Dan petirpun menyambar lagi!
Kali ini bukan siang, tapi sore menjelang magrib. Di ruang tamu itu ada dua pihak yang sedang menjajaki hal yang sensitif. Di satu sisi: Wita, ibu, kakek, nenek tirinya, dan beberapa uwak dan paman-bibinya, dengan beban berupa kehamilan Wita yang sudah berumur tiga bulan.Â
Di sisi lain: Wahyu, juragan dan pemilik penggilingan padi tempat Wito bekerja, dengan kesediaan untuk menikahi Wita. Ada niat apa di balik kesediaan itu, tiada seorang pun tahu. Tampaknya, semua satu suara: kesediaan itu jalan keluar untuk menghapus aib --kalau itu bisa disebut aib. Namun anehnya, tak ada satupun suara terdengar menggugat perbuatan bejad Wito, yang menghilang entah ke mana. Entah bagaimana perasaan Wita remaja saat itu. Ia tidak bisa mengingatnya.
Sementara petir menyambar lagi!
Kali ini bukan lagi siang, bahkan bukan pula magrib. Melainkan malam. Ya, malam pengantinpun tiba. Kamar berhias, kelambu berenda, seprai warna-warni, semerbak bunga setaman, dan, apa lagi, selain sepasang pengantin baru.
Wita merasa pening, pusing, penat, lelah seharian penuh di kursi pelaminan. Wahyu pun sama. Namun saat Wita mulai melepas kebaya pengantinnya, menggerai rambut dari susuk dan sanggul, serta-merta hilang semua penat pada Wahyu. Hilang juga ingatan pada janjinya untuk tidak menyentuh Wita. Karena, sesuai perjanjian sebelum nikah, Wahyu hanya memberi status kepada Wita dan bakal anak yang dikandungnya.
Dan, sesuai perjanjian itu lagi, setelah Wita melahirkan, Wahyu akan segera menceraikannya. Kini ikatan perjanjian itu seakan terlepas seiring terlepasnya pakaian di tubuh Wita satu per satu.Â
Gejolak hasrat Wahyu berkibar melihat kemolekan tubuh ranum remaja Wita. Tanpa banyak kata-kata, direnggutnya Wita, dihempaskan ke atas tempat tidur. Tak dihiraukannya protes Wita, karena ia tahu, secara hukum dan agama ia berhak penuh atas tubuh isteriya; hal mana juga disadari dengan sesak hati oleh Wita.
Batin Wita menjerit lagi. Tapi kali ini lebih pilu, karena ia tidak punya hak untuk melawan. Semua haknya untuk menyerahkan tubuh dan menikmati persetubuhan dengan orang yang dicintainya secara sukarela dan sukacita, telah dipasung oleh hukum atas nama agama. Lebih sakit lagi, orang yang melakukannya kali ini tidak dapat dihukum. Padahal ia telah melanggar janji, juga tidak mempedulikan keadaan Wita yang tengah hamil empat bulan.
Dan petir kembali menyambar keras!
Pagi! Betul dugaan semua! Kali ini gelombang pasang kenangan mengempas pagi. Wanita itu berjalan anggun menuju kantornya. Mengenakan pasangan blus dan rok warna kelabu dengan corak minimalis dan menonjolkan potongan tubuh sintalnya; arloji emas di pergelangan lengan kanan; kalung, gelang, dan cincin yang juga emas; serta tatarias; yang semuanya serba sederhana namun malah menambah nilai elegan pemakainya. Dengan senyum yang selalu terbayang oleh bibir yang menampakkan garis keras, serta rambut lurusnya yang dibiarkan tergerai sebahu, tidak akan ada yang percaya kalau wanita eksekutif ini sudah berusia empat puluh dua tahun.