Beberapa hari terakhir ini, masyarakat dihebohkan dengan pemberitaan mengenai seorang suami yang tega membakar dan memutilasi istrinya sendiri karena istrinya terus-menerus mendesak minta dibelikan mobil.Â
Semua orang pasti terhenyak mendengar berita ini, tega sekali si suami. Saya pribadi rasanya sudah mati rasa mendengar berita seperti ini. Menonton berita kriminal yang biasa ditayangkan tengah hari, sebagian besar isinya kurang lebih seperti itu.Â
Seseorang dibunuh oleh orang yang sudah dikenalnya hanya karena orang tersebut marah atau sakit hati terhadap tindakan atau perkataan korban. Bahkan kita semua pasti masih ingat dengan cerita seorang wanita yang dibunuh oleh pelanggannya saat sedang berhubungan seksual karena perempuan tersebut mengatai si pelanggan bau badan.
Semua berita ini tentu saja miris, nyawa seseorang dengan mudahnya bisa melayang hanya karena salah omong atau salah gerak. Terlepas dari apakah pelaku memiliki gangguan mental atau tidak, bagi saya yang lebih miris adalah fakta banyaknya orang dewasa yang tidak bisa mengelola kemarahannya dengan sehat. Bagaimana seseorang bisa begitu marah mendengar satu kritik atau hinaan lalu langsung mengambil langkah membunuh orang tersebut? Well, that escalated quickly.
Saya pernah bekerja di sebuah RS dengan direktur RS yang punya masalah kronis dengan manajemen amarah. Di hari-hari biasa, beliau adalah orang yang cukup humoris dan dokter yang sangat terampil sekali, tetapi emosinya sangat mudah terpancing bahkan terhadap hal-hal kecil sekalipun terutama bila moodnya sedang tidak baik.Â
Dan bila sudah marah, beliau tidak segan untuk melempar atau memukul barang, juga melontarkan kata-kata kasar bahkan bisa di depan pasien-pasien. Dari kontrak kerja saya yang seharusnya 2 tahun, saya akhirnya mengundurkan diri di tahun pertama. Bagi saya, bekerja bukan hanya untuk mencari uang tetapi juga untuk menambah pengalaman dan meningkatkan ketrampilan saya.
Saya sangat tidak nyaman bekerja bersama beliau dan sulit bagi saya untuk bisa mempercayai seseorang yang tidak bisa mengendalikan amarahnya. Bagaimana dia bisa mengatur sebuah institusi yang besar apabila mengatur internal dirinya sendiri saja dia tidak bisa?
Saya yakin orang-orang seperti mantan bos saya itu juga pernah ditemui oleh pembaca semua. Entah itu bos kita, guru kita, suami kita, senior kita bahkan orang tua kita sendiri.Â
Coba dibuat daftarnya berapa banyak orang dalam hidup kita yang mempunyai masalah manajemen amarah ini. Betapa mengerikannya bahwa orang-orang yang kepadanya seharusnya kita bisa berguru, yang seharusnya menjadi teladan, memberikan arahan dan bimbingan kepada kita ternyata masih bermasalah dengan salah satu emosi paling dasar dalam diri manusia.
Manusia memiliki beberapa emosi dasar (masih belum ada kesepakatan resmi mengenai hal ini, ada yang menyebut 4, 6, 7 bahkan 10). Tetapi saya berusaha menyampaikan berdasarkan hal yang paling mudah kita ingat yaitu film kartun Disney Inside Out.Â
Dalam film tersebut, digambarkan bahwa ada 5 emosi dasar dalam diri manusia yaitu rasa gembira, rasa sedih, rasa jijik, rasa takut dan terakhir rasa marah. Kelima emosi ini sudah ada dalam diri manusia sejak manusia diciptakan.
Semua orang dewasa yang memiliki anak pasti pernah merasakan bagaimana repotnya menghadapi anak yang sedang tantrum atau meledak emosinya alias 'ngamuk'.Â
Padahal permasalahannya super sepele dan absurd misalkan karena susu yang dia minum tidak berwarna pink. Lalu kita bertanya-tanya, dari mana anak sekecil itu bisa belajar menjadi marah seperti itu?Â
Jawabannya karena rasa marah bukanlah rasa yang dipelajari tetapi rasa yang memang ada dalam diri manusia dan akan selalu ada sampai kita mati, rasa ini perlu dan penting ada demi keberlangsungan hidup manusia. Karena itu kita tidak bisa menghindar atau menghilangkan rasa ini, kita hanya bisa mengelolanya.
