Dalam semua talkshow di televisi, semua pengamat politik yang menjadi narasumber seolah seia-sekata dalam menyatakan bahwa musuh kita sebenarnya bukanlah orang melainkan sistem: kondisi multidimensi yang carut-marut di Indonesia ini akibat sistem yang salah. Tesis ini, bisa jadi, telah diamini sebagian besar kalangan. Bahkan, bukan tak mungkin pula, sudah menjadi keyakinan umum yang dianggap sebagai kebenaran.
Apakah memang seperti itu? Mari kita telaah.
Sistem tersusun secara prosedural oleh tiga hal. Pertama, perumusan regulasi; kedua, pembentukan perangkat pelaksana; ketiga, implementasi. Sistem disebut efektif jika menghasilkan terbentuknya pola mental dan perilaku masyarakat yang sesuai dengan tujuan dirancangnya sistem itu.
Sistem bisa menjadi inefektif akibat kesalahan pada salah satu, beberapa, atau seluruh tahap prosedur.
Penanganan korupsi, misalnya, bukan sekadar mandeg, tapi mundur. Padahal, kita punya regulasi, yakni serangkaian Undang-Undang (UU) Antikorupsi. Kita juga punya perangkat pelaksananya: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta juga pihak Kejaksaan dan Kepolisian (Polri).Â
Kalau kita cermati, kekacauan paling banyak terjadi pada level implementasi. Saat sebuah kasus dikuak, cuma para pelaku "ecek-ecek"nya saja yang mengemuka, sedangkan keberadaan otak intelektual, para pemain utama, dan skenario aslinya selalu membuat kita bertanya-tanya seperti Ayu Ting Ting: "Di mana, di mana, di mana...?" Keadilan justru dijagal di altar pengadilan. Alih-alih korupsi musnah, mental dan perilaku korup malah semakin mendarahdaging. Sistem mati suri gara-gara ada tahapan yang disfungsi.
Namun, di pihak lain, kebobrokan juga dapat merajalela justru pada sistem yang efektif. Ini terjadi karena sistem tersebut memang dirancang untuk tujuan yang tidak benar.
Di era Orde Baru, pers dibelenggu, kebebasan berpendapat diberangus, gerak-gerik aktivis dikenai "Pengawasan Melekat" (Waskat). Rezim kala itu mendesain sistem yang sebenarnya sederhana sekali, sebab tujuannya pun sederhana: menjaga stabilitas "nasional" (baca: "Penguasa"), serta memusatkan kendali ke dalam tangan sang pemimpin tertinggi. Itu menjadikan sistem itu sangat efektif. Sekaligus bobrok.
Jadi, kesimpulannya, proposisi para pengamat politik tampaknya memang benar. Sampai titik ini.
Namun, kita perlu ingat, manusia tidak pernah dipengaruhi hanya oleh satu sistem saja. Tiap komunitas keluarga, sekolah, dunia kerja, negara memiliki sistemnya sendiri-sendiri. Sistem-sistem tersebut saling berinteraksi secara berbeda-beda. Ada yang saling berkompetisi, di mana sistem yang dominan akan mengeliminasi sistem (-sistem) lainnya. Tapi tak jarang pula beberapa bersinergi, saling mengamplifikasi, bahkan berfusi, menghasilkan sistem baru.
Kendati begitu, sistem hanyalah konsep, bukan makhluk hidup. Manusialah yang berperan memformulasikan regulasi dan mekanisme, membentuk dan menjalankan perangkat pelaksana, juga mengimplementasikan sistem. Masyarakat yang pola mental dan perilakunya dibentuk adalah masyarakat manusia. Manusia itu subyek sekaligus obyek, titik awal sekaligus terminal, produk sekaligus otak-otot dari sistem. Implikasinya, untuk mendapat sistem yang efektif dan baik, terlebih dahulu persona (pribadi) desainer dan eksekutornya harus baik.
Di sinilah dalil sang pengamat gugur, salah total! Dalil tersebut (dan kita semua yang mengamininya) merefleksikan tendensi manusia yang tidak bertanggung-jawab setelah membuat kerusakan parah, ganti menuding pihak lain, bahkan benda mati nan abstrak semodel "sistem" pun dijadikan kambing hitam!
Tetapi, bagaimana kita bisa mendapatkan perancang dan penatalaksana yang baik dari sebuah sistem jika sistem-sistem sebelumnya yang membentuk orang-orang itu adalah sistem-sistem yang buruk bin jahat? Dan bagaimana tidak buruk semua sistem itu jika para perancang dan penatalaksananya bobrok? Ini bagai lingkaran setan.
Solusinya adalah sistem spiritual, yang secara eksklusif diprakarsai dan direkayasa oleh Tuhan tanpa bantuan siapapun. Sistem ini tidak identik dengan agama, sebab pembentukan agama masih memakai tangan manusia. Ia juga tidak sama dengan "spiritualisme", suatu paham yang secara definitif sebetulnya adalah agama juga jatuh-jatuhnya.Â
Sistem spiritual Tuhan ini universal, kekal, menjiwai semua sistem di semesta. Tujuannya adalah terpeliharanya relasi yang benar antara manusia dengan Tuhan, dirinya, sesamanya, dan alam.Â
Pondasinya kasih, kebenaran, dan keadilan. Arsitekturnya berhiaskan corak-corak kebajikan dan keluhuran, yang tersusun atas kesucian, jiwa altruistik, kejujuran, dan nilai-nilai lainnya.Â
Pilar-pilar kepemimpinan integritas, kepercayaan diri, tanggung jawab, jiwa kesatria, semangat pelayanan, keberanian, dan sebagainya menjadi penopangnya. Bermoral dan berkarakter mulia adalah pola mental dan perilaku yang dibentuknya.
Hanya pribadi (pribadi) yang dikuasai sistem spirituallah yang benar-benar kredibel merancang dan mengefektifkan sistem-sistem ideal. Kita harus segera insaf dan menyerahkan paradigma kepada sistem spiritual untuk dibentuk ulang. Juga anak-anak kita, supaya kebaikan itu persisten dan masa depan Indonesia lebih baik lagi dikelola generasi penerus.Â
Hanya saja, kita perlu punya komitmen yang kuat. Sistem spiritual kian lama kian kekurangan peminat. Kalaupun ada, cepat sekali kehilangan loyalitas. Sistem ini kita anggap terlampau mahal, karena egosentrisme, hedonisme, narsisme, dan hawa nafsu kita harus berani kita lucuti dan serahkan sebagai alat pembayaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H