Rocky Gerung katakan hari ini Elektabilitas adalah kata yang paling tidak ada gunanya, kata yang telah mengalami inflasi dan rakyat sedang dijajah data dari surveyor. Ternyata RoGer mungkin benar survey saat ini banyak mengecoh rakyat. Survey Kompas terakhir misalnya, menunjukkan Jokowi elektabilitasnya tinggi tetapi saat berpasangan Jokowi-Gatot kalah dengan Prabowo-Gatot. Tetapi uniknya hasil survey berpasangan itu tidak diungkapkan di publik.”
Saat ini otak manusia Indonesia setiap saat dijejali data elektabilitas calon pemimpin yang dicekokin media padahal pemilihan akan terjadi setahun lagi. Setiap membuka facebook atau medsos lainnya pikiran nitizen dipenuhi kehebatan angka angka elektabilitas calon pemimpinnya. Rakyat yang mengaku cerdaspun banyak katakan bahwa elektabilitas adalah data ilmiah yang harus dipercayai.
Tanpa rakyat diajarkan bagaimana cara memahami sebuah survey ? Bagaimana memahami metodologi, analisa statistik, jumlah variabel, jumlah atau pemilihan sampel, margin of error dan bahasa statistik yang memusingkan kepala ? Tanpa tahu bagaimana jenis pertanyaan responden, karena bila berbeda pertanyaan maka kesimpulannya akan berbeda pula memaknainya.
Tanpa tahu siapa pelaku dan siapa pendana dibalik surveyor? Apakah survey pesanan, apakah dia konsultan politik ataukah dia seorang akademisi independen yang jujur dan tulus. Bila hal itu tidak dipahami dengan baik, maka survey elektabilitas dapat menyihir kecerdasan rakyat sebagai alat penipuan yang canggih di era modern ini. Inilah yang menunjukkan banyak fakta bahwa eletabilitas para cagub dan cawagub yang elektabilitasnya tinggi dapat berguguran saat pemilihan sedang berlangsung. Data ilmiah elektabilitaspun ternyata bisa menyihir dan mengecoh manusia yang mengaku cerdas di Indonesia.
Tetapi bagaimanapun seorang ilmuwan harus percaya bahwa survey dan elektabilitas adalah data ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Sehingga seseorang yang berpendidikan tinggi dan cerdas akan mudah menganalisa dan mendiskusikan hasil survey dengan benar dan tepat. Data ilmiah itu bila digunakan secara benar dapat digunakan sebagai penyusunan rencana strategi politik sebuah parpol atau calon pemimpin. Tetapi seseorang yang tidak memahami cara menilai menggunakan data ilmiah itu maka akan tertipu dan terkecoh. Bahkan manusia cerdas indonesiapun banyak tertipu.
Tetapi ketika survey dan elektabilitas pemimpin tidak dipahami sepenuhnya maka rakyat akan tertipu. Manusia Indonesia meski sering mengaku cerdas sering tertipu konsultan komunikasi politik para calon pemimpin yang sangat hebat. Para konsultan ini ternyata bisa membuat busuknya ikan yang bisa menjadi bau kasturi. Konsultan profesiomal itu bisa membuat wajah peyot kakek menjadi wajah mulus perjaka tampan.
Konsultan komunikasi yang pintar itu bisa membuat seorang penipu, tidak pernah menepati janji, munafik, borjuis dan kapitalis tetapi menjadi seorang yang jujur, sederhana, merakyat, amanah dan seorang sufi yang paling suci. Konsultan politik ini bisa memesan survey pada para surveyor agar menjaga nilai kehebatan kliennya di mata publik.
Hal inilah yang mungkin membedakan mengapa lembaga survey tertentu menyebut elektabilitas Jokowi 36% tetapi lembaga survey lainnya menyebut 54%. Tetapi pata surveyor berkilah mereka berbeda metodologi, berbeda pertanyaan atau berbeda penentuan sampel. Justru perbedaan inilah ternyata rawan bisa diatur ketika ingin mendapatkan hasil yang diinginkan
Mengapa survey elektabilitas tidak dipercaya