Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Dibantu 4G Andromax M2Y, Menjaga Hati dan Membugarkan Pikiran di Awal Ramadhan

1 Juli 2016   17:11 Diperbarui: 1 Juli 2016   17:14 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu hari pertama bulan puasa di tahun 2016. Juga hari terakhir kegiatan bakti sosialku bersama kawan-kawan relawan medis lainnya di Desa Citapen, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Prediksi kami, yang datang ke Puskesmas tempat kami menggelar bakti sosial pada hari terakhir itu akan sedikit saja, berhubung awal Ramadhan. Malah, bisa jadi, tidak ada warga yang datang. Jujurnya, itu bukan prediksi, sebenarnya, tetapi harapan. Maklum, selama lima hari bakti sosial, kami selalu kebanjiran pasien. 

Dari jam 7 pagi saat kegiatan dimulai, warga yang datang berobat atau sekadar memeriksakan kesehatan itu rata-rata sekitar lima ratus orang. Tua dan muda, wanita serta pria, orang dewasa maupun anak-anak. Sedangkan, rombongan kami cuma terdiri dari duabelas orang. Ditambah dokter Kepala Puskesmas dan staf Puskesmas lainnya, jadi tenaga kesehatan seluruhnya hanya sembilan belas orang. Pendaftaran sudah kami tutup dari jam 10, jauh lebih awal dari jam tutup Puskesmas yang jam 12, karena kami tahu, pasien pasti membludak. Tetapi, tetap saja tiap harinya kami selesai menangani pasien terakhir paling cepat jam 1 siang. Pernah bahkan sampai pukul 2.

Namun, harapan tinggallah harapan. Di hari terakhir itu, begitu kami tiba di Puskesmas jam setengah tujuh pagi, hati kami langsung ciut. Sudah ada kira-kira tiga-ratusan warga yang sudah menunggu! Dan benar saja, ketika pendaftaran ditutup, jumlah warga yang mendaftar untuk diperiksa sudah mencapai lebih dari tujuh ratus orang! Pasien terakhir yang kami periksa pun pulang tepat saat adzan ashar berkumandang.

Begitu si pasien terakhir tak nampak lagi, seperti dikomando, kami semua menjatuhkan diri ke lantai secara bersamaan. Terkulai begitu saja di tempat kami sebelumnya berdiri. Semuanya berada di ruang tunggu depan. Tidak ada lagi tenaga untuk mencari posisi yang lebih enak. Juga tidak punya tenaga lagi untuk jaim-jaiman. Baik kami berduabelas yang datang dari Bandung maupun ketujuh pegawai Puskesmas. Semua sama-sama kusut muka, rambut, dan pakaian. 

Dan pandangan kami semua sama-sama nanar. Jangankan untuk tersenyum dan berbicara, untuk menggerakkan bibir dan menarik nafas saja rasanya sudah sangat berat. Energi emosional kami sudah terkuras sampai kering-kerontang! Sementara, untuk membatalkan puasa, kami tidak mau. Selain kami merasa janggal kalau baru di hari pertama saja puasa sudah batal, waktunya pun sudah tanggung. Tinggal kurang dari tiga jam lagi sudah magrib.

Tidak tahu, berapa lama persisnya kami duduk lemas di lantai itu dalam diam. Dan tak tahu juga siapa persisnya yang memulai, yang pasti, satu persatu dari kami mulai mengeluarkan ponsel masing-masing. Masih tetap sembari membungkam. Entah apa yang dilakukan para rekanku yang lain dan para staf Puskesmas, yang pasti aku sendiri hanya memencet-mencet tak pasti. 

Mengecek apakah ada telepon, S.M.S., atau WhatsApp yang masuk tanpa terdengar. Pindah lagi ke menu utama. Mau buka aplikasi media-sosial, jaringan selular sangat jelek di daerah itu, terutama di dalam ruangan bertembok seperti di Puskesmas itu. Seperti berada di area blank-spot, Puskesmas tersebut. Sinyal normal untuk telepon dan S.M.S. saja hanya satu setrip. Itu pun jauh lebih sering hilangnya. Bagaimana mau berkoneksi internet? Apalagi browsing. Dan kalau sudah begitu, yang namanya streaming itu bukan hanya susah, namun betul-betul mustahil dilakukan! Sedangkan, untuk main game, gairahku belum ada. 

Untuk menyetel lagu atau musik, aku begitu segan, bukan cuma karena takut yang lain kurang berkenan, tetapi karena hatiku sendiri masih terlalu kacau untuk bisa menikmatinya. Jadi, untuk membaca e-book pun aku merasa masih terlalu kepayahan untuk berkonsentrasi. Sangat mungkin, kekacauan pikiran dan hatiku, dan mungkin juga kekacauan pikiran dan hati yang lain-lainnya, terus “dipelihara” oleh suasana “panas membara tetapi juga dingin membeku” di ruangan itu.

Tahu-tahu, terdengar ada yang mendehem. Aku dan yang lain-lain menengok ke arah sumber suara. Ternyata sang dokter, Kepala Puskesmas. “Teman-teman sadayana (semuanya –Pen.), kalau mau buka internet, apalagi kalau buka Youtube, kalian teh bisa ngiringan maké ieu (ikutan pakai ini –Pen.),” ujarnya lirih dan pelan-pelan seraya mengusap-usap kumisnya sendiri dengan satu tangan, sementara tangan yang satu lagi meletakkan sesuatu di lantai depannya. Ternyata itu perangkat Mobile-Wifi (MiFi) Andromax M2Y dari Smartfren.

Suasana pun menjadi sedikit mencair, berhubung kami semua pastinya merespon tawaran tuan rumah kami yang sudah kami anggap sebagai ayah sendiri itu. Semua mengatakan sesuatu, kendati beda-beda yang diucapkan. Ada yang sekadar jawab “muhun, Dok (iya, Dok –Pen.)”, ada yang ditambahi kata-kata “nuhun, Dok (terimakasih, Dok –Pen.)”, ada juga yang bilang “wow!” meskipun “wow” itu terdengar aneh karena datar dan sangat kurang kadar antusiasnya. Setelah itu, dalam beberapa detik, selesai. Kembali tidak ada yang berbicara. Selain itu, tetap belum ada senyuman yang terkembang, biarpun semilimeter saja. Dan semuanya kembali mengarahkan pandangan ke gadget masing-masing lagi.

Tiba-tiba, terdengar suara Aa Gym melantunkan “Jagalah Hati”. Ternyata dari smartphone sang dokter. Aku duduk tidak jauh darinya, jadi bisa melihat tampilan situs Youtube di smartphone-nya itu. Tetapi, karena yang lainnya memang mungkin tidak bisa melihat, cukup beralasan juga kalau dokter itu berkata, “Ieu teh tiYoutube (ini dari Youtube –Pen.). Lancar ‘pan? Soalna, maké 4G tina MiFi eta tah (soalnya, paké 4G dari MiFi itu tuh –Pen.). Jadi, kalau kalian mau streamingatawa (atau –Pen.) browsing, sok waé mangga (silakan saja –Pen.).”

Kami pun serempak tersenyum. Aku tahu, karena aku pun berpikiran demikian, bahwa senyum kami itu tidak saja untuk basa-basi mendengar tawaran murah hati sang dokter, tetapi juga lebih disebabkan karena lagu Aa Gym yang disetelnya. Bagi kami, itu bagai sindiran yang bijak. Aku yakin, sang Kepala Puskesmas Citapen menyadari arti senyum kami yang agak kentara nuansa gelinya. Dan aku juga yakin, beliau memang sengaja melemparkan gurauan yang bijaksana tersebut.

Sewaktu lagu tamat, sang dokter menaruh ponselnya di lantai. “Saya mau sholat ashar dulu, mumpung masih ada waktu. Kalian terusin aja ya.” Aku yakin, kali ini bukan sindiran yang disengaja. Namun, meski begitu, kami tetap merasa tertegur. Kontan saja kami semua ikut meletakkan gadget masing-masing dan segera berdiri. 

Yang beragama Islam pergi mengambil wudhu dan menunaikan salat. Sedangkan beberapa yang beragama lain tetap menghentikan sejenak kegiatan dengan ponselnya, kemudian meninggalkan ruang tunggu Puskesmas itu guna menghormati kekhusukan rekan-rekan mereka yang Islam, berhubung salat memang dilakukan di ruang tunggu depan itu karena memang ruang itu yang paling luas sehingga bisa dipakai untuk salat berjemaah. Suasana menjadi jauh lebih mencair lagi.

Usai yang Islam salat, semuanya serentak berkumpul kembali di ruang tunggu itu. Suasananya sudah benar-benar normal total! Bahkan, kami menjadi sangat akrab dan penuh humor satu sama lain. Candaan demi candaan dan guyonan demi guyonan terlontar ringan dan spontan oleh satu persatu dari kami. Padahal, isi pembicaraannya sendiri cukup serius dan berat. Seperti masalah kesehatan penduduk Citapen, masalah kesehatan secara umum di Indonesia, masalah moral anak-anak muda zaman sekarang, bahkan juga masalah politik dan hukum. Seingatku, selama masa-masa bakti sosial yang hampir seminggu ini, belum pernah kami seakrab satu sama lain dan sehangat seperti itu. Praktis, tidak satupun dari kami yang berurusan dengan gadget-nya waktu itu.

Kemudian, salah seorang teman satu timku mencetuskan sebuah usul. “Ini ‘kan udah hampir jam setengah lima nih. Sejam setengah lagi waktunya buka. Kalau kita pulang ke Bandung teh, belum tentu kita keburu buka di rumah. Belum lagi kalau jalanan macet. Bisa-bisa, buka di jalan kita. Kalau Pak Dokter sama Bapak-bapak dan Ibu-ibu Puskesmas mah enak, rumahnya pada dekat. Kalau kita? Jadi, mohon izin ieuh, Pak Dokter. Boleh teu (boleh nggak –Pen.) kita-kita nunggu sampai magrib di sini, terus buka puasa bareng? Kalau bisa teh, Pak Dokter sama Bapak-Ibu Puskesmas semua juga ikutan. Sekalian perpisahan, ‘pan kita-kita besok udah nggak ke sini lagi?”

Aku dan teman-teman yang lain pun langsung setuju dan mendukung usul teman kami itu. Dan, ternyata sang dokter dan para staf Puskesmas Citapen pun dengan senang hati mengizinkan, sekaligus menyatakan kesediaan ikutserta. Bahkan, mereka pun “memaksa” menjadi pihak yang menyediakan hidangan. Sang dokter dan semua stafnya pun bergerak cepat. Mengambil ponsel masing-masing. Menelepon keluarga mereka masing-masing untuk membawakan ke Puskesmas sebagian dari hidangan buka puasa yang sudah mereka siapkan di rumah. Padahal, rencananya, beberapa dari kami sendiri yang akan pergi membeli.

“Kalau begitu, Pak Dokter,” usulku, “sekalian aja keluarga Pak Dokter dan keluarga Bapak-Ibu semua ikut datang ke sini. Kita buka puasa pertama ramai-ramai.” Semua pun setuju dengan usulku. Maka, di telepon, sang dokter dan para stafnya pun menyuruh keluarganya untuk datang buka puasa bersama di Puskesmas, sekalian dengan pesan supaya hidangan di rumah dibawa saja semuanya.

Sang dokter mengeluarkan anjuran, “Bari antosan (sambil nunggu –Pen.) magrib, bari antosan makanan dan keluarga kita datang, kumaha ariurang (bagaimana kalau kita –Pen.) isi waktu barimain internet deui (lagi – Pen.)? Soalna, saya tahu, biarpun urang tos (kita udah –Pen.) bercanda-canda deui, ketawa-tawa deui, atanapi ‘pan (tapi ‘kan –Pen.) teteup (tetap –Pen.), badan urangkarasa remek keneh (masih terasa remuk” –Pen.). Kalau badan remek, lama-lama otak oge (juga –Pen.) teh ikutan remek. Engké (nanti –Pen.) takutna, ujung-ujungna pada bete-beteandeui,jutek-jutekan deui, ciga bieu (kayak tadi –Pen.)” Semua tertawa. Lanjut sang dokter, “Nah, ameh moal tereh bete deui, refreshing waelah heula (biar nggak cepat bete lagi, refreshing dululah –Pen.)! Tapi, refreshing-naanu sakalian (refreshing-nya yang sekalian –Pen.) bisa isi otak dan nambah wawasan juga. Oke?”

Semua pun mengamini dengan serempak dan dengan sepenuh hati yang girang. Antusiaslah kami semua dengan gadget masing-masing. Ada yang bermain game secara online. Ada yang menjalankan video streaming. Ada yang browsing. Ada yang membuka email. Ada yang bermedia-sosial ria. Malah, ada seorang temanku yang juga asyik ber-video call. Sebagian besar melakukan semua kegiatan itu dengan konten yang bernuansakan Ramadhan. Aku sendiri melakukan gabungan dari semua itu kecuali video call, berhubung aku sedang tidak antusias mengobrol dengan lebih banyak lagi orang.

Dan, benar saja. Ketika satu persatu anggota keluarga dari staf Puskesmas Citapen datang, raut wajah dan pandangan mata rekan-rekanku dan para staf Puskesmas itu sudah jauh lebih segar berseri-seri. Tidak selemas setengah jam sebelumnya, saat anjuran sang dokter baru dikeluarkan. Aku sendiri pun merasa pikiranku sudah kembali segar, perasaanku sudah tidak lagi hipersensitif. Bahkan, rasa letih dan lapar-haus tubuhku pun tersamarkan.

Luar biasa sekali manfaat yang bisa kita peroleh kalau kita bisa arif dan cerdas menggunakan teknologi 4G-LTE! Termasuk, dan khususnya, saat Ramadhan. Makanya, kenapa tidak #4GinAja Ramadan Mu, apalagi sambil buka juga situs http://www.smartfren.com/id/4ginaja biar bisa peroleh banyak info dan bahkan berkesempatan juga dapat banyak hadiah menarik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun