Pertama kali saya mengatakan bahwa saya akan pergi kerja merantau, orang-orang berkomentar "Wah jauh banget!" Tempat perantauan saya yang pertama adalah ke Teluk Bintuni, Papua Barat.Â
Semua orang heboh bertanya-tanya mengapa saya nekat bekerja sejauh itu, ke tempat yang dipercayai sebagai daerah yang "mengerikan dan berbahaya". Mereka lalu bertanya "Gajinya besar banget ya? Tapi biaya hidup kan juga besar."
Pertanyaan itu kemudian menjadi pertanyaan yang selalu diajukan setiap kali saya pindah tempat perantauan. Setelah dari Teluk Bintuni, saya bekerja di Sumba Timur NTT, Batu Kajang Kalimantan Timur dan Sampit Kalimantan Tengah. Itu adalah daerah-daerah yang memiliki stereotip mampu memberikan penghasilan yang besar bagi pekerjanya. Tetapi kemudian disusul dengan stereotip lain bahwa biaya hidup di sana juga lebih besar daripada di Jawa.
Stereotip seperti ini tidak sepenuhnya benar. Bila dibandingkan dengan sebagian besar daerah di Jawa benar penghasilan saya lebih besar dan biaya hidupnya lebih besar tetapi bila dibandingkan dengan ibukota Jakarta pemikiran ini salah.
Setelah beberapa kali merantau, saya bisa mengambil kesimpulan begini. Pendapatan bruto saya bisa jadi sama besar atau justru lebih kecil daripada teman-teman saya yang bekerja di Jakarta tetapi saya yakin pendapatan netto saya lebih besar. Ini alasannya:
Tidak ada biaya tempat tinggal dan transport
Saya selalu melamar di tempat kerja yang memberikan fasilitas tempat tinggal dan transport. Karena saya akan bekerja di tempat yang jauh, baru pertama kali saya datangi, saya tidak punya kenalan di sana, saya tidak mau repot mencari tempat tinggal sendiri. Saya belum tahu situasi dan taraf hidup di sana, akan sangat menyulitkan bagi saya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai dengan kebutuhan dan selera saya.
Dari 4 tempat kerja saya, 3 di antaranya memberikan fasilitas tempat tinggal yang inhouse atau berdekatan dengan tempat kerjanya sehingga saya cukup berjalan kaki untuk sampai ke tempat kerja. Satu tempat sisanya memberikan fasilitas mobil antar jemput. Dengan kondisi ini, saya tidak perlu menyisihkan penghasilan saya untuk biaya tempat tinggal dan transport.
Bandingkan dengan para pekerja di Jakarta yang harus membayar kos atau biaya listrik dan air di rumah, juga biaya bensin atau transport menggunakan angkutan umum untuk pergi kerja. Saya sudah memangkas biaya pengeluaran bulanan yang cukup besar. Biaya transport saya hanya biaya tiket pesawat untuk mudik yang setahun kira-kira hanya 2-3x tetapi lebih kecil daripada pengeluaran transport sehari-hari pekerja Jakarta.
Tidak ada biaya hiburan
Saya bekerja di daerah-daerah yang belum ada wahana hiburan yang benar-benar menghibur. Saya senang menonton film tetapi di daerah saya tidak bisa nonton bioskop karena tidak ada bioskop, saya hanya menonton film di televisi, syukur-syukur ada TV kabel atau wifi untuk streaming film di laptop. Hiburan berupa wisata kuliner juga tidak banyak pilihan sehingga sebentar saja saya sudah bosan, lebih memilih untuk masak sendiri bila tidak disediakan makanan dari tempat kerja.
Di Jakarta banyak pilihan mall, tempat nongkrong dan restoran atau warung makan yang nikmat. Setiap kali saya mudik ke Jakarta, uang gaji saya mengucur deras seperti keran bocor. Sekali saya keluar untuk nonton bioskop saja minimal saya menghabiskan Rp 100.000,- untuk tiket, snack dan uang parkir.
Tidak ada biaya belanja
Nah ini yang paling penting. Kehidupan di daerah melatih saya mengurangi kebiasaan belanja. Dulu saya senang sekali berbelanja pakaian, sepatu dan parfum tetapi setelah sekian lama bekerja di perantauan, saya jadi menyadari bahwa semua benda tersebut tidak penting dipakai di daerah.Â
Saya tidak butuh selalu menggunakan baju yang up to date, saya hanya membutuhkan baju kerja yang rapi. Sepatu beragam bentuk yang saya punyai di rumah pun akhirnya nganggur tidak terpakai karena tidak cocok untuk dipakai di daerah.
Pilihan tempat berbelanja tidak semeriah di kota besar di Jawa. Salah satu cara untuk berbelanja adalah belanja online tetapi seringkali ongkos kirimnya jauh lebih besar daripada harga barangnya kecuali bila sedang promo gratis ongkir sehingga saya jadi malas sekali belanja bila sedang di perantauan. Saya hanya berbelanja barang yang penting saja bila sedang mudik ke Jakarta.
Di Jakarta, suasana belanja bisa berbahaya, bila saya tidak sadar diri, saya bisa mudah terpengaruh dengan promo diskon di sana-sini, membuat saya akhirnya membeli barang yang sebenarnya tidak saya butuhkan.Â
Mungkin ini yang terjadi dengan para pekerja di Jakarta. Awalnya mau beli barang A, keluar dari mall membawa barang B, C, D sampai Z. Belum lagi, bila diajak makan atau nongkrong oleh teman atau rekan kerja, tidak bawa uang tunai, semuanya tinggal gesek kartu tanpa sadar berapa banyak uang yang sudah dikeluarkan. Di daerah, jarang sekali transaksi bisa menggunakan kartu debit apalagi kredit.
Akhirnya setiap bulan pengeluaran saya hanya untuk makan dan keperluan dasar lainnya. Paling banyak dalam satu bulan pengeluaran saya hanya 1,5 juta, rata-rata di bawah 1 juta. Apa ada pekerja di Jakarta yang pengeluarannya serendah saya? Coba angkat tangan.
Kondisi pekerjaan setiap orang memang berbeda, gaya hidup setiap orang pun berbeda. Apa yang sampaikan dalam artikel ini mungkin tidak realistik bagi beberapa profesi lain. Saya bersyukur profesi saya sebagai dokter dihargai cukup tinggi di daerah. Tetapi seandainya pun tidak, saya tidak masalah, bagi saya uang adalah alasan nomer sekian mengapa saya senang sekali kerja merantau.
Hal yang saya dapat dari perantauan yang tidak bisa dinilai dengan uang adalah pengalaman. Saya belajar banyak hal dari merantau, mengenal ragam kehidupan berbagai suku di Indonesia, melatih kemampuan komunikasi saya dengan bermacam orang, mendapatkan banyak teman dan wawasan baru yang semuanya tidak mungkin saya dapatkan bila saya hanya berkutat di kota besar saja.
"Tetapi kamu tidak dapat pengalaman bekerja di kota besar San!" Betul, saya akui seringkali minder juga bila bertemu dengan teman-teman yang bekerja di kota besar, dengan gaya mereka yang borjuis, cara bicara mereka yang cepat dengan topik terkini, saya merasa seperti orang udik.Â
Tetapi setiap orang memiliki cara tersendiri untuk belajar dan saya merasa selalu menjadi orang berbeda setiap pulang dari perantauan. Dan bila saya bisa menjadi orang yang lebih baik, ditambah dengan pendapatan yang lebih besar, mengapa tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H