Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Alasan SBY Sibuk Berkoalisi

8 Maret 2011   00:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:59 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehingga alasan utama pendirian koalisi adalah sekedar alat pertahanan politik dari serangan politikus di parlemen. Latar belakang utama pembentukan koalisi adalah untuk mengurangi kegaduhan politik yang ditimbulkan para politikus di Parlemen. Pembentukan koalisi bukan sekedar untuk mengamankan kebijaksanaan pemerintah. Tetapi untuk meminimalkan serangan politikus di parlemen yang demi kepentingan partai atau kelompoknya berusaha menggoyang pemerintah melalui sekecil apapun kesalahan yang dilakukan pemerintah.

Pembentukan koalisi yang ideal adalah bukan untuk meredam kritik dan sifat kritis parlemen. Tetapi pembentukan koalisi untuk meredam niat tidak baik politikus untuk menggoyang eksistensi pemerintah demi kepentingan pribadi partainya yang secara tidak langsung mengganggu kinerja pemerintah dalam membangun rakyatnya.

Sekalipun eksekutif berupaya membangun koalisi, kekuatan politik di DPR seharusnya tak menggadaikan posisi konstitusionalnya. George C Edwards III dan Stephen J Wayne dalam buku "Presidential Leadership: Politics and Policy Making" menyatakan, dalam bangunan sistem pemerintahan presidensial partai politik di DPR tidak dapat begitu saja membenarkan semua tindakan pemerintah. Koalisi ini adalah realitis politik di Indonesia yang sulit dielakkan dari ketidaktulusan para politikus dalam parlemen dalam mengkritisi pemerintah.

Koalisi mungkin tidak akan diperlukan bila semua politikus dalam melakukan fungsi pengawasan dengan melakukan kritik dengan niat baik demi membangun bangsa. Sebenarnya bila politikus yang mengaku wakil rakyat itu akan mengkianati rakyat pemilihnya bila terus merongrong presiden yang dipilih oleh sebagian besar rakyatnya.

Ketamakan dan keserakahan politikus semakin tampak. Ketika mereka ingin meraih manisnya kekuasaan, sembari menyerang pemerintah yang didukungnya. Penyerangan itu selain menjatuhkan partai pemerintah juga untuk menaikkan pencitraannya dalam kepentingan politik untuk "tahun suksesi 2014".

Koalisi dapat dicegah bila terjadi penyerderhanaan multi partai yang rumit di sistem perpolitikan Indonesia. Koalisi tidak akan diperlukan bila kekuatan parlemen tidak sebesar sekarang ini. Hal ini semua tampaknya sulit dilakukan, karena pembuat dan penentu undang-undang yang mengatur semuanya adalah buatan politilus itu sendiri. Demikian pula penyerderhanaan multi partai dianggap mengkebiri kehidupan demokrasi.

Bila penyerderhanaan multi partai tidak dilakukan. Dan bila kekuatan DPR sangat besar dengan berbagai alat kelengkapannya tidak dibatasi. Maka siapapun presiden Indonesia nantinya selalu akan disibukkan dengan pembentukan Koalisi dan direpotkan usaha untuk melawan Oposisi. Meski koalisi dan oposisi tidak ideal dalam sistem presidensial, tetapi realitas politik itu sulit dielakkan. Energi sangat besar untuk melawan serangan politik di parlemen itu menyita sebagian besar kekuatan pemerintah untuk membangun rakyat yang membutuhkannya. Tugas terberat SBY ternyata bukan hanya untuk membangun rakyatnya. Tetapi tugas paling sulit SBY adalah menghadapi ketamakan dan kelihaian politikus di parlemen yang meski tidak memakzulkannya tetapi setiap saat dapat menggoyang keras SBY yang dapat mengganggu kinerja pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun