Mohon tunggu...
samuel purba
samuel purba Mohon Tunggu... Administrasi - PNS, pemerhati sosial

Penikmat alam bebas dan bebek bakar; suka memperhatikan dan sekali-sekali nyeletuk masalah pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan; tidak suka kekerasan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Orangtua adalah Konselor Terbaik bagi Anak

28 Oktober 2022   16:27 Diperbarui: 28 Oktober 2022   16:33 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu terakhir anak perempuan saya terlihat kurang bersemangat. Anak kedua saya yang duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar ini biasanya selalu ceria dan bersemangat. Yang sedikit membuat saya tertegun adalah ketika melihat tidurnya tidak pulas di malam hari. Dia terlihat gelisah, marah, dan "mencak-mencak" meskipun sedang tertidur.

Puncaknya adalah ketika suatu malam anak perempuan saya tersebut mengatakan bahwa dia tidak mau sekolah besok dengan alasan atribut baju pramukanya tidak lengkap. Memang dalam beberapa bulan terakhir saya agak mencium gelagat kurang semangatnya putri kami ini dalam mengerjakan urusan pendidikannya. Nilai ujian harian maupun semesternya juga tidak terlalu memuaskan.

Akhirnya saya dan istri pun membahas kondisi anak saya tersebut secara serius. Beberapa informasi yang sebelumnya telah diterimanya tentang kondisi sekolah dan pergaulan anak-anak saya akhirnya membawa kami kepada dugaan bahwa putri saya tersebut dalam kondisi psikologi yang kurang baik.

Pada saat itu juga saya memanggil putri kami tersebut dan menanyakan apa yang dia rasakan selama berada di sekolah. Lantas dia menceritakan semua kekesalan, kebingungan, dan ketakutan yang dirasakan, baik yang berasal dari guru maupun teman-teman seangkatannya.

Setelah mendengar cerita putri saya tersebut, lalu saya menelepon wali kelasnya. Dan dari wali kelasnya tersebut saya mendapat keterangan bagaimana perilaku putri saya tersebut, yang menurut gurunya masih perlu dibenahi. Setelah itu saya memberikan nasihat kepada putri kami tersebut dan mendorongnya untuk belajar dari pengamalaman dan memperbaiki apa yang menjadi kekurangannya. Beberapa minggu setelah itu saya selalu memantau perkembangan kondisi anak saya tersebut. Dan syukurnya terlihat dari hari ke hari dia semakin ceria, bersemangat ke sekolah, lebih disiplin, yang akhirnya berpengaruh kepada perbaikan nilai hasil ujiannya.

***

Saya dan istri kebetulan berstatus pekerja, yang mana rutinitas kegiatan sehari-harinya mulai pagi hingga menjelang malam, sebagaimana kebanyakan orang-orang di kota besar semisal Jabodetabek. Harus diakui bahwa waktu khusus untuk berbincang-bincang dengan anak-anak adalah hal yang cukup sulit untuk kami miliki.

Tidak jarang justru akibat kelelahan dan banyaknya beban pekerjaan membuat fisik dan mental sudah menurun ketika tiba di rumah. Akibatnya yang sering muncul justru sikap yang kurang baik seperti kesal, cuek, bahkan marah. Padahal masih banyak hal yang harus diurus di rumah, terutama kebutuhan anak-anak.

Padahal, belajar dari pengalaman putri saya di atas, ada begitu banyak situasi maupun peristiwa yang mereka hadapi setiap hari, yang mana mereka harus belajar untuk menerima, memahami, maupun mengatasinya sendirian.

Di sekolah misalnya, meskipun di dalam kelas ada wali kelas yang bertanggungjawab atas anak saya, namun dengan sistem pendidikan yang belum terlalu ideal semisal perbandingan jumlah guru dan murid ataupun rasio jumlah murid per kelas, maka kita tidak bisa berharap banyak seorang wali kelas dapat masuk kepada perkembangan psikologi murid-muridnya.

Belum lagi di sekolah, dengan latar belakang teman-temannya yang berbeda-beda membuat nilai-nilai dan pergaulan yang terbentuk juga belum tentu sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran yang kita kembangkan di rumah sebagai orang tua. Dan dengan semua situasi tersebut, anak-anak akhirnya harus mengambil keputusan sendiri, mana yang harus diikutinya, mana pula yang perlu dijauhinya.

Namun praktiknya tentunya tidak semudah itu. Sebagai anak yang juga masih labil dalam perkembangannya, tidak jarang membuatnya terombang-ambing dalam kepribadian dan karakter, bahkan dapat kehilangan kepercayaan diri bahwa dia mampu berkembang dengan baik di dalam situasi dan kondisi yang tidak ideal tersebut.

Yang lebih parah jika ternyata di lembaga pendidikan sendiri belum sepenuhnya bebas dari subjektifitas guru dalam menilai, perilaku mendiskreditkan siswa secara verbal maupun non verbal, kekerasan fisik dan non fisik (bullying) secara langsung maupun tersenbunyi dari rekan sepergaulan, dan hal-hal negatif lainnya, memaksa kita sebagai orang tua sama sekali tidak boleh lepas tangan atas pendidikan anak, alih-alih menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah.

Dan yang lebih membuat situasi lebih memberatkan anak-anak adalah manakala setelah berjam-jam berada di luar rumah, ketika dia berharap hanya dalam 1-2 jam untuk berbicara saat orang tuanya ada di rumah, bukan ketenangan yang dia peroleh, alih-alih omelan bahkan amarah, yang membuatnya semakin terpuruk. Wajar jika akhirnya situasi ini membuat seorang anak kehilangan motivasi belajar bahkan dapat membuatnya menjadi stres.

***

Aspek psikologi merupakan aspek penting dalam perkembangan anak, yang sama sekali tidak boleh dianggap main-main atau sepele. Karena jika aspek ini terganggu, maka akan berdampak kepada aspek lainnya. Namun sepertinya masih banyak orang tua maupun tenaga pendidik yang belum sepenuhnya aware dengan hal tersebut.

Kalau ditarik lebih jauh, maka dapat dikatakan bahwa maraknya kenakalan remaja, perilaku menyimpang, maupun kekerasan kepada maupun yang dilakukan anak, adalah akibat dari kurang diperhatikannya perkembangan psikologi seorang anak.

Budaya pop yang berkembang marak yang disokong oleh teknologi informasi dan komunikasi yang tidak terbendung, membuat pendidikan psikologi perkembangannya anak menjadi semakin tertantang. Nilai-nilai semisal hedonisme, apatis, pornografi, bullying, secara tidak langung membuat persaingan tersendiri di antara para peserta didik. Tidak mudah membuat anak-anak merasa cukup nyaman dengan apa yang diajarkan di rumah, dimana di luar rumah mereka dipaksa berbenturan dengan beragamnya karakter yang ditunjukkan teman-temannya.

Di saat itu anak-anak secara alami mencari nilai-nilainya sendiri. Pencarian tersebut dapat berujung kepada kesombongan maupun ketidakpuasan. Dan jika orang tua tidak mengintervensi melalui pendekatan-pendekatan yang persuatif, bukan tidak mungkin kebingungan anak-anak berujung kepada perilaku yang menyimpang.

Fakta yang kita dengar akhir-akhir ini mengenai aksi kekerasan anak sekolah di jalan raya, genk motor, dan lain sebagainya membuat kita sampai pada kesimpulan bahwa aspek psikologi perkembangan anak menjadi sesuatu yang sifatnya urgen dan mendesak. Dan sayangnya ternyata dari data yang ditemukan, bahwa Indonesia saat ini kekurangan lebih dari 100 ribu orang guru bimbingan dan konseling (BK). Disinilah sekali lagi, peran orang tua sebagai konselor menjadi sangat vital.

***

Apa yang bisa dilakukan orang tua? Dari pengalamannya saya di atas, orang tua pertama sekali harus "bertobat" dan mengakui kesalahan dan kelemahannya dalam mendidik anak-anaknya, serta harus mau berubah untuk hal tersebut.

Perubahannya menurut saya tidak terlalu sulit. Pertama, orang tua harus berkomitmen meluangkan waktunya secara khusus setiap hari untuk berbicara dengan anak-anaknya. Tanyakan apa yang mereka sudah alami sepanjang hari ini, lalu tanyakan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Lalu setelah itu bawa anak-anak dalam pendidikan nilai-nilai yang positif. Misalnya mengajarkan kepada mereka akan keterbukaan, penerimaan, sportifitas, tekad dan kerja keras, rasa kasih dan sayang kepada sesama, mau memaafkan, dan hal-hal baik lainnya.

Kedua, usahakan untuk mengambil waktu melakukan kegiatan secara bersama-sama. Misalnya makan malam bersama, berdoa bersama, menyanyi, menonton, jalan-jalan atau makan-makan, serta kegiatan lainnya. Hal ini akan membuat anak-anak merasakan kehadiran orang tua mereka secara penuh ada bersama dengan mereka dan akan meningkatkan rasa percaya diri mereka.

Ketiga, usahakan memberikan sentuhan fisik yang memberikan semangat dan ketenangan. Misalnya belai kepala anak setiap kali selesai berbicara, pegang tangannya, cium kening atau pipinya, tepuk punggungnya, atau hal lain yang membuatnya merasa orang tuanya berada di pihaknya dan tidak akan menyalahkannya.

Dan terakhir, usahakan membangun komunikasi dengan gurunya di sekolah maupun  orang tua teman-temannya di sekolah. Komunikasi tersebut akan membantu kita semakin memahami situasi di sekolah dan bagaimana anak-anak kita dapat menyatu bahkan berkembang dalam komunitasnya tersebut.

Akhirnya, sekali lagi, orang tua adalah pihak yang sangat berperan penting dan bertanggungjawab dalam perkembangan psikologi anak-anaknya. Orang tua yang peduli dan berkomitmen untuk anak-anak adalah kunci dari hadirnya generasi muda yang positif, optimis, dan dapat berperan dalam memajukan peradaban masyarakat dan bangsa di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun