Mengapa seorang ilmuwan dan sepintar Rocky Gerung tidak percaya tingginya elektabilitas Jokowi saat ini ? Rocky Gerung dalam ILC Selasa (24/4/2018) mengatakan hari ini elektabilitas adalah kata yang paling tidak ada gunanya, kata yang telah mengalami inflasi. Hari ini rakyat bingung karena sedang dijajah data dan surveyor.
Bahkan seorang pengamat politik lainnya yang sekaligus surveyor ternyata juga mengatakan bahwa Jokowi masih belum aman meski elektabilitas di survey yang dilakukannya tinggi. Hal itu menunjukkan bahwa surveyorpun masih ragu dengan elektabilitas yang tinggi. Hal itu mungkin juga membenarkan bahwa elektabilitas saat ini tidak bisa dipercaya.
Masyarakat seharusnya jeli agar tidak terbuai elektabilitas pemimpin saat ini. Rakyat harus belajar banyak dan cermat memahami kisah sejarah negeri. Rakyat jangan lupa bahwa beberapa kisah sejarah ibukota. Ketika para incumbent Gubernur seperti Fauzi Bowo atau Ahok-Djarot yang awalnya elektabilitasnya sangat tinggi tetapi dapat dirontokkan dengan telak oleh Jokowi dan Anis Sandi. Masyarakat Jakartapun tidak pernah lupa ketika setahun sebelum pilkada Ahok elektabilitasnya 40-57% atau paling tinggi di antara calon gubernur lainnya.
Tingkat kepuasan rakyat hampir 70-85%, paling hebat di antaranya pejabat negeri lainnya. Kepopulerannya sangat luar biasa 90%. Lebih terkenal dibandingkan Rano Karno Si Doel anak betawi yang bertahun tahun menghiasi kaca televisi. Ternyata fakta membalikkan data khayalan itu semua. Hanya dalam sehari ilusi data ilmiah itu dibalikkan dijungkalkan oleh Anis Baswedan yang dalam waktu yang sama belum terjaring para surveyor atau mungkin elektabilitasnya nilainya 0%. Ahok Djarot dapat ditumbangkan telak oleh Sandiaga Uno saat itu hanya elektabilitas 2-4%. Mengapa elektabilitas masih terua harus dipercaya ?
Bagaimana Memahami Survey Elektabilitas
Rakyat harus pintar dan kritis dalam menganalisa dan menggunakan sebuah survey yang baik. Banyak faktor yang berpengaruh dalam menilai sebuah survey elektabilitas. Survey elektabilitas saat ini hanyalah salah satu alat politik yang dilakukan untuk melakukan langkah pencitraan seorang pemimpin agar dianggap paling dipercaya rakyat.
Padahal bila salah mengungkapkan dan salah membaca survey elektabilitas hanyalah sebuah pengelabuhan. Bila itu terjadi akan membuat rakyat salah pilih pemimpin. Bila itu tidak dipahami bukan hanya membeli kucing dalam karung, tetapi membeli harimau ternyata membeli kucing yang dibedakin jadi harimau. Hal inilah yang membuat banyak yang tersadar bahwa selama ini rakyat banyaknyang tertipun dan salah pilih.
Rakyat tidak tahu bahwa elektabilitas tunggal capres dan elektabilitas berpasangan capres dan wapres berbeda maknanya. Masyarakat harus paham ternyata saat elektabilitas tunggal tinggi tapi hasil saat elektabilitas berpasangan merosot. Uniknya yang menarik data survey kompas yang menunjukkan data elektabilitas Jokowi tinggi.
Tetapi presenter televisi Kompas Petang hari Senin (24/4/2019) membuka data yang tidak terungkap dalam survey yaitu pasangan Jokowi-Gatot justru kalah dengan Prabowo-Gatot. Karena, saat ini belum seorang presidenpun yang resmi berpasangan, masih berstatus single.
Rakyat tidak paham bahwa dalam survey karena sejumlah respondan belum menentukan pilihan atau siapa pilihannya Rakyat terhipnotis, bahwa survey dapat menipunya, Ternyata survey adalah probabilitas hari ini, bukan fakta saat pencoblosan suara setahun lagi. Sehingga elektabilitas tinggi dapat anjlok saat hari pemilihan dengan berbagai macam faktor.
Rakyat juga harus tahu rekam jejak aiapa dibelakang lembaga survey yang ada. Apakah tokoh dibalik lembaga survey itu seorang surveyor idealis, atau konsultan politik atau seorang pengamat politik yang independent. Sebagian masyarakat saat ini mungkin sudah tahu siapa siapa di balik lembaga survey. Salah satu contohnya adalah lembaga survey Charta Politika.