Tanggal 17 Agustus 2019 ini bangsa Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74. Seperti biasa, berbagai perayaan dan acara formal mewarnai kemeriahan perayaan ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Di balik berbagai kemeriahaan tersebut, jujur saya berharap mendapatkan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Biasanya hal itu bisa hadir melalui kisah para pejuang dan saksi hidup perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah.
Lantas saya teringat pada sosok yang saya rindukan kembali, untuk berbagi cerita dan kisah hidupnya, yakni almarhum kakek saya sendiri. Beliau wafat di tahun 2006 lalu di usianya yang ke-88 tahun. Kakek adalah sosok dengan kisah luar biasa yang selalu membekas dalam ingatan saya. Beliau mantan tentara Heiho yang bertugas di Kepulauan Andaman dan Nikobar, India, sekitar tahun 1943-1949.
Saya telah berusaha mencari data dan dokumen pendukung kisah yang pernah saya dengar dari beliau. Namun mendapatkan data/ bukti tersebut ternyata tidak mudah. Salah satu situs di internet mengatakan bahwa tentara Jepang menghapus/ memusnahkan seluruh dokumen perang di Kepulauan Andaman dan Nikobar pasca menyerah di Perang Dunia ke-2.
Sepengetahuan saya belum pernah ada buku dalam bahasa Indonesia yang mengulas seputar topik Sejarah Heiho di Sumatera Utara atau Penjajahan Jepang di Andaman dan Nikobar. Hasil browsing saya di dunia maya, buku yang tentang Pendudukan Jepang di Andaman dan Nikobar tersedia di situs amazon.in, di antaranya "Japanese in the Andaman and Nicobar Island" (Jayant Dasgupta, 2002) dan "Japanese Occupation of the Andaman and Nicobar Islands 1942-1945, Reports and Documents" (T.R. Sareen, 2012). Sulit bagi saya mengakses buku-buku import tersebut.
Keterbatasan juga disebabkan dari saya maupun kakek saya sendiri. Saya sedikit menyesal karena semasa hidup beliau, saya belum menggali banyak fakta dengan lebih mendetail. Mungkin minat saya pada saat itu akan sejarah belum mendalam. Kalau dari kakek saya sendiri, mungkin hal-hal yang diceritakan sebatas hanya yang dianggap penting bagi cucunya. Faktor ingatan yang sudah berkurang juga tentunya juga sangat mempengaruhi.
***
Tahun 1943, saat itu baru beliau baru berusia 25 tahun. Di sebuah desa kecil di kaki Gunung Sinabung, Tanah Karo, Sumatera Utara, tentara Jepang sudah masuk dan mendata pemuda yang akan dijadikan tentara. Kakek saya diwajibkan mendaftar bersama beberapa pemuda kampung saat itu.
Tak lama kemudian mereka dikirim ke camp pemusatan latihan di daerah Polonia, Kota Medan. Selama lebih kurang tiga bulan mereka bersama ratusan pemuda lain dilatih orang tentara Jepang. "Kalau dipukul sama tentara Jepang, langsung jatuhkan badanmu ke tanah. Pasti mereka berhenti memukul. Tapi kalau kau masih berdiri, kau akan terus dipukulnya sampai jatuh," demikian kenang kakek.
Mengenai tentara militer bentukan Jepang, sebagaimana dimuat dalam hariansejarah.id bahwa organisasi militer bentukan Jepang bertujuan untuk secara langsung berperang bersama pasukan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Kondisi Jepang yang semakin terdesak membuat Jepang mengerahkan pemuda di semua negara pendudukan Jepang berperang secara langsung.
Heiho (Pasukan Pembantu Prajurit Jepang) adalah organisasi yang beranggotakan prajurit Indonesia untuk melaksanakan pertahanan militer, baik di Angkatan Darat maupun di Angkatan Laut. Heiho sendiri berperang sebagai Pasukan Pembantu Prajurit Jepang. Heiho ditugaskan bukan hanya di Indonesia, tetapi di seluruh daerah pendudukan Jepang seperti di Burma, Vietnam, Singapura, dan Malaya.
Heiho dibentuk berdasarkan instruksi bagian Angkatan Darat Markas Besar Umum Kerajaan jepang pada tanggal 2 September 1942. Tujuan didirikannya Heiho yakni sebagai pembantu kesatuan angkatan perang dan dimasukkan sebagai bagian dari tentara Jepang. Â Adapun kegiatannya yaitu 1) Membangun pertahanan, 2)Menjaga kamp pertahanan, dan 3)Membantu tentara Jepang dalam peperangan.
Organisasi ini memang dikhususkan untuk bidang kemiliteran sehingga jauh lebih terlatih dibanding organisasi-organisasi lainnya. Heiho sendiri juga dibagi menjadi beberapa bagian, baik di angkatan darat, angkatan laut maupun bagian kepolisian.
Heiho juga memanfaatkan pasukannya sebagai tenaga kasar yang dibutuhkan dalam peperangan, contohnya memelihara berbagai senjata perang dan memindahkan senjata dan peluru dari gudang ke atas truk.
Jumlah anggota Heiho mencapai sekitar 42.000 orang (sejak berdiri hingga akhir masa pendudukan Jepang). Dari total tersebut, 25.000 orang diantaranya adalah penduduk dari Jawa. Namun begitu, tidak ada seorang pun yang berpangkat pejabat (perwira), karena pangkat pejabat hanya untuk orang-orang Jepang saja.
***
Percakapan antara aku dan kakek kebanyakan terjadi di sekitar tahun 1998-2000. Saat itu awal-awalnya aku menjadi mahasiswa. Minat belajar sejarah dan daya kritis baru-baru bertumbuh saat itu.
"Dari Tanah Karo ke Medan di tahun 1943 naik kendaraan apa, Bulang (panggilan kakek dalam bahasa Karo)?" tanyaku.
"Naik bus lah.."
"Bus apa?"
"Sinabung Jaya lah.."
"Emang sudah ada ya saat itu?"
"Ya udah lah.."
Untuk diketahui, bahwa Bus Sinabung Jaya adalah salah satu angkutan umum yang sangat dikenal (paling tua) oleh masyarakat Karo untuk melakukan perjalanan ke Kota Medan maupun sebaliknya.
Belakangan hari saya coba cross-check dari berbagai informasi, salah satunya di laman medan-tempoe.blogspot.com, ternyata Sinabung Jaya pertama kali beroperasi di tahun 1967. Mungkin yang dimaksud kakek saya adalah Bus PMG (Perusahaan Motor Gunung), cikal bakal Sinabung Jaya di kemudian hari.
Setelah melewati pendidikan militer Heiho di Medan, mereka kemudian diberangkatkan ke Pulau Andaman dan Nikobar. Saya mendapatkan cukup banyak artikel tentang invasi tentara Jepang di Andaman dan Nikobar. Namun keterangan mengenai orang Indonesia yang menjadi tentara Jepang di daerah tersebut sama sekali tidak ada informasi.
Selama berhari-hari kapal harus berhadapan dengan gelombang yang sangat tinggi, seolah-olah kapal siap ditelan oleh ganasnya Samudera Hindia. Menurut kakek, sebelum mereka mencapai Pulau Andaman dan Nikobar, kapal sempat singgah di Birma (Myanmar).
Saya kemudian mencari tahu, dulu kakek naik kapal model apa ya ketika dibawa ke Andaman dan Nikobar? Berdasarkan penelusuran di Wikipedia, dugaan saya kapal tersebut kemungkinan bernama Taiyo (1941-1944), Chuyo (1942-1943), atau Unyo (1942-1944).
Kapal ini termasuk jenis escort carrier (pengangkut pengawal) dengan bobot 17,830 tonnes. Tidak diperoleh informasi apakah kapal jenis ini pernah singgah di Sumatera (Pelabuhan Belawan) pada masa itu. Wikipedia hanya menjelaskan bahwa kapal jenis ini semuanya sudah tenggelan (all sunk).
Tak jarang ketika pesawat militer Inggris dan sekutunya menyerang markas Jepang di sana, kakek saya dan pejuang di sana harus segera bersembunyi di lubang-lubang di bawah tanah tersebut. Banyak tentara yang gugur dalam setiap pertempuran. Namun kakek saya selamat.
Menurut saya ada beberapa kemungkinan (sayangnya tidak bisa saya konfirmasi kepada siapapun), yakni:
- Informasi kemerdekaan Indonesia belum sampai kepada orang Indonesia yang berstatus tentara Heiho di Andaman dan Nikobar;
- Sekalipun sudah mengetahui kabar kemerdekaan Indonesia, tidak ada yang membawa mereka kembali ke tanah air dalam jangka waktu yang cukup lama;
- Kakek saya terpaksa berbaur dengan warga lokal India dan hidup sebagai bagian masyarakat di sana (mungkin menikah dengan warga lokal).
Untuk poin ketiga saya pernah mendengar rumor itu dari Paman saya yang lebih dekat dengan kakek saya selama di kampung. Dan hal tersebut rasanya masuk akal karena kondisi saat itu yang memaksa demikian. Namun sekali lagi saya belum sempat mengkonfirmasi kepada almarhum kakek. Bahkan Bapak saya sendiri pun tidak tahu benar tidaknya hal tersebut. Yang masih saya ingat ketika masih kecil, kakek senang sekali menonton film India. Dia mengaku masih ingat beberapa kosakata bahasa India.
Poin kedua, menurut saya ada cerita yang cukup berkesan. Kakek saya cerita bahwa beberapa tahun setelah perang selesai, salah satu proklamator yaitu Bapak Mohammad Hatta mengunjungi orang-orang Indonesia yang masih tinggal di Andaman dan Nikobar. Bahkan Bung Hatta sempat bermain sepak bola bersama tentara di sana.
"Bung Hatta pemain sepakbola yang hebat, posisinya bek kiri. Tendangannya sangat kuat!" begitu kata kakek saya. Saya tidak tahu berapa lama Bung Hatta di sana (tidak menemukan catatan sejarah tentang itu). Yang jelas, menurut kakek bahwa Bung Hatta kemudian berpesan agar seluruh tentara Indonesia disana agar kembali ke ibu pertiwi. "Kita sudah merdeka. Pulanglah ke tanah air," pesannya.
Akhirnya kakek saya dan rombongan kembali ke Indonesia. Saya tidak tahu naik kapal apa. Yang saya ingat kapal tersebut hampir tenggelam di Samudera Hindia. Sebuah pengalaman supranatural kemudian dialami kakek saya. Sewujud perempuan muda, berpakaian putih berkilauan, dan bersayap mendatanginya di suatu malam dan berkata, "Jangan takut, Bapak selamat!". Setelah berkata demikian dia terbang menembus atap kapal dan hilang. Badai laut kemudian menjadi tenang, demikian jiwa kakek saya.
***
Kisah seperti kakek saya mungkin sudah jarang terdengar saat ini. Saya tidak tahu apakah beliau termasuk pahlawan kemerdekaan. Dan mungkin ada banyak kisah para pejuang lain yang tidak pernah diberitakan. Yang pasti mereka adalah saksi hidup perang saat itu.
Sampai akhir hayatnya, masih banyak kisah yang belum sempat terungkap di balik berbagai peristiwa yang dijalani kakek saya selama menjadi tentara Jepang, khususnya ketika berjuang di Andaman dan Nikobar. Patut disayangkan memang  minimnya dokumentasi dan catatan sejarah, termasuk penelitian sejarah terhadap peristiswa itu.
Namun pesan perjuangan beliau sangat kuat saya rasakan sampai sekarang. Mereka tidak hanya berani meninggalkan negeri ini untuk berjuang entah dimana, namun mereka juga berani untuk kembali ke tanah air, sekalipun banyak yang dipertaruhkan, termasuk nyawa sendiri.
"Pulanglah, kita sudah merdeka!" demikian pesan Bung Hatta. Mereka pun pulang, membawa berjuta cerita yang mungkin hanya tersimpan rapat di relung jiwa mereka sendiri. Satu hal yang pasti, saya dan generasi saat ini, kami adalah golongan yang sangat beruntung oleh karena perjuangan para pahlawan bangsa tersebut [.]
Jakarta, 14 Agustus 2019
In memorium J. Purba (1918 - 2005)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H