Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bijak Memahami Game, Sebuah Kritik Bagi Kemendikbud & Orang Tua

26 April 2016   15:51 Diperbarui: 26 April 2016   20:37 1698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: www.zmescience.com

Beberapa hari lalu saya menemukan posting yang menarik dari timeline facebook saya (sumber facebook Pak Jaya Indonesia). Postingan itu memuat komentar yang menggelikan dan juga menampilkan gambar terkait isi berita. Gambar tersebut berisikan daftar 15 game yang dianggap memiliki dampak berbahaya bagi perkembangan anak. Sekilas tidak ada yang salah bahkan sepertinya anjuran itu bertujuan positif. Setidaknya bagi publik umum. Tapi tidak bagi saya, baik sebagai dosen, praktisi pengembang game apalagi sebagai seorang gamer.

poster-kemendikbud-571f1944f47a61260641b141.jpg
poster-kemendikbud-571f1944f47a61260641b141.jpg
Sumber gambar: Facebook Pak Jaya Indonesia

Sebelumnya pada tanggal 21 April 2016 lalu, bertempat di hotel Sahid Jaya di kota Solo, saya diundang sebagai narasumber praktisi oleh BPMPK Jawa Tengah. Pihak BPMPK (Balai Pengembangan Multimedia Pendidikan dan Kebudayaan) berniat mengembangkan game edukasi berbasis game mobile populer saat ini. Dalam lokakarya itu saya memberikan berbagai masukan mengenai ide pengembangan sampai masalah dan kendala teknis. Tidak lupa membagikan tips dan trik untuk membuat game yang menarik bagi pelajar yang notabene sudah jauh lebih awam dengan game.

Melihat poster anjuran tentang 15 game yang dianggap berbahaya itu membuat saya tersenyum kecut. Bagaimana tidak? Ada beberapa hal yang mengganggu benak saya sampai saya “gatal pikiran” untuk menuliskan artikel ini sebagai tanggapan sekaligus kritik bagi pihak Kemendikbud dan sekaligus buat kalangan orang tua. Sebagai orang tua, saya menyadari berbagai kompleksitas hidup yang harus dijalani kita semua. Namun bukan berarti kita tidak bisa memahami dan mengenal teknologi game agar pengawasan kita lebih baik lagi bagi sang buah hati tersayang.

Yang saya kritisi dari poster tersebut ada beberapa poin:

  • Daftar game yang tidak tepat karena memang bukan untuk konsumsi anak-anak
  • Informasi yang kurang memadai, bahkan untuk sebuah poster umum sekalipun
  • Antisipasi persepsi yang diterima kalangan orang tua dan anak dengan konten yang disajikan

Saya tidak akan membahas poin demi poin secara berurutan, tapi artikel ini akan membahas ketiga topik itu secara komprehensif dan dilengkapi dengan beberapa link yang penting sebagai referensi lanjutan.

Mengenal Dampak Positif dan Negatif

Video game adalah produk berbasis teknologi. Sama seperti tools lainnya dalam kehidupan ini, selalu ada sisi positif dan negatifnya. Tergantung kepada siapa pemakai dan kebijakan si pengguna itu sendiri. Demikian pula game, bila digunakan dengan tidak benar maka akan timbul efek yang merugikan.  Lalu pertanyaan terkait poster tersebut adalah: Mengapa hanya sisi negatif yang ditonjolkan? Apakah karena kurangnya pemahaman atau karena lebih mudah mengkambing hitamkan sesuatu yang tidak dipahami? Coba bandingkan dengan pendapat Mendikbud sendiri di artikel ini.

Menurut saya,  pembuat konten dari poster anjuran Kemendikbud itu memang tidak memahami sepenuhnya dampak dari sebuah game secara menyeluruh. Kalaupun didalam poster itu disebutkan menurut penelitian di Iowa State University (saya duga dari hasil penelitian ini) di tahun 2014, yang menurut penelusuran saya adalah salah satu penelitian yang dianggap ambigu atau tidak menjelaskan dengan total serta dibantah dengan penelitian yang lebih baru pada tahun 2015 oleh peneliti dari Oxford yang menyatakan bahwa tidak ditemukan korelasi penggunaan video game dengan sifat agresif  anak. Selain hasil penelitian itu, bandingkan pula dengan asumsi yang menyatakan bahwa game bisa menginspirasi perilaku kekerasan pada anak? Ternyata tidak terbukti di artikel Scientificamerican.com ini. Artinya, Kemendikbud mengambil info yang kurang akurat dan menurut hemat saya tidak berimbang karena memang bukan pendapat dari pakar game yang sebenarnya bisa memberikan masukan itu saya kira. 

Jika membutuhkan perbandingan yang lebih berimbang dan menyeluruh, bisa anda buka link ini  . Didalamnya anda bisa lihat dampak positif dan negatif serta ketentuan yang penting bagi orang tua. Terlihat kalau daftar dampak positif lebih banyak, namun kita tidak mengabaikan dampak negatifnya pula. Jadi perlu keseimbangan dan pengawasan.

Beberapa dampak negatif dari game disebabkan oleh ketidaktahuan para orang tua (termasuk pihak yang berwewenang seperti Kemendikbud dalam pembuatan poster anjuran yang kurang tepat tadi). Pemahaman yang terlanjur tidak tepat sasaran, diperparah dengan membuat anjuran yang nyeleneh seperti poster tadi. Kenapa nyeleneh? Ya karena memang tidak tepat apa yang dianjurkan dengan data atau konten yang diberikan.

Jika anda lihat, ke 15 game yang dianggap berbahaya itu memang dari awal oleh developer maupun publishernya tidak ditujukan kepada pengguna anak-anak. Dalam hal ini saya mengasumsikan umur 12 tahun kebawah. Kalau 13 tahun keatas sudah dianggap kategori remaja. Nah, hampir semua game yang didalam poster adalalah untuk remaja bahkan dewasa. Jadi memang wajar kalau game itu tidak cocok untuk anak-anak. Lha memang bukan mereka konsumen yang disasar. Jadi, poster benar secara redaksional tapi menggelikan secara konten.

Artinya, lebih baik Kemendikbud memaparkan game yang positif dan melengkapinya dengan informasi mengenai rating game sebagai panduan baik bagi anak sebagai user maupun orang tua sebagai pengawas. Cenderung orang akan tertarik dengan sesuatu yang ditunjukkan daripada yang dihindari. Dalam hal ini, anjuran Kemendikbud sebenarnya lebih berguna dengan mengedepankan informasi penting dan bukan menonjolkan daftar game yang pada dasarnya bukan ditujukan kepada anak-anak.

Memahami Rating dari Game

Setiap game memiliki rating. Dengan memahami rating, pengguna akan paham mengenai isi konten, apakah sesuai dengan ekspektasi atau keinginan dari user. Selain itu, rating game mempermudah pengawasan orang tua kepada anaknya. Beberapa rating game ada di industri game seperti ESRB (Entertainment Software Rating Board – www.esrb.org) yang lebih dulu muncul atau PEGI (Pan European Game Information – www.pegi.info) yang kini lebih banyak diadaptasi diseluruh dunia. Tapi di beberapa negara, semua membuat sistem rating game tersendiri atau merujuk kepada kedua rating game populer tadi.

esrb-pegi-571f2827d07a61490732680c.jpg
esrb-pegi-571f2827d07a61490732680c.jpg
Sumber gambar: www.denofgeek.us

Manfaat dari rating system adalah mudahnya pengguna melihat batas umur dan target konsumen dari sebuah game yang akan dibeli. Misalnya terdapat kode E di sampul kotak game, maka penjelasan huruf E itu adalah Everyone, artinya bisa untuk semua umur. Jika merunut ke sistem ESRB maka jenis T (Teen), M (Mature) dan A (Adult) adalah jenis yang tidak cocok untuk anak-anak. Lebih baik memilih jenis eC, E dan E+10 yang berarti early Childhood (3-5 tahun), Everyone atau untuk semua umur dari 6-10 dan E+10 yang khusus untuk umur 10-12 tahun. Mudah bukan mengenalinya?

Bagaimana dengan PEGI? Lebih mudah lagi karena ada angka sebagai panduan. Jadi bila tertulis angka 7 maka game itu cocok untuk anak umur 7 sampai 11 tahun, sementara angka 12 menunjukkan game untuk umur 12-15 tahun, diatasnya ada angka 16 dan 18. Anda sudah bisa menebak sendiri untuk umur berapa bukan? Lihat gambar dibawah ini sebagai perbandingan dari kedua rating game yang paling populer tersebut.

esrb-571f2d94957e614c07568fff.png
esrb-571f2d94957e614c07568fff.png
Sumber gambar: /www.ghostrecon.net

Kembali ke masalah poster tadi. Apakah anda melihat informasi terkait rating game? Sayangnya tidak. Itulah kenapa saya sebut informasi tidak detail dan berimbang. Artinya, anjuran pelarangan sepihak tanpa memberikan informasi yang memberikan solusi pemahaman yang lebih mendalam.

Coba lihat salah satu game yang dilarang yaitu Grand Theft Auto. Ratingnya apa? M menurut ESRB atau 18 menurut PEGI. Lalu untuk apa dianggap berbahaya? Kan memang bukan untuk anak-anak? Kalau dimainkan anak-anak anda dirumah, sebenarnya yang perlu diedukasi siapa?

gtagamingdotcom-571f350b359773a6092b0987.jpg
gtagamingdotcom-571f350b359773a6092b0987.jpg
Sumnber gambar: www.gtagaming.com

 Tidak hanya anak sebagai konsumen, orang tua juga sangat perlu diedukasi tentang rating sistem ini. Biarpun ada keinginan dari Kemenkominfo untuk membuat rating game nasional, tidak ada salahnya sementara waktu menggunakan rating sistem internasional apalagi memang game yang beredar di Indonesia masih menggunakan rating game tersebut.

Peran Orang Tua                            

Peran penting dalam mengawasi perkembangan anak ada dalam tangan orang tua. Jadi wajar saja kalau orang tualah yang menjadi titik awal pengawasan dan biasanya dimulai dari rumah. Tahun 2010 lalu saya menulis sebuah buku dengan judul “Cerdas Dengan Game, Panduan Praktis Bagi Orang Tua Dalam Mendampingi Anak Bermain Game” yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Didalamnya saya mengulas mengenai perkembangan game, dampak positif dan negatif serta membahas mengenai rating game. Tak lupa saya sertakan beberapa tips dan trik untuk menemani anak bermain game.

cerdas-dengan-game-571f2a40d07a610e083267ec.jpg
cerdas-dengan-game-571f2a40d07a610e083267ec.jpg
Sumber gambar: www.samuelhenry.net

Karena buku itu sudah cukup sulit didapat di pasaran, anda masih bisa melihat sebagian dari isinya melalui google dengan link berikut https://books.google.co.id/books/about/Cerdas_Dengan_Game.html?id=LruPW7G0BzUC&redir_esc=y

Saya akan berikan beberapa rekomendasi di artikel ini sebagai panduan praktis bagi orang tua:

  • Awasi penggunaan video games sama seperti anda seharusnya mengawasi penggunaan televisi atau internet di rumah anda.
  • Perlu disiplin dalam jadwal dan durasi penggunaan. Masalah kecanduan game hanyalah salah satu efek dari masalah kejiwaan yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini, video game menjadi akselerator sifat buruk itu keluar. Jadi bukan gamenya yang selalu menjadi pemicu awal.
  • Perlu keseimbangan dalam penggunaan video game. Walau bermanfaat, kecenderungan untuk dampak negatif selalu muncul jika kecanduan. Efeknya diminimalkan dengan variasi penggunaan media lain seperti membaca buku, kegiatan bermain dengan teman, menonton siaran yang mendidik, dsb.
  • Batasi pemakaian antara 1-2 jam setiap hari. Jadi seminggu antara 7-14 jam secara total. Tapi bukan berarti dilarang main hari senin-jumat, lalu sabtu dan minggu dipuaskan sampai 7 jam sehari misalnya, pemakaian dalam waktu yang lama yang cenderung membuat kecanduan parah. Jika diatur dengan jadwal tetap setiap hari, selain disiplin, efek ketergantungan bisa diminimalkan.
  • Upayakan menemani anak bermain video game dalam beberapa waktu. Perhatikan bagaimana dia bereaksi dalam bermain baik dengan teman maupun saudaranya. Kejiwaan anak dapat dideteksi dengan dini ketika melihat dia bermain video game. Hiperaktif atau agresif bisa muncul dengan jelas ketika anak bermain video game. Walau tidak menjadi acuan medis, orang tua bisa berkonsultasi dengan dokter untuk menangani masalah seperti ini. Umumnya efek ini muncul dengan memainkan video game yang bertema kekerasan dengan umur pengguna yang tidak sesuai.
  • Buat kesepakatan dengan anak untuk membatasi penggunaan video game jika nilai di kelas menurun atau jadi malas mengerjakan PR. Dalam hal ini, game bisa dijadikan alat motivasi yang praktis untuk memancing minat mereka.
  • Dibanding televisi, lebih baik mengenalkan game kepada anak dengan pengawasan yang baik. Game mengajarkan banyak dampak positif dibanding menonton televisi yang cenderung pasif, apalagi bila orang tua bisa memanfaatkan acara bermain sebagai sarana komunikasi.
  • Ajari anak untuk mengenal rating game dan memahami arti simbolnya dan isi dari konten didalamnya. Dengan demikian anda melatih anak untuk lebih bertanggung jawab kepada dirinya sendiri sejak dini.

Biasanya salah satu alasan orang tua adalah: Wah, waktu saya tidak banyak. Kerja saya sudah cukup menyita. Dan banyak alasan lain. Artinya, orang tualah yang sebenarnya mulai membuat masalah ini menjadi bola liar. Dengan pengawasan orang tua saja masih ada resiko tertentu jika tidak dilakukan antisipasi sejak awal.  Apalagi tanpa pengawasan?

Ya sudah, kalau tidak mau susah lalu untuk apa punya anak? Atau lebih baik menyerahkan tanggung jawab soal penggunaan game kepada guru saja?   

Kemendikbud Butuh Pakar Game

Pihak guru sendiri sebenarnya sudah punya tanggung jawab yang lebih besar mengenai pendidikan siswa. Lalu apakah mereka tidak perlu ikut melakukan pengawasan? Sebenarnya bisa juga terlibat, tapi sampai sebatas mana?

Dalam praktiknya, guru bertugas memberikan pendidikan selama di sekolah bukan? Dengan materi dan jadwal yang ketat, cukup aneh rasanya jika anak masih bermain game sewaktu belajar di kelas? Lalu dengan pemahaman itu sebenarnya tugas pengawasan soal penggunaan lebih berat kepada orang tua. Dalam konteks edukasi, guru dapat menggunakan game sebagai alat bantu pembelajaran. Seperti yang saya sebutkan di awal artikel mengenai niat dari pihak Kemendikbud untuk membuat game trivia dengan muatan pelajaran sekolah.

Dalam hal materi anjuran seperti dalam poster, saya melihat pihak Kemendikbud masih perlu bantuan konsultasi dari pakar game yang secara menyeluruh mengerti proses tidak hanya teknis pengembangan, namun terlebih kepada konten game baik psikologis dan juga dampak sosialnya. Jika seorang pakar game diminta bantuannya dalam membuat poster anjuran yang baik, maka isi dari poster itu akan jauh berbeda. Bukan memamerkan 15 game yang dianggap berbahaya dan berisi pesan “menakut-nakuti” dari riset yang tidak jelas asal usulnya, sampai melibatkan anak cucu segala... hehehehe, tapi lebih menonjolkan mengenai  informasi praktis mengenai rating game serta poin-poin rekomendasi yang saya bahas diatas.

Dengan kata lain, kalau para pemain (user game) dan orang tua sudah paham mengenal rating game, maka akan banyak judul game yang secara otomatis mereka filter sendiri karena sudah tahu isinya tidak sesuai, bukan hanya terpatok ke 15 judul yang ditampilkan saja.

Namun demikian, bagi saya pribadi sebagai pengamat sekaligus gamer, poster itu terkesan lucu. Seakan-akan kita sebagai orang dewasa bisa menakuti anak-anak dan mempersepsikan mereka bisa dibuat takut serta dianggap tidak tahu bahwa game itu adalah fantasi dan bukan realita. Atau sebenarnya kita – sebagai orang tua yang terbiasa khawatir – yang belum bisa memahami dan memisahkan antara dunia nyata dan fantasi didalam game?

Note: Artikel ini juga diposting di blog pribadi penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun