga sang anak, terkadang malah sampai bertahun-tahun akhirnya mereka tidak kembali bekerja lagi dan karir mereka akhirnya hilang begitu saja terbawa angin. Banyak wanita mulai tidak mau mengambil risiko ini.

Golongan pro punya anak tentu tidak setuju dengan hal ini, bagaimana pun muara kehidupan bukan terletak pada uang, karir atau kesuksesan materi. Di akhir hayat, manusia tentu ingin berada dekat dengan keluarga dan orang-orang terkasih. Apa jadinya masa pensiun nanti bila tidak ada anak dan cucu?

Tanggung jawab besar memiliki anak

Banyak teman saya tidak ingin punya anak dengan alasan ini. Menurut mereka, memiliki seorang anak bukanlah hal main-main, segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan matang, tidak hanya soal finansial tetapi juga mental. Mereka tidak ingin anak mereka hanya menjadi korban pelampiasan kekecewaan mereka akan kegagalan dalam hidup mereka sendiri, misalnya: dirinya gagal menjadi dokter akhirnya suatu hari memaksa anaknya harus menjadi dokter.

Atau mereka tidak ingin mengulangi kesalahan yang orang tua mereka lakukan terhadap mereka, misalnya: orang tuanya terlalu sibuk bekerja sehingga tidak ada waktu untuk anak.

Tanggung jawab merawat anak bukan hanya soal perkembangan fisiknya tetapi juga soal mendidik karakter, membangun keimanan, melatih mental, dll, dan semua harus disupport dengan ikatan ayah dan ibu yang solid dan kondisi keuangan yang stabil.

Sudah banyak sekali beredar artikel atau video di media sosial kisah orang tua yang begitu kerepotan mengurus jangankan 2-3 anak, 1 anak bayi saja sudah luar biasa melelahkan dan membuat stres. Belum lagi berita kriminalitas tentang banyaknya orang tua yang menganiaya anaknya karena tidak siap mental. Banyak orang yang memilih untuk tidak mengambil tanggung jawab ini. 

Sejuta alasan lainnya

Ada yang lebih memilih untuk mengadopsi anak atau mengangkat anak-anak asuh karena melihat penderitaan anak-anak tanpa orang tua. Ada yang memang tidak menyukai anak-anak, tidak sabar menghadapi anak-anak. Atau bahkan ada juga yang ternyata hanya berdalih, sebenarnya bukannya dia tidak mau tetapi dia tidak bisa, karena kondisi-kondisi medis tertentu.

Apapun alasannya seharusnya perkara mau atau tidak mau memiliki anak tidak perlu dijadikan topik perdebatan. Pilihan soal anak adalah ranah privat, bukan publik. Setiap orang harusnya berhak untuk memilih hal-hal apa yang ia inginkan dalam hidupnya dan hal apa yang tidak.

Seperti memilih jurusan kuliah, ada yang memilih sesuai keinginan orang tua nya, ada yang memilih seperti cita-citanya sejak kecil, ada yang memilih sembarangan karena tidak tahu ingin sekolah apa, ada yang SMA jurusan IPA tetapi memilih jurusan FISIP, ada yang memilih tidak lanjut kuliah, ada yang mengambil year gap, dll. 

Pilihan untuk menikah, atau pilihan untuk memiliki anak setelah menikah tidak seharusnya menjadi jalan hidup yang otomatis wajib dilalui, seakan-akan setiap orang harus menikah, setelah menikah harus punya anak. Ada begitu banyak variasi pilihan yang bisa diambil dalam hidup yang penuh warna ini.

Jadi setiap orang yang memilih untuk mau atau tidak mau punya anak seharusnya tidak perlu repot-repot menjelaskan kepada orang lain mengenai pilihannya karena pertanggungjawaban akan pilihannya itu adalah antara dia dengan Tuhan.

Saya sendiri bila ditanya mau punya anak atau tidak, paling hanya akan mengedikkan bahu sambil menggigit gorengan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun