Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Saya Bertahan Hidup di Tengah Hutan

5 Januari 2018   12:37 Diperbarui: 5 Januari 2018   14:07 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka saya meminta bantuan kepada warga setempat untuk membantu memperbaiki pompa air milik puskesmas, agar bisa disambungkan dengan selang langsung ke kamar mandi rumah dinas saya. Selain itu saya juga meminta dipasangkan keran pada profil tank di belakang rumah dinas saya agar saya bisa menggunakan air hujan yang ditampung di situ. Alhasil, saya memiliki 2 sumber air yang bisa saya gunakan.

Saya juga minta bantuan dari kepala puskesmas saya agar anak perempuannya mau tidur di rumah saya untuk menemani saya. Terus terang saja, saya takut juga tinggal sendirian di rumah dinas di tengah hutan.

Coba bayangkan bila saya tidak bisa mengkomunikasikan segala permasalahan saya dan menemukan solusi dengan bantuan warga sekitar. Mungkin badan saya sudah berotot karena setiap hari harus mengangkat ember air dan saya sudah berteman baik dengan gendruwo atau kuntilanak dari hutan Tuhiba.

Kemampuan lain yang tak kalah penting adalah kemampuan mencari kegiatan. Jam operasional puskesmas Tuhiba biasanya antara jam 8 pagi sampai jam 12 siang. Setelah puskesmas tutup, saya harus mencari kesibukan agar tidak bosan di dalam rumah tanpa listrik sampai Maghrib nanti. Saya biasanya membaca banyak buku karena membaca adalah salah satu hobi saya. 

Kadang-kadang saya menjahit cross stitch untuk hiasan taplak meja atau sarung bantal di rumah. Kalau sore-sore sudah tidak terlalu panas saya berkebun, menanam singkong, ubi atau kangkung. Ya, lumayan buat saya masak kalau sayur yang saya bawa dari kota sudah habis. Kalau listrik sudah menyala, baru saya bisa menonton televisi.

Sebenarnya hidup di pedalaman seperti di Tuhiba sangat menyenangkan. Suasananya tenang sekali. Tidak ada yang memburu-buru atau bekerja tergesa-gesa karena waktu bukan uang di sana. Waktu dijalani dengan seperlunya, sesuai kebutuhannya, sesuai kenyamanannya. Semua warga saling mengenal, semua warga bersedia saling membantu. 

Tetapi saya biasanya tidak bisa tinggal terlalu lama di sana, berkaitan dengan bahan makanan. Biasanya dalam 2 minggu bahan makanan saya sudah habis jadi saya harus kembali ke kota. Maka, sehari atau 2 hari sebelum rencana saya kembali ke kota, saya akan mampir ke rumah pegawai PLN, menumpang cari sinyal di beranda rumahnya dekat tiang rumah sebelah kiri untuk menghubungi Pak Akis untuk menjemput saya kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun