“Banyak yang tidak sekolah karena sulitnya jaringan internet. Beberapa juga ada yang sampai kelaparan.” ungkapnya sambil meratap susah hati.
Wulan menutup kisah kegelapan Desa Meat dengan ambisi masyarakat yang ingin keluar dari keterpurukan. Berawal dari BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang diberikan pemerintah, pelan-pelan kehidupan sosial desa ini beradaptasi.
Orangtua mulai bekerja dan anak-anak pun bersekolah luring dengan menerapkan anjuran protokol kesehatan dari pemerintah. Perlahan, anak-anak yang bergabung pada sanggar tari mulai aktif lagi dengan berbagai inovasi dan ide kreatifnya. Para penenun juga mulai menenun kembali dengan memanfaatkan pasar daring untuk menjualnya.
Wulan menegaskan lebih lagi bagaimana ia bergandengan tangan bersama anak-anak lainnya untuk bisa berkreasi lebih lagi dan kembali menyelenggarakan event serta turut aktif mengikuti kompetisi seperti sebelumnya.
“Begitu letih semuanya kala itu. Tetapi, mau yang tua dan muda, kami bersama-sama mencoba bangkit agar bisa kembali hidup. Berkat doa dan usaha, pengunjung pun mulai ramai lagi.”
“Dan sekarang, usaha kami berbuah. Kami kembali lagi membaik setelah pandemi yang sangat merusak segalanya. Itu sebagai pelajaran bagi kami semua.” tutupnya.
Cerita Wulan ini membuat meratap. Ternyata betul. Pesisir Danau Toba menyimpan butiran mutiara. Meski diberbagai kesulitan, mulai dari akses telekomunikasi dan jalan, keterbatasan pengetahuan, dan masa pandemi tidak menyusutkan semangat mereka.
Anak-anak disini memiliki ambisi mapan dan potensi yang besar. Mereka berusaha bergotong-royong, berpikir kritis, jujur, dan berkreasi melawan keterpurukan. Secara tidak sadar, mereka sudah membentuk siklus Profil Pelajar Pancasila. Ditambah lagi, tidak ada rasa gengsi dan takut untuk menunjukkan bakat yang dimiliki.
Rangkaian aktivitas mereka tadi mencerminkan bagaimana citra Indonesia di tangan generasi emas, penerus bangsa kelak. Seluruh upaya mereka lakukan untuk bisa memiliki skill yang memiliki daya saing global. Berbagai pihak, pemerintah maupun swasta bahkan alam pun, turut membantu anak-anak ini untuk terbang mengukir prestasi.
Sekali lagi, butiran mutiara ini seakan mengajak kita merenung. Mereka bisa memancarkan talenta emas yang dimiliki pada dunia meski dengan berbagai keterbatasan. Kini, kembali lagi pada pilihan masing-masing, ingin berkontribusi atau menjadi beban negara. Lantas, apakah kita sudah memanfaatkan dan mensyukuri apa yang kita miliki?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H