Potensi Pengolahan Hutan Sagu 6,6 Juta Hektar Menjadi Gula Sagu
Indonesia memiliki 6,6 juta hektar hutan sagu yang belum termanfaatkan secara optimal, terutama di Papua, Maluku, dan Sulawesi. Dengan pemanfaatan sagu sebagai produk gula dapat menjadi solusi berkelanjutan untuk mengurangi tekanan pembukaan lahan baru, yang seringkali memicu deforestasi dan konflik lahan. Dengan mengolah sagu menjadi gula, Indonesia tidak hanya menghemat lahan tetapi juga memperkuat ketahanan pangan yakni produk gula berbasis sumber daya lokal.Â
Mengapa Sagu Lebih Unggul daripada Tebu?
1. Efisiensi Lahan
  - Dimana Luas Hutan Sagu: 6,6 juta hektar hanya sebagian kecil yang sudah dimanfaatkan.Â
  - Produktivitas Gula: Sagu berpotensi menghasilkan 20-25 ton pati/hektar/tahun*, setara dengan 10-12 ton gula/hektar, jauh lebih     tinggi daripada penghasil gula lainnya 5-8 ton gula/hektar/tahun.
2. Ramah LingkunganÂ
  - Sagu tumbuh alami di lahan gambut dan rawa tanpa perlu pembabatan hutan baru.Â
  - Budidaya sagu tidak memerlukan pupuk kimia intensif seperti tanaman penghasil gula lainnya.Â
3. Mengurangi Deforestasi
  - Pemanfaatan sagu menghindari konversi 2-3 juta hektar lahan baru untuk Perkebunan penghasil gula lainnya dimana target produksi gula nasional 2025: 3,5 juta ton.
Apakah anda tahu ? Gula sagu mempunyai beberapa kelebihan dari Gula Tebu, yakni rendah kalori, berIndex glikemik rendah, mengandung mineral dan nutrisi yang tidak ada pada gula sagu serta rasa manis yang unik, selain itu kita mendukung ketahanan pangan Indonesia , menghemat devisa karena mengurangi import serta engurangi alih fungsi lahan dikarenakan tidak memerlukan lahan baru untuk meningkatkan produksi gula. jadi apalagi yang perlu dipertimbangkan !!
Aspek Aspek Industri yang menjadi bahan pertimbangan, antara lain :
1. Faktor Gula sagu bisa menjadi substitusi Impor Gula
  - Indonesia masih impor 3,2 juta ton gula/tahun (data BPS, 2023). Produksi gula sagu bisa menutupi 30-40% kebutuhan ini.Â
2. Faktor keunggulan Biaya Perawatan Perkebunan/Hutan Sagu daripada Tebu
  - di estimasi Biaya produksi gula sagu 30-40% lebih murah daripada gula tebu karena bahan baku melimpah dan minim perawatan.Â
3. Faktor Insentif Pemerintah
  - Dukungan program hilirisasi sagu (Perpres No. 18/2020) dan tax holiday untuk energi terbarukan.Â
4. Dipandang dari Analisis EkonomiÂ
  - Hitung penghematan lahan: 1 juta hektar sagu terkelola sama dengan 2 juta hektar lahan tebu baru yang tak perlu dibuka.Â
  - Proyeksi pendapatan:Â
   - Harga gula sagu: Rp15.000/kg 10.000 ton/tahun = Rp150 miliar/tahun.Â
   - Harga bioetanol: Rp12.000/liter 5 juta liter/tahun = Rp60 miliar/tahun.Â
Dengan memproduksi gula sagu kita bisa menghemat devisa negara , impot bisa dikurangi secara maksimal.
5. Dipandang dari sudut kacamata ESG (Environmental, Social, Governance)
  - Environmental: Menjaga hutan, mengurangi emisi karbon dari deforestasi.Â
  - Social: Menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal.Â
  - Governance: Mendukung program pemerintah dalam ketahanan energi.Â
Dengan memanfaatkan 6,6 juta hektar hutan sagu yang terlantar, Indonesia bisa menjadi pemain global dalam industri gula dan bioetanol berkelanjutan, sekaligus menghentikan alih fungsi lahan hutan untuk perkebunan Tebu tambahan  . Investasi di sektor ini bukan hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga menjadi warisan untuk masa depan hijau.
Â
"Selamatkan hutan, hemat lahan, raih keuntungan dengan sagu, kita bisa memproduksi gula dan energi tanpa merusak Alam!" Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI