Sulit menerima secara akal sebenarnya ketika mengetahui kalau Trump menang dari Hillary Clinton. Dengan penampilannya yang selama ini menjadi pusat perhatian karena omongannya yang relatif blak-blakan tapi cenderung ke pembawaan konyol, ternyata mampu menarik perhatian masyarakat AS. Banyak pihak yang tertawa dengan pencalonan dirinya. Tapi sejalan dengan waktu, ternyata fakta di lapangan berkata lain. Dan pada saat-saat kampanye terakhir, bisa kita saksikan kalau pemilu kali ini adalah pemilu yang paling ramai dan seru yang pernah diikuti oleh rakyat Amerika sekaligus dunia.Â
Bagaimana tidak, pemilu kali ini sangat membagi pilihan rakyat AS menjadi dua bagian yang saling ribut dan rebut pengaruh. Tentu anda juga bisa merasakan pengaruhnya sampai di timeline media sosial milik anda bukan? Bagaimana perang pernyataan dan pencitraan dari kedua tokoh tersebut didukung oleh berbagai pendukungnya masing-masing. Sekilas banyak yang lebih menjagokan Hillary daripada Trump karena Trump dianggap kontroversial, tidak berpengalaman dan rasis.Â
Dia juga dianggap mengidap Islamphobia serta berkeinginan untuk membatasi jumlah imigran di Amerika. Sebuah pencitraan yang selama ini tidak pernah mengambim simpati dari publik. Tapi fakta sekarang berkata lain. Trump berhasil memenangkan pemilihan Presiden AS. Bahkan pada beberapa daerah yang notabene selama ini milik dari partai pendukung Hillary malah kebobolan dan lebih mendukung Trump. Sebuah kenyataan yang pahit dan berbalik dari ramalan dan analisis banyak pengamat atau pakar politik AS.
Bagaimana bisa dan apa yang kira-kira bisa kita ambil hikmahnya dari kejadian ini? Terutama untuk negara kita?
Paling gampang kita mengambil kesimpulan kalau masyarakat AS saat ini sedang mengalami konflik internal politik karena sampai hati memilih orang yang tidak berpengalaman dan cenderung unik seperti Trump. Terlepas dari retorika dan kemampuan bisnisnya yang menurut pengakuannya sangat mumpuni, Trump memang berhasil secara pencitraan mengubah persepsi publik AS menjadi mendukung pernyataannya yang kontroversial. Tentu ada sebabnya. Kita hanya bisa menduga karena selama ini AS sering menjadi bulan-bulanan geopolitik global karena dianggap selalu berusaha menjadi polisi dunia tapi sering kalut untuk urusan dalam negerinya sendiri.
Unik & Out of The Box
Hubungannya dengan politik dalam negeri sendiri bagaimana? Bukankah selama ini kita melihat Obama berhasil memberikan citra yang baik? Ternyata tidak cukup bagi rakyat AS yang ng membutuhkan lebih banyak daripada keberhasilan politik luar negeri yang lumayan berhasil dibuat oleh Obama. Keadaan ekonomi global yang kurang memuaskan rakyat AS diduga menjadi penyebab mengapa Trump bisa menang. Kemenangannya ini bisa ditebak dari berhasilnya dia mencuri kantong-kantong suara yang selama ini dipegang oleh tim Hillary. Ternyata ditengarai bahwa retorika yang dibawakan Trump betul-betul berhasil menyentak sebagian rakyat AS yang kadung sudah kecewa melihat tidak banyaknya perbaikan ekonomi.
Terpecahnya publik AS mulai nampak ketika Trump berhasil membangun kelompok pendukungnya yang semakin lama semakin besar dan fenomena ini perlahan menular ke berbagai negara bagian. Ada efek viral dari pernyataannya yang kontroversial dan penuh retorik. Di satu sisi banyak orang yang tidak suka dan menentangnya, tapi di sisi lain semakin banyak orang yang berpikir kalau apa yang dikatakannya itu menarik dan unik karena bergaya "out of the box".
Kalaupun bisa didebat, tapi saya kira anda pasti setuju kalau Trump merupakan pribadi yang menarik sekaligus kontroversial. Bagi pemilih senior, banyak pernyataan Trump yang mampu membuat mereka mengkhayal menjadi pemegang supremasi lagi. Setidaknya impian kejayaan di masa lalu selalu dijual oleh Trump untuk itu.Â
Ternyata berhasil karena melihat banyaknya negara bagian yang ternyata terbukti akhirnya memilih dia dibanding memilih Hillary. Menurut beberapa sumber media di AS, pergeseran ini terutama di daerah pekerja. Sebagai pengetahuan tambahan, kelas pekerja merupakan kelas yang paling kena dampak ekonomi di Amerika dan banyak dari mereka yang menuduh pemerintahan Obama lebih mengurusi globalisasi dibanding masalah dalam negeri. Dan Hillary dianggap sama dengan Obama, leboh piawai untuk panggung dunia tapi tidak memihak kaum pekerja.
Kita bisa saja menganggap Amerika adalah negara maju dan rakyatnya sudah cukup dewasa dalam berdemokrasi. Ya, walau pemilu kali ini sangat seru dan berhasil memecah pilihan publik sampai sedemikian ekstrimnya di Amerika dan dunia, tapi kita tidak melihat adanya gelombang perpecahan yang sampai menganggu jalannya pemerintahan di AS. Itulah ciri kedewasaan demokrasi mereka.
Walau kita melihat banyaknya seruan politik diberbagai ruang publik, anda pasti pernah melihat iklan meledek Trump saya kira, tapi kita tidak melihat sampai terjadi kekacauan publik. Semuanya masih dalam ruang politik yang aman. Padahal ucapan Trump bukan hanya terkesan konyol dan bodoh, tapi juga kontroversial karena sampai bersifat rasis dan sudah jelas menyinggung masalah SARA.
Hebatnya, mungkin disisi lain kita tertawai, publik AS lebih memilih Trump yang dianggap kurang waras dibanding Hillary. Mungkinkah suara Trump adalah manifestasi kekecewaan dan kekesalan publik AS terhadap negaranya sendiri yang dianggap kurang becus? Bisa jadi dan tentu ada alasan-alasan lain. Masih menarik untuk melihat cerita yang lebih lengkap dalam melengkapi kisah kemenangan Trump yang cukup fenomenal ini.
Indonesia Juga Punya
Tapi kita patut berbangga. Indonesia juga punya tokoh-tokoh kontroversial seperti Trump. Tidak hanya satu malah. Ada beberapa malah. Ada dari kalangan birokrat dan politik, kalangan ulama, sampai kalangan artis. Anda sudah bisa menebak sendiri deh. Ngga usah sampai sebut nama ya... bisa dianggap fitnah lagi.. hehehe..
Jadi wajar dong kalau kita berandai-andai, apakah kejadian di AS bisa terjadi juga? Apakah akan muncul tokoh kontroversial seperti Trump di Indonesia. Tokoh yang melawan logika normal dan malah masuk ke alur pemikiran kontroversial?Â
Kalau dipikir-pikir, kurang kontroversial apa tokoh-tokoh di Indonesia. Jangankan rasis, lembaga dan simbol negara saja tidak dianggap dan dihormati. Semua ucapan bisa dipelintir sesuka hati. Itu kita saksikan bersama-sama setiap waktu baik melalui media maupun internet. Semua pihak bisa merasa benar sendiri. Mengklaim kebenaran miliknya sendiri. Soal apakah itu sesuai hukum atau tidak  menyakiti yang lain adalah urusan belakangan.Â
Tapi, biarpun Indonesia juga punya, ada yang membuat kita selalu bertanya-tanya. Apakah Indonesia sudah cukup dewasa dalam berdemokrasi?Â
Setidaknya kejadian demo damai pada tanggal 4 November 2016 sempat memberikan gambaran tersebut walau pada penghujung sempat dirusak oleh letupan kerusuhan yang bisa dikendalikan dan akhirnya tidak terbukti melebar. Terlepas dari dari kesigapan aparat dan kerjasama para demonstran, ternyata kita masih bisa diprovokasi oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab. Syukurlah tidak sampai terjadi kerusuhan yang ditakuti oleh banyak pihak. Namun begitu, sudah tersebar lagi berbagai gosip dan isu tentang demo susulan.
Apakah bangsa  kita saat ini juga mengalami konflik internal yang tidak mudah untuk kita hadapi? Atau hal apa yang membuat pemerintahan Jokowi dianggap kurang mampu menangkap sinyal keresahan dari masyarakat?Â
Jika melihat masalah tuduhan penistaan agama oleh Ahok, maka kesan konflik internal itu terkesan masih baru dan sudah dibangun dari masalah-masalah sebelumnya. Jika dicari akar penyebabnya, mungkin faktor lain malah lebih berperan dalam konflik ini. Saya tidak bisa menduga secara pasti, apakah ini berkaitan dengan pilkada DKI tahun depan? Atau masih ekses dari pemilu tahun 2014 lalu? Kalau memang iya, sebegitu parahkah konflik internal publik kita sampai belum bisa move-on  sampai saat ini?
Terlepas dari berbagai dugaan dan pembahasan itu, tentu kita tidak ingin kejadian buruk terjadi di Indonesia. Mungkin kita bisa jadi sudah lebih dewasa karena jauh lebih banyak memelihara dan mentolerir tokoh-tokoh nyeleneh dan kontroversial dari berbagai kalangan. Jadi, kalau AS hanya punya 1 tokoh unik seperti Trump, kita punya lebih banyak. Jadi logikanya kita lebih kacau bukan? Tapi faktanya kita masih aman. Jadi, intinya: bisa saja Indonesia lebih demokrasi... atau democrazy? Mbuh... entah mana yang benar...hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H