Menurut saya, rasa marah harus disalurkan secara sehat. Ini adalah konsep saya pribadi mengenai rasa marah yang sehat, mengacu pada 5W1H:
What
Seseorang harus mampu melokalisasi kemarahannya terbatas pada topic yang membuat dia marah saja. Jangan merembet pada hal-hal yang sudah lalu, atau berandai-andai menjadi skeptic dan terlalu curiga akan masa depan.
Why
Kita harus tahu dengan jelas kenapa kita marah terhadap seseorang atau suatu kondisi dan kita harus bisa menjelaskan hal itu kepada orang tersebut, bukan hanya marah secara membabi buta tak jelas arah hanya karena mood yang sedang tidak baik.
When
Rasa marah harus disalurkan pada saat yang tepat yaitu pada saat persoalannya masih relevan, bukan ketika sudah jadi basi atau diungkit-ungkit lagi ketika ada permasalahan lain.
Who
Marahlah pada orang yang bersangkutan dan hanya kepada dia saja. Jangan melebar ke orang-orang lain yang tidak ada hubungannya, bahkan dibawa pulang sampai ke rumah, berlanjut marah kepada orang-orang di rumah.
Where
Pilihlah tempat yang privat di mana Anda bisa melokalisasi amarah tersebut tanpa menjadikannya tontonan public. Tidak perlu mengumbar amarah Anda untuk mengintimidasi orang yang Anda marahi atau orang-orang di sekitar.
How
Marahlah untuk tujuan yang sehat dan baik. Anda perlu marah untuk melepaskan emosi dalam diri Anda, agar orang lain tahu apa yang Anda rasakan dan agar mereka bisa memperbaiki segala sesuatu agar hal yang membuat Anda marah tidak terulang lagi di masa depan.Â
Semua ini bisa dibicarakan baik-baik, tidak perlu dengan kata-kata kotor atau binatang, apalagi dengan kekerasan fisik. Marahlah sampai Anda merasa lega, Anda bisa memukul bantal atau berteriak di ruang kedap suara. Sesudah Anda merasa tenang, kembalilah beraktivitas seperti biasa, tidak perlu melebih-lebihkan alias lebay. Yang sudah selesai, selesai.
Mudah sekali bagi saya untuk menyampaikan hal ini seakan-akan saya sudah ahli mengendalikan amarah saya. Kenyataannya saya masih bermasalah dalam hal ini tetapi bukan marah yang meledak-ledak.Â
Saya justru tidak bisa menyampaikan amarah saya ke luar. Saya memendam semuanya di dalam, hanya menegur ringan kepada orang yang membuat saya marah, tetap tersenyum, padahal dalam hati membara. Bila sudah tak tertahankan, saya hanya bisa menangis. Ini juga bukan manajemen amarah yang sehat.Â
Saya menumpuk kemarahan saya, tidak menyampaikannya kepada orang yang bersangkutan, tidak menyalurkannya melainkan menekan dan mengacuhkan rasa marah saya, sampai suatu saat tiba-tiba saya tidak mau lagi bicara dengan orang tersebut dan orang itu saya tinggalkan menganga kebingungan kenapa tiba-tiba saya menjauh.
Saya tidak pernah diajari tentang bagaimana caranya mengelola amarah saya, bahwa saya boleh dan wajar untuk marah, tetapi ada caranya, ada aturannya.Â
Saya hanya dilatih untuk menjadi perempuan yang sabar dan murah senyum. Saya yakin pembaca semua juga tidak ada yang pernah diajari tentang manajemen amarah. Padahal persoalan ini harus diajari sejak kecil, dilatih terus-menerus, sejak anak mulai tantrum karena pada dasarnya tantrum adalah amarah yang tidak bisa dikendalikan. Di masa dewasa, tantrum ini menjadi tindakan anarki, tindakan kekerasan bahkan pembunuhan.
Setiap orang harus mempelajari mengenai hal ini. Belajar mengelola semua emosi dasar dalam diri kita, terutama amarah. Karena amarah yang tidak dikelola dengan sehat sangat berbahaya baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.Â
Silakan dilihat sendiri di berita, kalau ada waktu dihitung berapa banyak nyawa melayang karena amarah yang tidak terkelola baik, berapa banyak orang jadi gila karena amarah yang menumpuk dalam diri, berapa banyak tidakan anarki karena sekelompok orang yang penuh amarah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H