Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Ruhut "Berkuping Tipis", Jokowi pun Tidak Pernah Benar di Mata Fadli Zon

26 April 2018   17:05 Diperbarui: 26 April 2018   17:27 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.merdeka.com

Dalam kehidupan demokrasi seorang pemimpin dan pendukungnya harus berkuping tebal siap dikritik dan siap menerima kritik sepedas apapun. Bila tidak bisa berkuping tipis maka siapapun pemimpinnya dan pendukungnya itu tidak akan hidup tenang dan nyaman di negeri demokrasi ini. Saat kuping manusia Indonesia berkarakter tidak tebal atau alergi kritik , maka akan lebih nyaman hidup di negeri sosialis seperti Rusia atau Cina.

Ternyata bukan hanya oleh elit politik tetapi partisan politik atau masyarakat sering tipis telinga dan sensitif otak saat mendengar suara kritis untuk dari rakyat atau tokoh masyarakat. Sehingga saat suara kritis itu menyentuh junjungannya selalu gerah mendengarnya. 

Saat panas tubuhnya mendengar kritik maka tindakan pun jadi tidak terkontrol. Seperti hal Ruhut dalam satu scene drama politik di atas langsung dengan gerah menuding dimata Fadli Zone Jokowi tidak ada yang benar. Demikian juga dengan pemilik kekuasan yang berjiwa demokratis bertelinga tebal akan tetap hidup tenang saat suara kritis yang menohoknya. Keteladanan demokrat sejati sering ditunjukkan SBY. Bahkan ketika seorang demonstran menulis nama SBY di pantat kerbau, SBY hanya menarik nafas dalam.

Bila pemilik kekuasaan di negeri demokrasi ini tidak tahan kritik maka hidupnya tidak tenang dan selalu paranoid. Saat banyak kritik bermunculan tentang banyak tenaga asing dengan visa kunjungan tidak terkendali masuk ke Indonesia, dianggap hoax atau atau pembenci Jokowi. 

Elit politik pendukung penguasapun secara spontan akan memvonis pembenci Jokowi. Saat politikus mengritisi banyaknya tol infrastruktur yang ambruk, maka sang kuping tipis akan memvonis pembenci Jokowi. 

Saat ada kritikan politikus atau kritikan yang menohok idolanya, seketika kaum nitizen berkuping tipis, melabeli dengan sumpah serapah bahasa binatang. 

Saat si kuping tipis tidak bisa menerima perbedaan pendapat, seketika tudingan anti Pancasila, anti NKRI, radikal, antitoleransi dibidikkan pada kelompok lainnya. Bahkan saat kritik itu tepat menghunjam jantung penguasa yang menjadi idolanya. Maka nitizen yang tidak berkuping tebal akan menghujat dengan kata yang aneh, misalnya: kalau ngga mau dipimpin Jokowi pindah saja ke Arab atau ke kutub Utara.

Memang tidak mudah saat kuping tidak bisa tebal untuk hidup di negeri demokrasi. Mungkin manusia tidak berjiwa demokratis biasanya berkuping tipis tidak akan tenang hidupnya saat menyalakan televisi atau mengaksea medsos karena muncul banyak kritikan seram pada idola politiknya. Bila penguasa ingin tidur nyenyak, saat dikritik tentang hutang yang menggunung harus memaknai ucapan Soe Hok Gie Aktivis Indonesia, "Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau". 

Penguasa dan pendukungnya yang yang tidak mampu menebalkan kupingnya saat menerima kritik mengapa 100 janji Jokowi sebagian besar tidak ditepati. Maka, harus paham quotes Johannes Kepler, Ahli astronomi, ahli matematika dan ahli fisika dari Jerman yang mengatakan "Saya lebih memilih kritik tajam dari seorang cerdas daripada persetujuan ceroboh dari rakyat". Saat dikritik penguasa sibuk mengkriminalisasi ulama atau presiden bahasa Indonesiannya pas pasan, maka bila jantung tidak ingin berdebar keras menahan emosi. Segeralah menginspirasi ulama lainnya seperti AA Gym yang bernasehat : "Jadikanlah setiap kritik bahkan penghinaan yang kita terima sebagai jalan untuk memperbaiki diri".

Jadi, mengapa Jokowi selalu salah di mata Fadli Zon dan Jokowi selalu benar di mata Ruhut. Karena setiap orang punya peran yang berbeda, karena prinsip politik dan kepentingan hidupnya berbeda. Demikian juga para pendukung dan pengkritis Jokowi lainnya. Fenomena politik dan psikologis Pilkada DKI bisa jadi pelajaran. 

Saat Ahok-Djarot berkuasa kaum pendukungnya akan lebih sensitif saat dikritik. Tetapi saat Ahok-Djarot tergusur, dunia menjadi terbalik. Kelompok yang dulunya pembela saat ini jadi oposisi. Dulu bertahan sekarang jadi penyerang dan pengkritik. Tampaknya hal yang sama akan terjadi ketika #2019tetapjokowi dimenangkan #2019gantipresiden. Maka Ruhut Akan jadi oposan akan jadi pengritik paling keras. Maka mungkin saja Fadli Zon berkata pada Ruhut, "Prabowo Tidak ada yang baik di mata Ruhut". Tetapi pengandaian itu mungkin tidak terjadi karena Ruhut adalah tipe politikus yang tidak pernah tahan jadi oposisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun