Bocah empat tahun termangu bersama malam;
Menatap angin yang mengantuki candra
Dan iseng-iseng main gapleh dengan para kartika dari sejumlah rasi tersembunyi.
Jemari memainkan gelimang dingin kota
Yang kontras dengan siangnya,
Istimewanya kalau pembaringan terjulur antara langit dan bumi
Tanpa reserve menemboki.
Celotehnya menuju sang ibu:
"Mak, kok orang pada pasang kertas-kertas gantung, merah-putih-merah-putih?"
Ibu sedang mengurut-urut teratur betis beralur pembuluh darah balik menjulur-julur,
Masih juga bisa menyahut:
"Besok hari kemerdekaan.
Eh, bukan! Sekarang sudah hari kemerdekaan."
"Hari kemerdekaan itu apa, sih, Mak?"
Si anak dalam petiduran berkhayalnya mulai menyidik.
"Hari kemerdekaan ya hari kemerdekaan. Lomba-lomba. Upacara. Tujuhbelasan."
Ibu asal jawab. Tangan masih lengket di kulit pembatas tulang kering.
Geliat sebentar, si kecil miring ke ibu. Bola mata tak menyembunyikan bingung.
"Tujuhbelasan itu apa, sih, Mak?"
Nafas panjang-pendek mengiringi jawab bunda janda itu.
"Tujuh belas Agustus, Ujang!"
"Kalau tujuh belas Agustus orang gantung kertas ya, Mak? Buat apa?"
Penasaran.
"Ya, rame-rame. Lagu-lagu perang. Untuk rayakan hari kemerdekaan. Begitu, Ujang!"
Setengah ngantuk.
"Hari kemerdekaan itu apa, sih, Mak?"
Repetisi tak bosan berluapan dari budak lelaki beralas bangkai koran.
Kantuk mulai jadi pasang. Ibu surut dalam jawab asal-asalan.
"Itu hari kita merayakan negeri ini merdeka."
Tubuh makin tenggelam dalam selonjoran.
Si bocah malah terbit.
"Merdeka itu apa, sih, Mak?"
Jawaban kacau makin meracau. Kesadaran si ibu meredup konstan.
"Merdeka ya merdeka. Bebas. Tidak dijajah. Mau apa saja bisa."
Lima menit menghadirkan ketercenungan bagi ujang kerempeng itu.
Lumayan juga mencerna kata-kata Ibu barusan.
"Kita merdeka, ya, Mak?"
Dengkur kepagian rada tersendat. Terpaksa si emak menghimpun keterjagaan.
"Ya, sudah, barangkali."
"Bapak juga ya, Mak? 'Kan di atas sana bisa apa saja, kata Emak?"
Antusiasme agak malu tapi tetap bertamu dalam pencarian si ujang,
Tergoda oleh ingatan pada bapak yang belum sempat tertatap.
Hanya cerita Ibu merangsang citra gagah ganteng namun tak terjamah
Muncul dalam khayal yang tertantang.
Mendengar Bapak diucap, sentimentil Ibu tersentil.
Liur dijejal dulu beberapa kerap sebelum memasrahkan jawab:
"Ya, Ujang. Bapakmu juga sudah merdeka, barangkali."
"Kenapa barangkali, Mak? Merdeka itu susah ditebak ya, Mak?"
Otak polos si ujang menerobos tanpa tedeng yang beraling,
Barangkali.........
Air mata Emak mulai menderas. Ujang tak melihatnya. Emak menghadap arah beda.
Untunglah!
Ia tak mau anaknya tahu batinnya menderu
Bersama angin yang tak pernah malu menjajah perhentian mereka
Di trotoar ini, tempat lazimnya para pengamen dan pengemis mencari secuil istirahat.
"Betul, anakku sayang. Merdeka itu memang susah ditebak. Susah dicari artinya.
Meski banyak yang mengais maknanya di mana-mana.
Mungkin dia itu perut yang diempani sekali dua-tiga hari.
Bisa jadi diartikan orang mangsa orang tanpa perintang apa-apa, bahkan hukum dan moral.
Atau juga sebegitu bebasnya harga barang dan kebutuhan melambung,
Sebaliknya, tak kira-kira dalamnya kesejahteraan dan harga diri menyelam.
Dan barangkali.........
Yang paling betul, Bapakmulah yang sudah merdeka,
Terbang di alam sana bersama jiwa yang tak fana........."
Isak sang bunda, cuma dalam hatinya. Si buyung tak tega ia perdengarkan itu.
Tak mau ia bocahnya tahu bahwasanya ia ingin merdeka,
Seperti Bapak.
* * *
Ala moderatis minoritas (Sekali[?] Merdeka, Tetap[?] Merdeka!):
Aku pegawai. Kadang negeri, sering swasta. Sini mati suri, sana sa(m)bung nyawa.
'Merdeka' bagiku tak terikat. Tidak untuk disiplin, apalagi komitmen.
Anda tentu maklum keadaan sekarang menyulit terus 'kan?
Mesti pandai-pandailah putar peruntungan! Jujur? Hari gini? Zaman merdeka, gitu loh!
Tahu sendiri dong, trend itu mahal. Mode selalu pengennya ngebut.
Demi gaya, apapun halal toh?
Kalau tidak, isteri terusik kecemburuan pada teman dan tetangga!
Anak juga. Kucilan teman-temannya siap menggugat pengejaran penampilan mutakhir.
Daku sendiri, yah, pasti sama, lah, ya! Yang penting duit, deh!
Buat mengecup awang-awang!
Padahal dagang juga sih, jatuh-jatuhnya,
Merdeka itu mutlak, jiwanya kewirausahaan.
Semua tak jadi soal; mau sikut kawan, makan kerabat, injak orang? Biasa banget!
Tipu-tipu wajib hukumnya. Pernah dengar "persaingan bebas" 'kan? Nah!
Timbunan dan menimbun sudah lumrah di area saya. Perkara harga naik karenanya?
Emang gua pikirin?!
Ini 'kan alam kemerdekaan? Bernafaslah selega kita mampu! Hiruplah laba!
Tak usah hiraukan nurani menghasut!
Pokoknya, just having fun, Man!
Live your own hedonic life! Do your maddest style!
Kami kembar. Dempet pula. Aku sang empunya modal, saudaraku aristo-birokrat.
Hobi kami jelas sedarah: kekuasaan berikut segala hal-ihwalnya menguasai.
Kami satu nyawa dalam kegemaran caplok-mencaplok. Lapar-haus kami tak berbatas.
Tangan-kaki kami fleksibel: mampu mengganda lipat kali, sanggup melar semaunya.
Makna kemerdekaan untuk kami ialah monopoli.
Artinya, hanya kami yang boleh punya hak mempunyainya.
Jikalau ada yang berusaha mencari hak itu, kami tentu segera remukkan.
Yah, maklum saja, tangan baja ini takdirnya meremat-lumatkan semua;
Kalau sekesempatan saja tidak mencengkeram mangsa, rasanya hati berpeluh muram.
______________________________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H