Mohon tunggu...
Samuel Marpaung
Samuel Marpaung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa yang sedang belajar di suatu universitas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kopi Tapanuli

9 Juni 2024   23:45 Diperbarui: 10 Juni 2024   00:34 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kopi, tanaman yang menghasilkan buah berbentuk biji dan termasuk dalam famili Rubiaceae, memiliki sekitar 4.500 jenis biji yang tersebar di seluruh dunia. Empat kelompok utama kopi adalah:

  • Coffea Canephora, yang menghasilkan kopi Robusta.
  • Coffea Arabica, yang menghasilkan kopi Arabica.
  • Coffea Excelsa, yang menghasilkan kopi Excelsa.
  • Coffea Liberica, yang menghasilkan kopi Liberica.

Penemuan Kopi di Ethiopia

Sejarah kopi pertama kali tercatat di Ethiopia pada abad ke-9. Seorang penggembala menyadari bahwa domba-dombanya menjadi sangat hiperaktif setelah memakan biji kopi kecil. Tempat penggembalaannya bernama Kaffa, yang kemudian menjadi asal istilah "coffee".

Kopi di Indonesia

Kopi masuk ke Indonesia pada zaman Hindia Belanda pada tahun 1696, ketika Pieter van de Broecke memperdagangkan kopi dengan Arab. Pada tahun 1699, bibit kopi dibawa dari Malabar, India, oleh Zwaardkroon, seorang Belanda, dan disebarluaskan ke Jawa, Sumatra, Sulawesi, Bali, dan Timor. Di Sumatra, kopi Mandailing menjadi terkenal hingga ke dunia luar karena rasanya yang khas, terutama jenis Arabica.

Eksploitasi Kolonial di Tapanuli

Dalam periode 1849 hingga 1928, keresidenan Tapanuli menjadi saksi dari kebijakan ekonomi kolonial Belanda yang mengeksploitasi komoditas kopi secara masif. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah kolonial untuk mendapatkan keuntungan tinggi dengan memonopoli ekonomi rakyat di Tapanuli. Seperti halnya di Jawa dan Sumatera Barat, pengembangan budidaya kopi di Tapanuli dimulai pada tahun 1849. Penduduk lokal dipaksa menanam kopi dan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial, yang kemudian mendistribusikannya ke pelabuhan-pelabuhan di pesisir seperti Air Bangis, Natal, dan Djaga-Djaga. Mereka yang tidak memiliki lahan diwajibkan bekerja sebagai kuli angkut, mengangkut kopi dari pusat penyimpanan ke pelabuhan.

Tanam Paksa dan Sistem Pajak

Penerapan tanam paksa ini berlangsung hingga akhir 1880-an. Meskipun sistem ini resmi dihentikan, beberapa daerah seperti Mandailing dan Angkola tetap menerapkan kewajiban menyerahkan hasil kopi kepada pemerintah. Setelahnya, pemerintah kolonial memperkenalkan sistem pajak yang juga membebani rakyat di seluruh pesisir barat Sumatera. Eksploitasi ini tidak hanya berdampak pada ekonomi tetapi juga menyebabkan penderitaan sosial bagi masyarakat Tapanuli. Perlawanan lokal muncul karena kebijakan yang awalnya berupa kerja sama berubah menjadi eksploitasi yang merugikan masyarakat setempat.

Perkembangan Produksi Kopi

Pada tahun 1848, tercatat jumlah tanaman kopi di Mandailing dan Angkola mencapai 2.800.000, dengan hasil pengumpulan 4.100 pikul kopi. Pada pertengahan tahun 1850-an, jumlah tanaman kopi meningkat menjadi sekitar 5.500.000 di wilayah Mandailing. Setiap rumah tangga menanam sekitar 500 tanaman kopi, dan pemerintah kolonial Belanda menetapkan tempat pengumpulan kopi di Natal dan Air Bangis.

Pada tahun 1856, pemerintah berhasil mengumpulkan tidak kurang dari 20.000 pikul kopi dengan total pendapatan sekitar f 3.995.628. Kopi Mandailing, karena kualitasnya yang bagus, menerima penawaran tertinggi pada pelelangan di Padang pada tahun 1922, yaitu antara f 87,50 hingga f 92 per pikul, dan dijual di bawah label "Kopi Mandailing".

Penurunan Produksi dan Warisan Kopi

Namun, produksi kopi di Tapanuli, termasuk Mandailing, menurun seiring waktu. Pada tahun 1928, perkebunan kopi pemerintah diubah menjadi perkebunan karet. Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perubahan kebijakan kolonial Belanda yang beralih fokus dari kopi ke karet dan penurunan harga kopi di pasar internasional. Meskipun demikian, kopi dari Mandailing dan Angkola tetap terkenal karena kualitasnya yang diakui di pasar internasional, menjadikan daerah ini dikenal karena kopi berkualitas tinggi.

Warisan dari kebijakan kolonial Belanda ini masih terasa hingga kini, dengan merek kopi Mandailing dan Angkola yang terus diakui dan memiliki posisi di pasar kopi internasional

Referensi

Agustono, B. (2018). The Dutch Colonial Economic Policy: Coffee Exploitation in Tapanuli Residency, 1849-1928. KEMANUSIAAN: The Asian Journal of Humanities, 25(2). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun