Mohon tunggu...
Samuel Karwur
Samuel Karwur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Simple Lad

Suka menjelajahi hal-hal baru dalam dunia tulis menulis. Senang menjadi pengamat penerbangan dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Elegi di Ujung Nafas: Seandainya Saja Mereka Ada di Sisiku

10 April 2022   18:48 Diperbarui: 10 April 2022   18:57 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Sepenggal kisah dari seorang perawat, untuk kita renungkan....

Ruang Perawatan Intensif 

Gadis itu baru berusia 16 tahun. Tinggal setahun lagi ia akan merayakan "usia emas" masa remaja --yang biasanya lebih ngetrend dengan sebutan Sweet Seventeen-, meski aku juga gak tau apa ia berencana ngerayain hari special itu apa enggak. Yang jelas, hari itu dia tergolek lemah di ranjang rumah sakit. Sepsis atau infeksi berat, pelan-pelan memakan tubuh gadis belia itu dan membuatnya lemah gak ada daya sama sekali. Selama ada di rumah sakit, ia ditemenin oleh Oma nya yang kayanya setia banget nemenin cucunya. Pemandangan aneh bagiku adalah, bokap sama nyokap gadis itu koq gak pernah nongol sama sekali. Padahal jujur aja kalo ngeliat kondisi dia, sebetulnya lumayan gawat juga. Harusnya bokap nyokapnya dong yang nungguin. Tapi pikirku mungkin mereka orang-orang yang super sibuk, sampe anak sendiri cuman dititipin sama Oma nya.

Beberapa hari lewat, cewe itu gak kunjung membaik dan sama persis dengan kemaren-kemaren, Omanya lah yang selalu setia ngedampingin. Sampai suatu hari pas aku baru aja nyampe dan mulai kerja, gadis muda itu meninggal. Dia gak berhasil lewatin masa kritis. Infeksinya udah parah banget dan fisiknya gak kuat buat nahan sakit.

Ngeliat cucunya dipanggil Tuhan, sang Oma jadi histeris. Jelas banget kelihatan kalo ia sama sekali gak nerima kematian cucunya yang begitu muda. Raungan tangis Oma itu menjelasakan setiap detail isi hatinya. Aku dan beberapa teman perawat mencoba buat nenangin sang Oma namun gak berhasil. Ia terpukul banget.

"Aku pengen ikut cucu aku aja. Siapa lagi yang bakal ngerawat aku mulai hari hari ini?"

Kalimat itu adalah yang terakhir diucapkan sang Oma sebelum ia akhirnya pingsan. Astaga.... Jadi selama ini, cucunya itulah satu-satunya orang yang ngerawat Oma !!

Lalu kemana anak-anak si Oma?

Mana juga orang tua gadis itu?

Kenapa hanya mereka berdua?

Lamunanku selesai karena jenazah si gadis itu harus diurus ke kamar mayat. Ditambah pula dengan si Oma yang kini pingsan dan sepertinya mengalami serangan jantung.

Ah, tidak adil sekali hidup memperlakukan mereka berdua. Demikian lamunku dalam hati, sementara aku "merawat" gadis itu untuk terakhir kalinya. Kaku ia terbaring. Gak ada lagi perayaan Sweet Seventeen. Gak ada lagi masa-masa indah remaja yang bakal ia lewati. Gak ada lagi asik-asik nya bergaul dengan teman-teman sebaya. Gak bakal ada lagi cinta yang akan menghampiri gadis itu. Mustahil ia bakal nikmatin indahnya masa-masa kuliah. Ia sekarang terbaring, pergi untuk selamanya meninggalkan semua cita-cita dan impian yang pernah ia rajut.

Gak pernah menjadi jelas bagiku kenapa orang tua si gadis, serta anak-anak si Oma tidak pernah terlihat di rumah sakit. Rasanya apapun alasannya, bukan kapasitasku untuk tau semua itu. Hanya saja, hal itu membuatku berpikir dan agak terusik. Harapanku, kalo seandainya keluraga gadis dan Oma nya masih ada, mereka bisa tau dan ngelakuin apa yang harusnya dilakuin sama mendiang anak dan mama mereka.  Lepas hari itu, aku gak pernah ketemu Oma itu lagi.

Aku bersyukur masih bisa menikmati masa-masa mudaku dengan orang tua, serta adikku. Dibanding dengan gadis itu, aku masih jauh lebih baik keadaannya. Aku belajar kalo keluarga itu adalah harta yang paling berharga dan gak bakal pernah bisa ditukar dengan apapun juga. Ketika kasih sayang dan perhatian ibu, ayah, adik, opa dan oma, masih aku terima, sama sekali gak ada alasan buat aku untuk gak bersyukur sama Tuhan. Paling tidak, aku gak sendirian di dunia ini. Ketika aku sakit, ada ayah yang menghibur, ibu yang memelukku hangat, adik yang nyemangatin aku, serta ada opa oma yang ngedoain aku, juga teman-teman yang selalu support. Dan yang paling penting ada Bapaku yang di sorga yang selalu siap setiap saat buat jadi sahabat, penghibur dan juga pelindungku kapan saja gak peduli situasi apapun yang sedang aku lewati.

Siapapun yang sempat ngebaca tulisan aku ini, sayangilah keluarga kalian. Hormatilah mereka sesuai dengan perintah Tuhan. Mereka adalah harta yang gak pernah bisa dinilai dengan angka-angka !!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun