Selain ingin melestarikan, alasan mereka ingin menenun adalah sebagai sumber mata pencaharian. Meski memiliki lahan kebun dan sawah, penjulan dari kain tenun ini juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mereka juga sudah belajar bertenun ini selama bertahun-tahun. Durasi setiap orang berbeda-beda. Tergantung kekompleksan motif dan ukuran kain yang dipelajari. Menurut pengakuan mereka, bertenun ini memang cukup sulit dilakukan.
Sebagai salah satu daerah wisata, kain tenun yang mereka buat biasanya dijual langsung pada turis. Daya tarik pengunjung, baik dari domestik bahkan internasional sangat tinggi akan kain tenun yang mereka buat. Bukan tanpa sebab, motif yang dihasilkan langsung dari tangan ini menambah nilai ekonomisnya.
Salah satu cerita yang berkesan adalah ketika mereka menjual kain tersebut pada bule (turis). Ada beberapa oknum yang suka bermain atau menaikkan harga ketika para bule yang membeli. Tentu, sebuah kesempatan emas jika bisa menjualnya dengan harga yang melambung tinggi.
“...kami sebenarnya ingin melakukan hal yang sama, Bang. Tetapi, kami sadar itu perbuatan yang tidak baik. Karena Bapa dohot Omak (sebutan untuk ayah dan ibu) ngga pernah mengajari seperti itu,” ungkap salah seorang pemuda.
Sungguh mulianya hati mereka. Meski masih tergolong di keluarga yang berpendapatan menengah, niat untuk curang tidak pernah terpikir mereka. Sikap mereka yanng menjunjung tinggi beriman dan berakhlak ini, yakni jujur, merupakan cerminan dari Profil Pelajar Pancasila.
Lalu, mereka juga berbagi cerita bagaimana talenta yang mereka miliki ini dapat berguna di sekolah. Mereka bercerita mengenai keunggulan penerapan kurikulum merdeka dan bersyukur atasnya. Setiap kali mengerjakan P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), salah satu program unggulan Kemendikbudristek, mereka sangat handal.
“Kadang kali kami dikasih tugas untuk membuat prakarya, jadi lebih mudah, Bang. Karena sudah terbiasa aja dengan buat alat-alat.” jelas salah seorang anak.
Di rumah dilatih, di sekolah pun demikian. Ternyata, kurikulum dan program sekolah ini mendukung mereka dalam mengembangkan kebolehan. Kebiasaan inilah yang membuat mereka semakin mahir dalam menghasilkan karya, khususnya kain tenun.
Menurut penjelasan mereka, per orang bisa membuat dua kain tenun dalam seminggu. Kain tenun yang dihasilkan tangan emas mereka ini juga dikirim ke berbagai mitra lokal dan nasional, bahkan hingga ke luar negeri. Dengan kisaran harga ratusan ribu hingga jutaan per kain tergantung tingkat kerumitan dan ukurannya.
Muncul tiba-tiba sebuah pertanyaan dalam benak saya. Saya ingin menanyakan apakah ada niat mereka untuk menjadi seorang penenun selama-lamanya.