Di alam demokrasi ini apalagi memasuki tahun politik, drama politik di layar kacapun semakin panas dan semakin menarik untuk diamati. Suatu malam pertunjukan satu scene drama antara Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan anggota DPR lainnya Ruhut Sitompul dimunculkan TVone (25/4/2018) menarik untuk dinikmati rakyat.
Dengan bersemangat Fadli Zon menguliti kesalahan Jokowi saat mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang mempermudah TKA masuk ke Indonesia khususnya unskill labour padahal tenaga kerja Indonesia sedang membutuhkan pekerjaan.
Ruhut Sitompulpun panas mendengarnya. Saat terdesak dan kesulitan menjawab argumen Fadli Zon, Ruhutpun mengatakan "Jokowi tidak ada yang baik dimata Fadli Zon". Tampaknya kalimat inilah sering terlontar oleh siapapun pendukung penguasa saat tidak tahan kritik alias alergi kritik saat mendengar pedasnya kritikan kaum oposan.Â
Di alam demokrasi ini setiap aktor politik dan partisannya harus siap dengan peran yang telah dipilih. Pemeran pembela harus legowo atau bertelinga tebal dalam menerima kritik tokoh oposisi. Sebaliknya pemeran oposan harus tidak lelah untuk mengkiritisi penguasa agar berjalan dalam arah yang benar. Karena peran masing masing berbeda. Siapapun aktornya, wajar bila kaum pembela menganggap presidennya selalu benar dan tidak salah kaum oposan selalu menilai salah presidennya.Â
Alam demokrasi ini tidak akan pernah mampu menolak paham "Jokowi Selalu Benar" atau "Jokowi Selalu Salah". Pilihan bernegara demokrasi tidak bisa melarang paham "Pro Jokowi" atau "Anti Jokowi". Tidak ada yang salah dan tidak ada yang melanggar hukum dengan pilihan ke dua kelompok itu. Seharusnya perdebatan utama bukan menuding mengapa selalu menyalahkan Jokowi. Tetapi harus mendengar mengapa Jokowi disalahkan. Bila hal itu tidak bisa dijawab dengan argumen rasional, maka rakyat akan menilai siapa dipihak salah dan siapa di pihak benar.
Bukan hanya Ruhut Sitompul dan Fadli Zon, semua elit politik, partisan politik atau warga yang peduli politik harus memilih peran secara konsisten dalam kehidupan di negeri demokrasi terbesar di dunia ini. Tampaknya alam demokrasi secara alamiah telah menggiring siapapun aktor peduli politik dalam dua kutub yang berbeda. Dua kutub adalah pendukung pemerintah dan pengkritis pemerintah.
Hal ini bisa dilihat dati seorang aktor yang 5 tahun lalu rajin menghujat Jokowi. Tetapi saat partainya tidak berkuasa melangkah gesit selincah kutu loncat, mati matian membela Jokowi. Tetapi bila seorang aktor itu konsisten dengan prinsip hidupnya maka biar bumi berguncang keras biar badai bertiup kencang tidak akan berubah tokoh yang diperaninya.
Pilihan abu abu ini biasanya juga diperani oleh orang yang tidak peduli politik atau tidak peduli masa depan bangsanya atau tidak punya akses informasi yang benar tentang politik.Â
Ketidakpedulian politik lebih sulit dihilangkan ketika kehidupan politik selalu dicitrakan buruk. Sejak jaman Belanda hingga sekarang masih saja ada kelompok yang mengatakan bahwa agama jangan dibawa ke politik karena politik itu kotor dan buruk. Bila dicermati isu pemisahan agama dan politik salah satunya untuk meredam kekuatan mayoritas umat Islam sebagai pelaku politik.
Pilihan abu abu juga dilakoni kelompok rakyat dengan terbatasnya akses informasi politik karena pendidikan tidak tinggi, ekonomi rendah dan tidak punya sarana informasi. Sedangkan satu satunya sumber informasi yang dipunyai rakyat sederhana ini hanya televisi. Tetapi saat ini mayoritas media mainstream sudah dikuasai kelompok tertentu yang sangat rapat dengan penguasa. Pendidikan yang tidak tinggi seringkali tidak bisa memahami kehidupan politik yang rumit.
Demokrasi Berkuping Tipis
Dalam kehidupan demokrasi seorang pemimpin dan pendukungnya harus berkuping tebal siap dikritik dan siap menerima kritik sepedas apapun. Bila tidak bisa berkuping tipis maka siapapun pemimpinnya dan pendukungnya itu tidak akan hidup tenang dan nyaman di negeri demokrasi ini. Saat kuping manusia Indonesia berkarakter tidak tebal atau alergi kritik , maka akan lebih nyaman hidup di negeri sosialis seperti Rusia atau Cina.
Ternyata bukan hanya oleh elit politik tetapi partisan politik atau masyarakat sering tipis telinga dan sensitif otak saat mendengar suara kritis untuk dari rakyat atau tokoh masyarakat. Sehingga saat suara kritis itu menyentuh junjungannya selalu gerah mendengarnya.Â
Saat panas tubuhnya mendengar kritik maka tindakan pun jadi tidak terkontrol. Seperti hal Ruhut dalam satu scene drama politik di atas langsung dengan gerah menuding dimata Fadli Zone Jokowi tidak ada yang benar. Demikian juga dengan pemilik kekuasan yang berjiwa demokratis bertelinga tebal akan tetap hidup tenang saat suara kritis yang menohoknya. Keteladanan demokrat sejati sering ditunjukkan SBY. Bahkan ketika seorang demonstran menulis nama SBY di pantat kerbau, SBY hanya menarik nafas dalam.
Bila pemilik kekuasaan di negeri demokrasi ini tidak tahan kritik maka hidupnya tidak tenang dan selalu paranoid. Saat banyak kritik bermunculan tentang banyak tenaga asing dengan visa kunjungan tidak terkendali masuk ke Indonesia, dianggap hoax atau atau pembenci Jokowi.Â
Elit politik pendukung penguasapun secara spontan akan memvonis pembenci Jokowi. Saat politikus mengritisi banyaknya tol infrastruktur yang ambruk, maka sang kuping tipis akan memvonis pembenci Jokowi.Â
Saat ada kritikan politikus atau kritikan yang menohok idolanya, seketika kaum nitizen berkuping tipis, melabeli dengan sumpah serapah bahasa binatang.Â
Saat si kuping tipis tidak bisa menerima perbedaan pendapat, seketika tudingan anti Pancasila, anti NKRI, radikal, antitoleransi dibidikkan pada kelompok lainnya. Bahkan saat kritik itu tepat menghunjam jantung penguasa yang menjadi idolanya. Maka nitizen yang tidak berkuping tebal akan menghujat dengan kata yang aneh, misalnya: kalau ngga mau dipimpin Jokowi pindah saja ke Arab atau ke kutub Utara.
Memang tidak mudah saat kuping tidak bisa tebal untuk hidup di negeri demokrasi. Mungkin manusia tidak berjiwa demokratis biasanya berkuping tipis tidak akan tenang hidupnya saat menyalakan televisi atau mengaksea medsos karena muncul banyak kritikan seram pada idola politiknya. Bila penguasa ingin tidur nyenyak, saat dikritik tentang hutang yang menggunung harus memaknai ucapan Soe Hok Gie Aktivis Indonesia, "Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau".Â
Penguasa dan pendukungnya yang yang tidak mampu menebalkan kupingnya saat menerima kritik mengapa 100 janji Jokowi sebagian besar tidak ditepati. Maka, harus paham quotes Johannes Kepler, Ahli astronomi, ahli matematika dan ahli fisika dari Jerman yang mengatakan "Saya lebih memilih kritik tajam dari seorang cerdas daripada persetujuan ceroboh dari rakyat". Saat dikritik penguasa sibuk mengkriminalisasi ulama atau presiden bahasa Indonesiannya pas pasan, maka bila jantung tidak ingin berdebar keras menahan emosi. Segeralah menginspirasi ulama lainnya seperti AA Gym yang bernasehat : "Jadikanlah setiap kritik bahkan penghinaan yang kita terima sebagai jalan untuk memperbaiki diri".
Jadi, mengapa Jokowi selalu salah di mata Fadli Zon dan Jokowi selalu benar di mata Ruhut. Karena setiap orang punya peran yang berbeda, karena prinsip politik dan kepentingan hidupnya berbeda. Demikian juga para pendukung dan pengkritis Jokowi lainnya. Fenomena politik dan psikologis Pilkada DKI bisa jadi pelajaran.Â
Saat Ahok-Djarot berkuasa kaum pendukungnya akan lebih sensitif saat dikritik. Tetapi saat Ahok-Djarot tergusur, dunia menjadi terbalik. Kelompok yang dulunya pembela saat ini jadi oposisi. Dulu bertahan sekarang jadi penyerang dan pengkritik. Tampaknya hal yang sama akan terjadi ketika #2019tetapjokowi dimenangkan #2019gantipresiden. Maka Ruhut Akan jadi oposan akan jadi pengritik paling keras. Maka mungkin saja Fadli Zon berkata pada Ruhut, "Prabowo Tidak ada yang baik di mata Ruhut". Tetapi pengandaian itu mungkin tidak terjadi karena Ruhut adalah tipe politikus yang tidak pernah tahan jadi oposisi.
Itulah roda kehidupan dunia politik akan dinamis, terus berputar kadang di atas kadang kebawah. Maka bersiaplah para penggila politik untuk berperan jadi pengkritik atau sewaktu waktu berubah peran jadi pendukung penguasa.Â
Saat berperan jadi pendukung penguasa, jika pemimpin anda tak mau dikritik dan ingin hidup tenang tanpa kritik. "Mintalah pemimpin anda jangan lakukan apa-apa, mintalah pemimpin anda jangan katakan apa-apa, dan mintalah pemimpin anda jangan jadi apa-apa. Itulah kata Elbert Hubbart, filosof dan penulis terkenal Amerika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H