Berita tentang kejadian luar biasa meninggalnya anak-anak di Asmat karena campak dan gizi 2 minggu terakhir ini hanya membuat saya memutar mata. Ah, cerita lama, kenapa baru heboh sekarang? Gizi buruk sudah menjadi permasalahan di Papua sejak lama. Dulu waktu saya masih SD ada soal ujian yang menanyakan di mana propinsi dengan tingkat gizi buruk paling tinggi, jawabannya adalah Irian Jaya (sebelum namanya berubah menjadi Papua dan Papua Barat).
Anak-anak meninggal sia-sia di Papua merupakan makanan sehari-hari di semua pusat kesehatan di sana. Bayi datang ke RS sudah kaku karena gagal nafas ketika ibunya kesulitan melahirkan di rumah, balita diantar ke RS hanya untuk dipastikan sudah meninggal kemungkinan karena kejang di ayunan kain dan tidak diperhatikan oleh ibunya, anak usia 6 tahun tidak terselamatkan setelah jatuh ke sumur, bayi meninggal setelah dirawat seminggu di RS karena bronchopneumonia dan gizi buruk, dan masih banyak kasus kematian anak lainnya dengan kausa-kausa yang seharusnya bisa dicegah.
Bukan rahasia lagi bahwa Papua selalu menjadi daerah terpinggirkan. Entah mengapa tidak ada pemerintah pusat yang menaruh perhatian cukup pada Papua padahal Papua merupakan daerah yang sangat potensial. Baru di era pemerintahan Presiden Jokowi Papua mendapat porsi perhatian yang cukup banyak, meskipun menurut saya masih banyak ketertinggalan yang perlu dikejar. Presiden Jokowi berkunjung ke tanah Papua, bukan hanya sekali tetapi berkali-kali, bahkan sekarang jatuh cinta pada keindahan heaven on earthRaja Ampat.
Satu setengah tahun saya bekerja sebagai dokter PTT di Teluk Bintuni memberikan saya perspektif baru mengenai apa yang terjadi di Papua, meskipun tidak menyeluruh. Teluk Bintuni merupakan kabupaten pemekaran yang usianya masih sangat muda ketika saya ke sana tahun 2012. Jangan bandingkan dengan Jayapura atau Sorong yang sudah maju, kondisi Teluk Bintuni 5 tahun lalu masih belum ada apa-apa.Â
Jalan dan jembatan tengah kota masih dalam proses pembangunan, yang saya sebut dengan "kota" pun tidak bisa disebut kota, perumahan saya di Tangerang saja masih lebih luas dan berkembang dibandingkan "kota Bintuni". Listrik hanya 12 jam dan sinyal banyak tidak adanya. Jadi perspektif yang saya dapatkan merupakan sebagian kecil saja dari apa yang sesungguhnya terjadi di sana tetapi mudah-mudahan bisa memberikan pencerahan bagi kompasianer yang belum pernah ke Papua atau pergi ke Papua hanya untuk wisata atau bisnis sehingga tidak berkesempatan melihat ke dalam kehidupan warga Papua.
Apa yang terjadi dengan warga Papua sekarang ini adalah warisan buruk dari generasi pemerintahan-pemerintahan selama ini. Menurut saya ada dua permasalahan utama di Papua:
Penanganan yang tidak tepat menyebabkan pembodohan massif, sistematis dan terstruktur
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 saya anggap hanya upaya pemerintah pusat untuk menenangkan warga Papua yang makin lama merasa makin tidak diperhatikan (yang disebut dengan Papua dalam UU ini mencakup Propinsi Papua Barat juga).Â
Kebijakan yang diharapkan bisa mempercepat pembangunan di Papua sebenarnya hanya menghighlight inkompetensi warga Papua untuk membangun dirinya sendiri. Memang benar terjadi banyak pembangunan yang signifikan di Papua sejak kebijakan Otsus tersebut tetapi wujudnya tidak sesuai dengan besaran dana yang mengalir ke sana. Dana otsus yang mengalir ke sana jumlahnya bukan main-main, bila serapannya 100% benar digunakan untuk pembangunan maka hasilnya seharusnya jauh lebih banyak daripada yang ada sekarang. Kebijakan ini khususnya di bidang keuangan saya ibaratkan seperti memberikan kartu ATM kepada anak kelas 2 SD. Mereka sudah bisa menggunakan mesin ATM untuk mengambil uang tetapi belum bisa menggunakan uang tersebut dengan bijak.
Jika Anda bekerja di Papua, Anda akan merasakan perbedaan mengejutkan tentang bagaimana cara warga Papua menangani uang. Di sana uang diperlakukan seperti permen. Anda bisa melihat tumpukan uang diletakkan di tempat terbuka tanpa pengawasan seakan-akan bukan barang berharga.
Saat saya mendapat gaji pertama di Bintuni, saya dibayar dengan 3 gepok uang 50 ribuan. Itu adalah pertama kalinya saya memegang uang setebal itu. Saya pulang ke mess dengan jantung berdebar, langkah kaki cepat setengah berlari, tas saya peluk erat, saya takut dijambret di tengah jalan. Sore harinya saat saya menyetorkan uang gaji tersebut di bank, di meja teller saya bersebelahan dengan pace Papua berkaos singlet, celana pendek dan tidak menggunakan alas kaki. Beliau membawa di kantong kresek yang terlihat berat seperti baru pulang dari pasar lalu meletakkan kantong kresek tersebut di atas meja teller. Setelah dia membuka kantongnya, betapa terkejutnya saya melihat dia mengeluarkan bergepok-gepok uang berwarna merah.
Mitos-mitos seputar peredaran uang di Papua banyak saya dengar selama saya di sana.
"Dokter sudah pernah lihat uang tunai 1 milyar itu berapa banyak? Mama-mama Papua di sini bisa jadi sudah pernah lihat loh Dok."
"Mereka kalau dapat uang dari perusahaan yang memakai tanah adat mereka itu bawa pulang uang dalam karung Dok."
"Dinding kayu di rumah mereka kalau dibuka itu isinya uang Dok."
"Saya lihat sendiri Dok, uang ditumpuk di ruang tengah rumah, berantakan digigiti tikus."
Masyarakat Papua tidak memahami nilai uang karena memang uang tidak banyak berguna di sana. Sebanyak apapun uang Anda miliki di sana tidak bisa digunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan karena arus ketersediaan barang tidak pernah sampai terutama ke pelosok. Di sana, saya bahkan tidak bisa membeli air mineral gallon bermerk, bukan karena saya tidak ada uang tetapi karena barangnya  tidak didistribusi sampai ke sana.
Lemahnya infrastruktur membuat kebutuhan pokok pun sulit didapat. Akhirnya uang hanya dibiarkan begitu saja, paling banyak dibelanjakan untuk minuman keras yang memang banyak beredar di sana.
Jadi kalau ada yang menganggap bahwa gizi buruk terjadi di Papua karena Papua miskin, itu salah besar! Papua sangat kaya, seharusnya tidak ada masyarakat yang kekurangan makan di sana tetapi infrastruktur yang unsustainable dan tidak merata membuat warga Papua tidak bisa mendapatkan fasilitas yang menjadi hak asasi mereka, termasuk pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini terjadi puluhan tahun sehingga sudah membentuk suatu budaya dan karakter masyarakat.
Budaya yang saya maksud adalah budaya korup
KPK silakan meluncur ke Papua, di sana bisa panen raya. Saya lihat sendiri sejawat senior saya yang awalnya adalah dokter yang idealis bahkan pernah menjadi dokter teladan tingkat nasional, setelah kembali ke Papua menjadi PNS kemudian pelan-pelan berubah haluan menjadi aparat yang korup karena dibawa arus. Setiap ada dana program yang cair, semua pihak mendapat jatah, suka tidak suka, mau tidak mau. Anda mungkin sudah tidak bisa membedakan lagi, mana uang yang menjadi hak Anda mana yang bukan.
Kasus rekening gendut Aiptu Labora Sitorus hanya satu contoh kecil budaya korup di Papua. Uang yang mereka dapatkan hanya beredar di kantong-kantong pejabat pemerintah, tidak pernah sampai pada masyarakat pelosok dan tidak pernah terwujud menjadi pembangunan yang berkualitas. RSUD Teluk Bintuni tanahnya luas, bentuk bangunannya mentereng, tetapi belum sampai setahun sudah ada tembok yang jebol dan plafon yang ambruk.
Oleh karena itu, langkah Presiden Jokowi konsentrasi membangun infrastruktur secara gencar di Papua dan mengusahakan harga sama untuk kebutuhan-kebutuhan pokok di Papua merupakan solusi jitu bukan hanya untuk percepatan pembangunan di Papua tetapi juga untuk inisiasi revolusi mental warganya. Banyaknya hambatan mendapatkan bahan-bahan untuk pembangunan di Papua dan medan yang terlalu sulit untuk mengantar bahan tersebut ke area terpencil membuat pejabat pemerintah daerah malas untuk berusaha lebih. Ujung-ujungnya bila diprotes mengenai kinerjanya paling hanya dijawab "Itu sudah!" sambil mengunyah sirih pinang.
Penanganan segala permasalahan di Papua tidak bisa musiman, hanya bila ada wabah atau kejadian luar biasa, hanya bila ada perang antar suku dan kerusuhan atau hanya bila mendekati pilkada. Orang ramai PDKT alias pendekatan pada warga Papua, berbondong-bondong memberikan bantuan, media dijadikan panggung pencitraan padahal yang dilakukan tidak menyentuh akar permasalahan. Kira-kira hanya satu minggu setelah merebak berita kejadian luar biasa gizi buruk di Asmat, saya membaca newsticker di salah satu channel berita nasional: Menkes menyatakan kasus gizi buruk di Asmat sudah teratasi. Bull to the s**t! Kasus gizi buruk di Papua tidak akan selesai teratasi selama belum ada infrastruktur yang memadai dan merata di Papua.
Lalu muncul iklan provider telekomunikasi nasional yang menyatakan sinyal lancar sudah sampai di Papua berkat teknologi 4G LTE. Aduh, bo'ongnya kejauhan, di pelosok Papua SMS saja tidak bisa. Sudahlah, stop menjadikan Papua boneka untuk kepentingan bisnis dan politik kalian, kerja nyata untuk membantu dan membangun Papua!
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H