Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Masyarakat Tidak Disiplin, Inggris Lockdown, Jangan Salahkan Rakyat?

27 Juli 2020   11:30 Diperbarui: 27 Juli 2020   11:54 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Inggris pada Senin (23/3/2020) mengumumkan lockdown selama 3 minggu, untuk mencegah penyebaran wabah covid19 yang semakin meningkat. Lockdown ala Inggris adalah dengan penutupan toko serta layanan yang "tidak penting", dan melarang pertemuan lebih dari dua orang. Lockdown diumumkan setelah pemerintah kecewa aturan social distancing untuk mengurangi penularan virus, tidak dipatuhi masyarakat. 

Masyarakat Inggris masih banyak berkerumun menikmati sinar matahari akhir pekan di taman kota dan pedesaan. Hal ini mendorong pemerintah Inggris membuat aturan lebih keras. Bukan hanya dilakukan masyarakat Indonesia, negara majupun seperti Inggris masyarakatnya ternyata juga tidak disiplin. 

Bedanya saat Inggris kasusnya meningkat dan masyarakat tidak disiplin langsung lakukan lockdown. Di Indonesia justru  PSBB dilonggarkan dan rakyat yang disalahkan. Fenomena tersebut paling tidak bisa dijadikan inspirasi untuk bahan diskusi bagi masyarakat dan penentu kebijakan di negeri manapun dalam penanganan wabah.

Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, telah mengumumkan lockdown 3 minggu untuk mencegah penyebaran virus corona. Lockdown yang mulai diterapkan Senin (23/3/2020) itu menganut gaya Italia yang masih memperbolehkan warganya keluar rumah dengan beberapa alasan. 

Bila di Indonesia PSBB  di Inggris lakukan lockdown yang berbeda. Diantaranya adalah dilarang keluar rumah kecuali untuk belanja kebutuhan pokok, itu pun harus jarang dilakukan. Hanya dibolehkan melakukan satu bentuk olahraga sehari di luar, seperti berlari atau bersepeda, baik sendiri atau dengan anggota rumah. 

Boleh keluar rumah untuk membeli kebutuhan medis. Boleh keluar rumah hanya untuk pekerjaan yang tidak bisa dilakukan di rumah. Para warga tidak diizinkan keluar rumah selama tiga minggu ke depan. Larangan termasuk untuk bertemu teman, belanja kebutuhan yang tidak mendesak, dan perkumpulan orang dengan jumlah banyak. Hukuman jika melanggar Apabila ada warga yang melanggar aturan lockdown ini, polisi akan menjatuhkan denda pada pelanggar tersebut. 

Pihak berwenang juga akan memaksa toko-toko yang tidak menjual kebutuhan pokok untuk tutup. Toko-toko yang dimaksud termasuk salon rambut dan kuku, dan semua pasar (selain makanan). Tempat yang yang juga harus tutup adalah perpustakaan, gim terbuka dan taman bermain, serta gereja atau tempat ibadah lainnya. 

Kemudian hotel, pujasera, tempat perkemahan dan taman karavan juga akan ditutup. Segala pertemuan publik lebih dari dua orang dilarang, kecuali jika orang-orang tersebut berbagi tempat tinggal. Semua acara sosial pun mendapat larangan digelar termasuk pernikahan dan pembaptisan, tapi pemakaman tetap diizinkan untuk dilakukan. 

Jangan Salahkan Masyarakat Tidak displin, Tapi lakukan Peraturan Isolasi atau Pembatasan Umum Sosial

Para pakar epidemiologi di seluruh dunia pasti sepakat baawa untuk menanganani wabah bila kasusnya masih tinggi atau cenderung meningkat tinggi sebaiknya tidak buru buru meneriakkan New Normal atau PSBB dilonggarkan. Kontoversi penetapan Lockdown dan tidak di manapun di dunia akan menimbulkan kontroversi panjang. Tetapi bila tidak melakukan Lockdown yang ketat seperti Singapura, Malaysia atau China dapat dilakukan lockdown ala Inggris atau PSBB ala Indonesia. 

Tetapi apapun istilahnya saat peningkatan kasus maka potensi kerumunan masyarakat harus diantisipasi dan dihindari. Penanganan hal itu caranya bukan dengan menyalahkan masyarakat tidak disiplin tetapi melakukan aturan pembatasan jumlah kerumunan atau kepadatan masyarakat di tempat umum. 

Perbedaan kebijakan DKI Jakarta yang melakukan PSBB transisi saat kasus menurun dan penghentian PSBB di Surabaya saat kasus masih tinggi bisa jadi bahan diskusi dan evaluasi penanganan wabah. Karena, saat itu terjadi kasus di Surabaya langsung melonjak tinggi hingga disebut daerah merah kehitaman.

Hal penting lainnya ketika istilah New normal yang pernah diucapkan pejabat padahal kondisi epidemiologis Indonesia belum waktunya, Bahkan hingga sampai saat inipun masih terus diterikakan oleh media dan banyak orang. Hal ini yang membuat masyarakat lebih meremehkan wabah yang semakin meningkat ini dan dianggap sudah berlalu. Bila pikiran salah itu terus melekat erat pada sebagian masyarakat, maka bisa saja hal ini adalah salah satu penyebab utama ketidakdisplinan masyarakat.

Memang tidak mudah untuk dapat mengharapkan masyarakat untuk disiplin secara penuh untuk mentaati social distancing saat dalam kerumunan yang padat. Apalagi bila tidak dilakukan aturan karantina, isolasi atau pembatasan ketat kerumunan masa saat kasus wabah semakin meningkat. 

Saat tidak dilakukan karantina atau pembatasan maka wajar masyakat dimanapun di dunia akan eforia karena sebelumnya sempat terkurung lama di rumah. Saat mall dibuka, tempat pariwisata dibuka , tranportasi dibuka, bandara dibuka maka langsung terjadi kerumunan masyarakat yang banyak dan padat, Dalam kondisi seperti ini sulit melakukan social distancing. Akhirnya , masyarakat yang disalahkan.

Selama ini ketidak disiplinan masyarakat Indonesia selalu dianggap biangnya wabah covid19 yang semakin menigkat berkepanjangan di negeri ini. Saat CFD di jakarta, bandara dibuka, dan pariwisata dibuka maka rakyatpun berbondong bondong keluar memadati tempat umum tersebut. Ternyata di negera maju seperti Inggris, Perancis bahkan Amerika juga seperti itu. Di Perancis saat transportasi udara dibuka bandara langsung dipadati masyarakat Perancis. 

Di Inggris saat tidak ada aturan karantina tempat tempat keramaian mulai penuh. Begitu juga di Amerika dan beberapa negara Eropa saat pariwisata dibuka pantai dipenuhi oleh masyarakat yang bergerombol karena tidak bisa menampung jumlah pengunjung. Cara penanganan masalah tersebut sebenarnya tidak rumit. Saat kasus di Jakarta CFD dihentikan atau di Inggris dilakukan lockdown maka kepadatan masyarakat itu akan  berkurang drastis.

Dalam keadaan seperti itu sebaiknya pemerintah, media atau masyarakat sendiri tidak harus langsung menyalahkan disiplin masyarakat. Di manapun tempat di dunia saat tempat keramaian dibuka tanpa aturan pembatasan jumlah pengunjung akan susah mengatur social distancing. Bahkan di tempat negara dengan masyarakat yang terkenal disiplin. Maka pengalaman di Inggris, Perancis dan Amerika jadi inspirasi pemerintah dan masyarakat. 

Saat kasus meningkat, bukan menyalahkan masyarakat tetapi harus segera lakukan karantina, PSBB. Lock Down atau apapun namanya untuk meminimalkan kontak antar masyarakat. Bila tidak bisa melakuan lockdown atau karantina paling tidak lakukan PSBB atau pembatasan ketat jumlah pengunjung di tempat keramaian. Bukan hanya sekedar menyalahkan ketidakdisiplnan masyarakat. 

Wabah Covid19 ini memang bukan hal yang mudah karena baru pertama kali sejak 100 tahun dunia mengalaminya lagi. Pengalaman baik dan pengalaman buruk negara lain yang terlebih dahulu sukses dan gagal  dalam menangani kasus harus dijadikan pertimbangan utama pembuat kebijakan pemerintah. Mengapa negara tertentu bisa menangani wabah hanya 2 bulan dan mengapa negara lain 6 bulan kasusnya  semakin meningkat. 

Perdebatan itu pada akhirnya akan terjadi dengan berujung pada perdebatan antara kepentingan ekonomi atau kepentingan kesehatan manakah yang lebih penting. Penentuan prioritas dua masalah itu selalu dipakai jadi bahan perdebatan untuk melakukan pembenaran atau alat untuk menyalahkan kebijakan dan kegagalan penanganan wabah. Sehingga pemimpin dan masyarakat harus terus bersatu bukan dengan saling menyalahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun