Seorang wanita harus punya suara dalam aktivitas seksualnya, dia berhak didengar kapan dia mau dan tidak mau berhubungan seksual, dimana dan bagaimana dia berhubungan seksual, alat kontrasepsi apa yang ingin dia gunakan, dll. Perempuan harus dipandang sebagai manusia yang memiliki kebutuhan biologis, bukan hanya sebagai asset dan budak seks. Pandangan ideal ini sering jadi kabur tertutup kabut legalitas pernikahan.
Banyak orang mengaku lebih bisa mencapai kepuasan dan menikmati hubungan seksual sebelum atau di luar pernikahan. Mungkin karena ini. Seorang laki-laki merasa superior saat menjadi suami. Ajaran agama bahwa istri harus tunduk dan hormat pada suami seringkali dimaknai secara salah.Â
Salah satu cara istri untuk menghormati otoritas suami adalah dengan menyuarakan pendapat dalam segala hal, mengangkat diskusi dan komit menjalankan keputusan bersama karena dengan demikian kita menganggap pasangan kita seimbang dengan kita, bahwa dia layak mendengarkan pendapat kita dan tanggapan mereka penting bagi kita. Sayangnya situasi ideal seperti ini masih jarang terjadi.
Pernikahan adalah komitmen jangka panjang tetapi persetujuan dalam setiap aktivitas sehari-hari wajib ada antar pasangan suami istri, termasuk mengenai hubungan seksual.Â
Bahkan dalam hubungan apapun yang melibatkan aktivitas seksual yang rutin, persetujuan tetap harus selalu ada. Tidak ada yang namanya satu persetujuan untuk selama-lamanya.
Jika hari ini saya setuju berhubungan seksual dengan Anda, besok saya berhak tidak setuju, lusa saya berhak punya pendapat lain lagi. Persetujuan bahkan harus ada dalam setiap fase kegiatan seksual.Â
Jika seorang perempuan sudah setuju berhubungan seksual dengan Anda, lalu Anda berdua sudah sama-sama melepas pakaian, tiba-tiba dia tidak mau, dia membatalkan persetujuannya, Anda tidak boleh memaksa (kecuali membujuk) karena jika Anda memaksa berarti Anda memerkosa dia, terlepas apakah dia istri Anda atau bukan.
Memahami hal ini, jika kita kembali pada skenario ketiga tadi, konteksnya jadi kurang lengkap bukan? Hanya dengan konteks bahwa mereka adalah pasangan suami istri tidak menghilangkan kemungkinan pemerkosaan masih bisa terjadi. Masih harus ada konteks yang ditambahkan yaitu apakah ada persetujuan dari kedua belah pihak.
Persetujuan adalah syarat mutlak hubungan seksual tidak dikategorikan sebagai perkosaan, bukan cinta dan bukan juga pernikahan. Mari kita pahami bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H