Bagi alam, mudah ditarik hipotesa, alamlah yang mempengaruhi manusia. Sebab, bukankah alam sekeliling kita sudah ada sebelum kita lahir? Tapi, bagaimana dengan kasus Lapindo, tanah longsor di Sangir, serta air bah di Aceh dan di bagian lain pulau Sumatera?
Sedangkan untuk makanan, gampang kelihatan bahwa manusialah yang mempengaruhi makanan; orangnya keras, tentulah suka makan yang keras-keras, misalnya. Namun, bisakah kita nafikan begitu saja peran dari jenis-jenis dan cara-cara pemberian makanan awal pada bayi?Â
Para pakar psikologi dan psiko-analisa sepakat bahwa tahap awal kehidupan manusia disebut fase oral, fase di mana segala mekanisme mental bersentral pada mulut, sekaligus fase yang krusial, karena sangat menentukan apa dan bagaimana kepribadian si anak kelak terbentuk.
Saya punya dua saran untuk menyikapi pertanyaan itu.
Satu, jawablah dengan kedua-duanya benar. Manusia dapat mempengaruhi dan dapat pula dipengaruhi alam dan makanan. Malah, dalam proses kehidupan, keduanya telah jadi lingkaran berantai di mana ujung dan pangkal telah lebur, sangat sulit ditentukan. Ini dapat kita lihat pada bangsa kita.
Dulu, kita dengar, Nusantara subur-makmur, segalanya tumbuh tanpa ditanam, sumber daya mineral, keanekaragaman hayati berlimpah. Hidup serba ada, hati jadi tenang. Kehidupan sosial sungguh baik, kita dikenal sebagai bangsa yang ramah.Â
Sayang, lama-lama kita terlena. Kita jadi malas. Tak kita perhatikan bumi pertiwi. Malah kita jarah tanpa sama sekali peduli kelestariannya. Maka, alam balas mengamuk. Terjadilah banyak malapetaka. Dari tengah penderitaan, kita yang malas ini ingin lekas keluar, tapi enggan berjuang. Segala cara dihalalkan. Dan selanjutnya, seperti reaksi inti berantai, dengan cepat rusaklah juga moral bangsa.
Hal itu, diperparah pengaruh budaya luar, menjadikan kita bangsa monster yang individualistis. Sikap mementingkan diri sendiri itu segera membentuk watak yang apatis dan ingin serba cepat. Ini ikut berpengaruh terhadap budaya makan kita. Kalau dulu, waktu kita masih sosialistis-komunal, kita rasa kurang pas kalau makan sendirian, tidak ramai-ramai sekeluarga.Â
Setiap detail dalam proses masak dan mengolah kita hargai, sebab makanan itu bukan untuk diri sendiri saja, dan memang kita ingin sekali menservis orang-orang yang ikut makan itu dengan makanan yang bukan hanya lezat namun juga sehat. Tapi sekarang, kenapa mesti repot? Makanan instan, termasuk junk food, laris.Â
Kita yang apatis ini tidak menghiraukan lagi segi kesehatan. Asupan nutrisi yang jelek menyebabkan metabolisme ikut jelek. Kadar kolesterol, trigliserida, dan lemak susul-menyusul dengan gula darah. Akibatnya, tensi meningkat. Seterusnya, emosi kian tidak terkendali. Perilaku kita jadi semakin buruk.
Saran saya yang kedua adalah: tak usah pedulikan sama sekali pertanyaan itu. Buat apa pusing-pusing? Toh, ini bukan ujian nasional. Bahan penelitian pun bukan. Orang kurang kerjaan mana pula, sejenius apapun dia, yang mau repot-repot mengkaji soal beginian?