Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Seni adalah Kehidupan

27 Agustus 2018   20:27 Diperbarui: 27 Agustus 2018   20:52 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Pendahuluan

Bahkan sampai saat ini, di tengah derasnya arus informasi, yang memungkinkan penghimpunan data apapun yang memadai bagi uji materiil terhadap suatu kebenaran, serta melimpahnya iluminasi akan hal apapun, sebagai konsekuensi logis kian nisbinya batasan-batasan akibat globalisasi, masih saja banyak yang bertanya-tanya: apakah seni itu, bagaimana dan bilamana suatu karya-cipta dianggap bernilai/berbobot seni, dan apa sesungguhnya fungsi dan manfaat seni dan karya seni.

2. Kehidupan dan Makhluk

Kompleksitas perspektif dan pemaknaan menyebabkan hidup ini terselubungi awan misteri. Belum lagi beragamnya penanganan permasalahan, yang berdampak pada konkret hasil akhir.

Tidak heran, banyak orang menyebut kehidupan itu seni.

Hal tersebut tentu tidak lepas dari asumsi bahwa seni itu misterius, enigmatik dan menarik, virtual namun riil, ibarat mata air yang tak pernah kering.

Singkat kata, seni itu hidup. Jadi tidak terlalu gegabah dan cukup wajar bilamana kita menganggap seni sebagai suatu bentuk kehidupan.

Ada tiga bentuk/dimensi kehidupan yang sudah dikenal. Pertama adalah kehidupan dasar/primitif/vegetatif (tumbuhan); kedua, yang lebih tinggi, kehidupan generatif (binatang); dan ketiga, yang tertinggi, kehidupan bermoral (manusia).

Tingkatan itu ditentukan oleh karakteristik materi hidup yang disebut "makhluk" (makhluk = ciptaan yang hidup). Karakteristik tumbuh-tumbuhan --yang juga karakteristik umum setiap makhluk-- adalah Respirasi-Nutrisi-Sensorisasi-Adaptasi-Motorisasi-Regenerasi-Replikasi-Transformasi-Reproduksi. Pada hewan, kesembilan karakteristik itu ditambah satu, Mobilisasi. Dan untuk manusia, "9+1" itu ditambah empat lagi, yaitu Motivasi, Intuisi, Inovasi, dan Improvisasi.

Kualifikasi seni juga ditentukan oleh karakteristik "makhluk"nya, yaitu karya-karya seni. Tidak setiap hasil ciptaan/buatan manusia dapat dikategorikan sebagai karya seni. Hanya karya-karya yang "hidup"lah, atau --paling sedikit-- memenuhi sembilan "kriteria" tadi, yang layak dikatakan bernilai seni. Implikasinya, "seni" dapat menjadi seni hanya jika ia mempunyai "makhluk".

Tetapi, menariknya, dari segi lain, suatu karya dapat menjadi "makhluk" hanya jika ia berada dalam "dimensi"nya, yaitu seni.

Paradoks tersebut, dan juga adanya pertanyaan-pertanyaan pada awal tulisan di atas, hanyalah memperkuat dorongan pemikiran bahwasanya sudah sepantasnya dan seharusnya seni dipandang sebagai sebuah kehidupan.

Selanjutnya, sebagai makhluk, suatu karya seni harus mampu menangkap berbagai gejala di sekitarnya (proses respirasi dan perolehan nutrisi), peka terhadap setiap dinamika kesenian (proses sensorisasi dan adaptasi), untuk kemudian mensintesanya menjadi energi pembaruan dan penyegaran (proses motorisasi, regenerasi, dan replikasi), lalu mengembalikannya sebagai sumbangsih pengayaan kepada dunia seni (proses transformasi dan reproduksi).

