Aku teringat kehebohan netizen yang sampai menjadi tranding topik twiter tentang kegalauan Maudy Ayunda yang harus memilih antara Stanford di MBA dan Harvard di Education. Kabar ini bukan pertama kalinya, ketika tahun 2013 lalu dia juga menarik perhatian ketika dia memilih Oxford in PPE over Columbia University.
Aku juga melihat bagaimana teman-teman "kota" sangat memuji Jerome Polin yang mendapat beasiswa Monbukagakusho yang bergengsi. Morover, youtuber cantik Gita Savitri yang bukunya sudah terjual banyak tentang cerita dia kuliah di Jerman.
---
Potret lain adalah, bisakah kita menyebutkan dimana orang-orang miskin kampung dalam kasus ini? Begini, yang aku pengen bicarakan tentang akses pendidikan terhadap orang-orang kampung seperti saya ini. Tanpa mengurangi rasa hormat, Eyang Habibie tidak diragukan lagi kontribusi dia terhadap dunia dan bangsa Indonesia. Namun aku pengen melihat dari sudut pandang sedikit berbeda dari kasus ini semua.
Aku juga pengen mention tentang LPDP yang saat ini penerimanya rata-rata adalah orang menengah ke atas. Kenapa bisa begini? I tell you.
Oh iya, aku sendiri adalah penerima beasiswa pemerintah Russia. Aku melihat semua penerima adalah kalangan menengah ke atas unless me yang merupakan manusia kelas bawa yang miskin.
--
So how? Mengapa yang menerima beasiswa, yang sukses bahkan orang yang kaya?
--
Begini, karena untuk alasanya adalah sulitnya akses pendidikan di Indonesia dan kualitas guru yang masih kacau untuk daerah terpencil dan kampung. Gini deh, untuk dapet LPDP harus bisa IELTS, bisa buat motivation letter, ini dan itu.
Gita Savitri, Jerome Polin, Maudy Ayunda, Eyang Habibie atau contoh lain bahkan mantas artis cilik Tasya Kamila pun menggunakan beasiswa LPDP. Bisa sampai di posisi saat ini karna memang dari segin finansial dan fasilitas didukung dengan baik.