Kebodohan juga sering dikaitkan dengan sesuatu yang tidak logis. Beberapa tahun yang lalu, Rieke Dyah Pitaloka memerankan karakter komedi-situasi bernama "Oneng" yang kondang dengan ke"o-on"annya. Omongannya nggak nyambung, analisanya tidak sinkron.
Pendek kata, dia dibilang "o-on" karena ketidaklogisan daya pikirnya. Dan bagaimana bila ada yang dengan yakin mengatakan bahwa ada laki-laki melahirkan anak? Tentu orang itu akan disebut "bodoh", atau bahkan "gila", karena apa yang dikatakannya itu tidak logis.
Tapi tidak ada yang lebih bodoh daripada orang yang "sengaja" tidak mau tahu, "sengaja" tidak mau belajar, dan "sengaja" tidak mau berpikir logis.
Okelah kalau ada orang melakukan sesuatu yang tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan kita. Meskipun awalnya mungkin kuping jadi merah, kita akan maklum juga dengan langgam bicara yang keras dari orang-orang suku tertentu, pembawaan mereka memang begitu.
Kita tahu, tidak ada maksud mereka untuk kasar. Namun tidak termaafkan jika kita melakukan sesuatu yang kita tahu pasti menyakiti orang lain atau membawa keburukan namun kita tidak mau tahu.
Orang mana yang sebegitu bodohnya sampai-sampai tidak tahu kalau sampah yang terus dibuang ke kali lama-lama akan membukit, menyumbat aliran air sehingga menyebabkan air itu meluap, yang disebut dengan banjir? Namun ironisnya, mengapa kita masih saja kerap melakukan itu? Tidakkah kita lebih bodoh daripada yang bodoh?
Pengalaman adalah guru terbaik, kata orang. Tapi, hanya orang bodoh yang mau belajar dari pengalaman, kata orang lain lagi.
Saya tidak tahu, orang yang menyatakan pendapat terakhir ini sebenarnya bijaksana atau bodoh bukan main.
Bagaimanapun, kita dapat belajar dari siapapun dan dari apapun, termasuk dari pengalaman. Belajar tidak selalu identik dengan menempuh pendidikan formal.
Belajar merupakan proses tak berkeputusan selama kita hidup. Semua yang kita lakukan harus mulai dari titik awal, yaitu belajar. Kita bisa berjalan karena pernah belajar jalan waktu bayi. Kita bisa baca-tulis-hitung karena pernah mempelajarinya di sekolah.
Apapun yang sekarang kita kerjakan dimulai dari tahap belajar, bukan dari potensi. Coba saja pikir kalau anak Anda punya tungkai dan kaki yang sehat tapi tidak mau belajar berjalan. Anak itu jelas punya potensi bagus, tapi sampai kapanpun dia takkan pernah bisa berjalan.