Bila karya tersebut sanggup beranjak ke luar dunianya, bersentuhan dengan dunia lain di luar seni, seperti spiritualitas-teologi, filsafat-ideologi, politik, kultur-sosio-ekonomi, merambah sampai ke akar-akarnya, menyerap berbagai fenomena di dalamnya, dan bahkan mempengaruhi dan menggerakkannya dengan nuansa baru (proses mobilisasi), maka nilainya akan semakin tinggi.

Namun karya-karya yang demikian itu dangkal. Sebagaimana tumbuhan yang hidup hanya sebatas bagi dirinya saja, dan binatang yang --meski mampu memberi jejak yang dalam bagi lingkungan.

Namun itupun  sebenarnya terjadi tanpa direncanakan-- juga sama sekali tidak prinsipil dan jauh dari esensial, karya yang cuma sanggup mendobrak dan menancapkan pengaruh tapi tanpa orientasi seperti itupun belum merupakan karya seni yang sempurna. Karya seni yang sempurna adalah karya seni yang bermoral.

Bagaimana suatu karya seni bisa bermoral?

Ya karena dia punya moral, artinya dia bisa membedakan benar dan salah, baik dan buruk; dia memiliki kebebasan untuk memilih, memutuskan, dan bertindak, sehingga dengan demikian, ia harus --dan memang mampu untuk-- bertanggungjawab.

Untuk dapat memilih, ia harus mempunyai motivasi yang lengkap; agar keputusannya bulat, ia harus tajam dan matang intuisinya dalam merencanakan sasaran, misi, dan visi; sedangkan untuk dapat bertindak secara optimal, ia harus berinovasi, dan siap berimprovisasi terhadap situasi dan kondisi yang muncul di luar dugaan.

Pertanyaannya: betul-betul adakah suatu karya seni "sehebat" dan "sehidup" itu? Pernahkah kita mendapati lagu atau komposisi musik, misalnya, yang memiliki motif? Mampukah kita membayangkan lukisan bisa berpikir? Beranikah kita membayangkan puisi berinovasi, apalagi berimprovisasi? Dan lebih jauh lagi: membayangkan mereka bisa dimintai tanggungjawab? Apakah itu semua bukannya gagasan gila belaka? Akan kita lihat nanti.

3. Peranan Seni dan Karya Seni

Secara implisit dan garis besar, kita sudah mendapat keterangan tentang fungsi dan manfaat seni dan karya seni. Selain wajib memperkaya khasanah dunianya sendiri (dunia seni), suatu karya seni juga didorong untuk menjadi penyingkap cakrawala dunia-dunia lain yang masih tertutup paradigma-paradigma stagnan, yang diciptakan oleh kekakuan elemen-elemen dalam dunia-dunia itu sendiri.

Bagaimana seni menceriakan dogma teologia yang spiritualitasnya terlalu picik; bagaimana seni juga menerangi relung tersempit sekalipun dalam filsafat dan ideologi, yang terkungkung bayang-bayang idealismenya sendiri; bagaimana seni membersihkan politik dari anasir-anasir kotor, seperti tiranisme, korupsi, kolusi, nepotisme, dan despotisme; serta bagaimana senipun mendandani budaya dan sistem sosio-ekonomi agar lebih manusiawi; semuanya itu adalah tugas berat seni, yang harus diemban karya-karya seni berkualitas.

Kita sudah melihat, betapa dahsyatnya pengaruh Baroque, Roccocco, Rennaissance, dan Romantique pada abad pertengahan: dimulai dari diobrak-abriknya kemapanan dominasi Gereja Katholik Roma oleh Reformasi kaum Protestan yang dimotori Martin Luther dan Johannes Calvin; berlanjut pada terobosan-terobosan dalam bidang sains dan teknologi, yang dipimpin Coppernicus, Galileo, dan Newton; yang semakin menjalar menjadi Revolusi Industri, yang dipelopori James Watt; kemudian lahir paham-paham baru di bidang politik dan kenegaraan serta ekonomi, seperti imperialisme, kapitalisme, dan liberalisme, yang diujungtombaki Rosseau, Montesque, dan Adam Smith; dan puncaknya, Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika meletus.

Memang aliran-aliran seni tersebut bukan pelopor atau pencetus semua peristiwa sejarah --yang terus berantai bagai reaksi inti atom tanpa tertahankan-- itu dalam artian sebenarnya.

Tapi tak bisa disangkal, tokoh-tokoh sejarah itu mengantongi roh dan semangat pembaruan yang dinamis dari seni-seni yang hidup pada zaman itu.

Hanya saja, bila dicermati secara kritis, selain berkah besar bagi umat manusia, di sisi lain, peristiwa-peristiwa sejarah itupun menghadirkan bencana-bencana yang sama besarnya (kalau tidak mau dibilang lebih besar).

Ekses-ekses yang timbul telah menimbulkan kepedihan tak terperi, bahkan tak terhitung nyawa manusia yang harus dikorbankan.

Dan sekali lagi, walau bukan tangan seni sendiri yang berlumuran darah, namun --sebagai inspirator-- tetap saja seni harus ikut bertanggungjawab.

Dari sinilah kita dapatkan fungsi dan manfaat lain dari seni. Karya seni yang hebat mencerminkan kejeniusan orang yang menciptakannya.

Akan tetapi, seberapapun indah dan inspiratifnya seni dan karya seni, tetap saja ia jauh dari sempurna. Defek sekecil apapun mampu mengejawantahkan tragedi yang fatal dan letal.

Dengan lain kata: fungsi dan manfaat seni dan karya seni adalah sebagai cermin, bagi diri penciptanya dan bagi seluruh umat manusia, bahwa betapa rusaknya kita, sampai-sampai hal-hal indah yang kita maksudkan untuk kebaikanpun bisa mengandung keburukan dan membawa kehancuran.

4. Kesimpulan

Jadi kita sudah mendapat jawaban lengkap bagi pertanyaan di awal tulisan tadi.

Yang perlu ditambahkan adalah bahwa dari seni kita dapat belajar: pertama, mahakarya-mahakarya dari berbagai megaaliran seni itu saja ada penciptanya, ada otak brilyan di belakangnya, apalagi alam semesta dan isinya serta kehidupan di dalamnya; betapa tolol manusia yang berpikir bahwa semua itu terjadi hanya secara kebetulan, sampai tidak mau mengakui adanya Pencipta Agung.

Kedua, untuk pertanyaan: apakah ada yang disebut karya seni yang bermoral, jawabannya: ada! Pencipta tidak dapat menciptakan sesuatu yang sederajat dengan dirinya.

Ia hanya dapat menciptakan sesuatu yang derajatnya lebih rendah. Tuhan tidak dapat menciptakan tuhan yang lain.

Begitu pula manusia, makhluk bermoral, tidak dapat menciptakan makhluk bermoral lainnya. Hanya Tuhan yang dapat menciptakan makhluk bermoral, sekaligus karya seni teragung: manusia!

Yang terakhir dan terpenting: seni mengingatkan, manusia, makhluk yang harusnya bermoral, yang adalah puncak karya seni tertinggi ilahi, yang semula diciptakan sempurna, kini sudah cacat, bejad total, tidak mampu lagi mengenal dan memenuhi standar yang ditetapkan Penciptanya; betapa sesungguhnya manusia sudah tanpa pengharapan; dan itu semua karena dosa.

Agama, budaya, filsafat, ilmu-pengetahuan dan teknologi tidak sanggup memulihkan manusia kembali. Yang dibutuhkan manusia adalah juruselamat. Hanya Sang Mahapencipta sendiri yang mampu dan layak menjadi juruselamat. Dan itu sudah dilakukan-Nya dua milenia yang lalu.

Yang harus manusia lakukan hanyalah menerima tindakan penyelamatan itu, percaya dan mempercayakan dirinya pada Sang Juruselamat, jika tidak ingin binasa kekal pada hari penghakiman kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun