Di sinilah dalil sang pengamat gugur, salah total! Dalil tersebut (dan kita semua yang mengamininya) merefleksikan tendensi manusia yang tidak bertanggung-jawab setelah membuat kerusakan parah, ganti menuding pihak lain, bahkan benda mati nan abstrak semodel "sistem" pun dijadikan kambing hitam!
Tetapi, bagaimana kita bisa mendapatkan perancang dan penatalaksana yang baik dari sebuah sistem jika sistem-sistem sebelumnya yang membentuk orang-orang itu adalah sistem-sistem yang buruk bin jahat? Dan bagaimana tidak buruk semua sistem itu jika para perancang dan penatalaksananya bobrok? Ini bagai lingkaran setan.
Solusinya adalah sistem spiritual, yang secara eksklusif diprakarsai dan direkayasa oleh Tuhan tanpa bantuan siapapun. Sistem ini tidak identik dengan agama, sebab pembentukan agama masih memakai tangan manusia. Ia juga tidak sama dengan "spiritualisme", suatu paham yang secara definitif sebetulnya adalah agama juga jatuh-jatuhnya.Â
Sistem spiritual Tuhan ini universal, kekal, menjiwai semua sistem di semesta. Tujuannya adalah terpeliharanya relasi yang benar antara manusia dengan Tuhan, dirinya, sesamanya, dan alam.Â
Pondasinya kasih, kebenaran, dan keadilan. Arsitekturnya berhiaskan corak-corak kebajikan dan keluhuran, yang tersusun atas kesucian, jiwa altruistik, kejujuran, dan nilai-nilai lainnya.Â
Pilar-pilar kepemimpinan integritas, kepercayaan diri, tanggung jawab, jiwa kesatria, semangat pelayanan, keberanian, dan sebagainya menjadi penopangnya. Bermoral dan berkarakter mulia adalah pola mental dan perilaku yang dibentuknya.
Hanya pribadi (pribadi) yang dikuasai sistem spirituallah yang benar-benar kredibel merancang dan mengefektifkan sistem-sistem ideal. Kita harus segera insaf dan menyerahkan paradigma kepada sistem spiritual untuk dibentuk ulang. Juga anak-anak kita, supaya kebaikan itu persisten dan masa depan Indonesia lebih baik lagi dikelola generasi penerus.Â
Hanya saja, kita perlu punya komitmen yang kuat. Sistem spiritual kian lama kian kekurangan peminat. Kalaupun ada, cepat sekali kehilangan loyalitas. Sistem ini kita anggap terlampau mahal, karena egosentrisme, hedonisme, narsisme, dan hawa nafsu kita harus berani kita lucuti dan serahkan sebagai alat pembayaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI