Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Saya Bertahan Hidup di Tengah Hutan

5 Januari 2018   12:37 Diperbarui: 5 Januari 2018   14:07 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama 1 tahun 3 bulan saya mengabdi sebagai dokter PTT di Teluk Bintuni, Papua Barat. 1 tahun saya mengabdi di RSUD Teluk Bintuni dan 3 bulan sisanya saya mengabdi di Puskesmas Tuhiba, salah satu distrik di Bintuni. Distrik Tuhiba berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Bintuni dengan perjalanan darat, naik ke arah gunung.

Akses ke Tuhiba berupa jalan pasir atau tanah relatif baik bila cuaca cerah, tetapi jadi nestapa bila cuaca hujan. Perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam 1 jam naik ojek, bisa jadi 2-3 jam dengan naik turun ojek alias harus jalan kaki sebagian menembus lumpur. Tetapi distrik Tuhiba merupakan salah 1 distrik terdekat dari kota Bintuni, jadi ini masih belum apa-apanya dibanding rekan sejawat saya yang lainnya.

Di Tuhiba, listrik hanya menyala 12 jam sehari dengan tenaga diesel. Mulai dari saat mulai gelap sampai subuh kira-kira jam 5 pagi. Tidak ada warga yang memiliki genset sendiri. Hanya puskesmas yang mempunyai genset tetapi itu pun sudah rusak. Lagipula BBM mahal jadi tidak efisien menggunakan genset untuk operasional puskesmas.

Hampir tidak ada sinyal sama sekali di sana, kecuali di beranda rumah pegawai PLN, di dekat tiang rumah sebelah kiri.

Untuk permasalahan air, ada beberapa sumur di desa. 1 sumur bisa digunakan untuk beberapa rumah bersama-sama tetapi air sumur ini juga biasanya menjadi keruh kalau hujan jadi saya lebih suka menggunakan air hujan.

Untuk berangkat ke Tuhiba, saya sudah punya ojek langganan (berkat info dari dokter Tuhiba sebelumnya). Namanya Pak Akis. Beliau adalah ojek spesialis akses arah gunung. Motornya sudah dimodifikasi, bannya sudah diganti racing supaya bisa melewati segala macam rintangan ke arah gunung. 

Keahliannya bisa saya katakan mengalahkan atlet motocross atau downhill karena beliau bisa melewati area lumpur, yang menurut saya tidak mungkin dilewati dengan mulus tanpa membuat saya harus turun dari motor. Jangan lupa bukan hanya saya yang diangkutnya, tetapi juga segala bawaan saya: air 1 galon, telur 1 rak, bahan-bahan makanan saya yang lainnya dan obat-obatan. Biayanya hanya 50 ribu rupiah kalau ke Tuhiba.

Di Tuhiba, hanya ada 1 warung makan, menjual bakso. Jadi untuk makanan saya sehari-hari saya harus masak sendiri. Yups, ini mungkin sedikit mengejutkan bagi orang-orang. Bahkan termasuk sahabat-sahabat sendiri, karena dari penampilan luar saya terlihat seperti orang yang bila memasak air pun gosong. 

Harus saya akui, memasak memang bukan hobi saya. Saya tidak punya ketelatenan a la masterchef untuk menghias piring makan saya, tetapi saya sangat bisa memasak. Bagi saya, yang terpenting makanan itu bisa saya makan (tanpa membuat saya diare atau keracunan). Saya mulai belajar memasak saat saya kuliah. 

Awalnya memang horor, masak kangkung tidak cukup matang, masak sup rasa obat cina, tetapi lama-kelamaan dibantu oleh Chef Farah Quinn dengan jargonnya "This is it!", saya mulai bisa memasak. Sampai saat saya harus tinggal di hutan Tuhiba, saya sudah bisa memberi makan diri saya sendiri.

Kemampuan lain yang cukup membantu saya di sana adalah kemampuan berkomunikasi yang baik. Sumur yang bisa saya pakai berada kira-kira 50 meter dari rumah dinas saya. Badan saya kecil, saya tidak sanggup kalau harus bolak-balik mengangkat ember berisi air untuk kebutuhan saya mandi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun