Mohon tunggu...
samuel purba
samuel purba Mohon Tunggu... Administrasi - PNS, pemerhati sosial

Penikmat alam bebas dan bebek bakar; suka memperhatikan dan sekali-sekali nyeletuk masalah pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan; tidak suka kekerasan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengunyah Buku, Sehatkan Pikiran

23 Juni 2016   13:18 Diperbarui: 23 Juni 2016   19:16 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak tahun kedua di perguruan tinggi (sekitar tahun 1999-2000) saya mulai mengenal buku. Hal itu dipicu oleh teman-teman dan senior di organisasi mahasiswa yang memaksa saya berdikusi dan berdebat mengenai berbagai isu sosial, ekonomi, budaya, filsafat, agama, dan politik. Mau gak mau saya musti melek dengan berbagai teori-teori tersebut supaya gak kelihatan goblok-goblok amat di hadapan teman-teman.

Ada beberapa teman yang memang sangat mencintai dan tergila-gila dengan buku. Setahu saya mereka sanggup merelakan uang sarapan pagi selama sebulan demi membeli buku. 

Meski secara finansial saya tahu mereka berasal dari keluarga yang kurang, namun saya kagum ketika berkunjung ke kost mereka dan menemukan buku-buku tersusun satu lemari penuh.  Sejak saat itu saya pun bertekad untuk menjadikan buku sebagai salah satu kebutuhan pokok.

Di masa itu buku benar-benar jadi barang mahal, apalagi peralatan seperti handphone dan berbagai gadget memang belum ada. Kalau ada teman yang mau pinjam buku mesti diwanti-wanti betul agar menjaganya jangan sampai rusak atau robek. Dan mesti selalu setiap kali jumpa diingatkan agar segera mengembalikannya. 

Sebab saat itu ada pepatah yang berkembang di kalangan mahasiswa (dan celakanya ini diajarkan oleh dosen juga) bahwa, “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya, namun lebih goblok lagi mereka yang mau mengembalikan buku yang dipinjamnya”.

Akibatnya buku juga sering menjadi sumber pertengkaran di antara mahasiswa, sebab banyak yang mengaku-ngaku sudah mengembalikan buku yang dipinjamnya. Dan ada yang lebih “jahat” lagi, yakni para senior yang mengajarkan cara mencuri buku dari perpustakaan. 

Saya masih ingat berbagai trik yang mereka ajarkan, meski tidak dapat efektif lagi saat ini karena di masa itu belum banyak CCTV. Namun di balik semua itu, bagi saya hal tersebut masih dapat dilihat dari segi “positif” bahwa mahasiswa di masa itu sangat mengerti bahwa mereka tidak akan bisa pintar tanpa buku.

Ketika saya sudah bekerja dan mempunyai penghasilan yang lebih, minat membeli buku semakin kuat. Saya tidak lagi terlalu banyak perhitungan sana sini ketika menemukan buku-buku best seller di toko buku. Akhirnya sampai saat ini koleksi buku saya sudah penuh dua lemari. Hingga beberapa saat lalu saya sedang membersihkan koleksi buku-buku tersebut, saya menyadari bahwa hampir setengahnya belum sempat saya baca sepenuhnya.

Pelan-pelan saya buka lagi buku-buku tersebut, dan banyak yang sudah saya lupa apa isinya. Bahkan yang membuat sedikit kaget adalah ada beberapa buku yang saya beli dua kali karena saya tidak ingat bahwa buku tersebut sebelumnya sudah pernah saya beli. 

Di dalam hati kecil saya muncul rasa bersalah dan malu. Ternyata sebagian motivasi saya membeli buku masih didasarkan oleh nafsu mengkoleksi tapi belum diikuti dengan niat sepenuhnya untuk mengunyah benar-benar isi buku tersebut.

Seandainya buku-buku tersebut saya berikan kepada orang lain barangkali mereka sudah mendapatkan banyak manfaat dari buku-buku ini. Saya jadi teringat bagaimana semangatnya saya di saat mendapatkan uang dan segera ke toko buku, namun selama bertahun-tahun buku-buku yang saya beli tersebut masih bersampul rapi di dalam lemari. Mungkin jika uang untuk membeli buku-buku tersebut bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain yang lebih berguna seperti untuk menolong orang lain.

Akhirnya untuk mengurangi rasa bersalah, saya memisahkan buku-buku yang belum sempat saya baca dan mulai membacanya. Semakin merasa menyesal karena memang buku-buku tersebut adalah buku-buku berkualitas sangat baik. 

Kenapa selama ini saya membiarkannya saja? Seandainya saya sudah baca dan review di tahun-tahun lalu tentu saja ada banyak ilmu dan pengetahuan yang bisa saya aplikasikan dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.

Begitulah, lantas saya teringat pengalaman di masa lalu ketika diajarkan cara membaca buku secara cepat. Mungkin hal itu yang membuat saya dulu begitu berpacu menyelesaikan sebuah buku. 

Namun sekarang ini ketika saya sedang membaca buku-buku berkualitas, membaca cepat-cepat bukan sebuah opsi yang baik. Bacalah buku pelan-pelan, seraplah setiap kata demi kata dan refleksikan dalam kehidupan sehari-hari kita.

Dan alangkah baiknya kalau kita mau menulis resensinya bahkan mensitesis beberapa buku dari sudut pandang kita menjadi sebuah tulisan. Karena saya yakin ilmunya akan semakin lengket ketika isi buku tersebut berdialektika dengan isi pikiran kita, dibandingkan sekedar membaca banyak buku secara cepat. Seperti cara makan yang baik, buku mesti dikunyah pelan-pelan sampai lumer, dinikmati setiap sensasi rasanya,baru kemudian ditelan.

Dan last but not the least (meski saya sendiri gak ngerti kemana arah tulisan ini), saya percaya bahwa sama seperti tubuh yang perlu makanan, maka otak dan pikiran kita butuh buku. Sama seperti tubuh yang akan lemas dan sakit tanpa makanan bergizi, otak dan pikiran pun dapat sakit tanpa buku-buku yang ‘bergizi’.

Bagi yang percaya keterkaitan antara kesehatan pikiran dengan tubuh, maka kurang membaca buku dapat menyebabkan tubuh juga sakit. Karena saya juga mengamati diri saya pribadi dan orang-orang yang rajin mambaca, menganalisis, dan menulis, banyak di antara mereka yang cenderung jarang sakit dan panjang umur. 

Oleh karena di zaman yang serba sibuk dan edan ini, alasan saya tetap membaca buku adalah untuk menjaga akal dan nurani tetap sehat dan kuat[.]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun