Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Transportasi Online Hanya Permulaan, Selanjutnya?

26 Maret 2016   08:06 Diperbarui: 26 Maret 2016   09:30 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terima atau tidak, perusahaan tradisional saat ini harus berubah dan beradaptasi dengan baik terhadap kondisi tersebut. Perusahaan tidak lagi bisa menjadi pemegang dominasi terus menerus dari satu produk/layanan. Perubahan akan implementasi teknologi harus dirangkul. Perbaikan kualitas layanan harus dikedepankan. Efisiensi biaya harus diperhatikan karena layanan berbasis sharing economy akan memberikan penawaran harga yang lebih murah dengan kualitas yang tidak kalah. Selain itu jumlah penyedianya juga akan semakin banyak dan bervariasi.

Pasar dan Konsolidasi Sumber Daya Manusia

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, perubahan juga terjadi pada pemberi kerja dan penerima kerja. Saat ini sudah semakin umum dikenal istilah freelancer dimana pekerja menyelesaikan pekerjaan tanpa terikat ruang dan waktu. Artinya bisa bekerja lebih bebas. Saya sendiri adalah contoh langsung dari kondisi tersebut. Walau saya memiliki pekerjaan penuh, saya juga memiliki beberapa pekerjaan paruh waktu lainnya. Artinya saya memaksimalkan produktivitas saya dan tidak terikat kepada satu penyedia kerja saja.

Kondisi seperti ini bahkan bisa mendefenisikan ulang konsep dan pengertian dari “pengangguran”. Orang yang nampak menganggur sebenarnya belum tentu menganggur. Yang tidak pernah punya kantor belum tentu tidak punya gaji.  Orang yang bekerja beberapa jam sehari saja bisa menerima gaji lebih dari pada pekerja penuh waktu. Perubahan model seperti ini semakin kentara beberapa waktu belakangan. Semua diakibatkan oleh teknologi bukan? Contoh nyatanya di sekitar saya. Sudah mudah melihat seorang freelancer mengerjakan projek untuk klien dari negara lain disebuah cafe di kota Yogyakarta. Separuh dari tim saya bahkan tidak pernah ke kantor untuk absen. Kami rapat dan komunikasi via Skype dan WA saja. Praktis dan hemat biaya.

Mencari seorang pekerja spesifik tidak lagi sesulit dulu. Tidak lagi perlu membuang waktu untuk wawancara yang melelahkan dan proses rekruitmen yang membosankan. Cukup memposting rincian pekerjaan dan anggaran biayanya di situs online tertentu, dalam waktu singkat belasan bahkan puluhan pekerja paruh waktu siap anda pilih berdasarkan skill dan portofolionya. Mau dikerjakan sambil begadang, di rumah dengan sarung sambil dangdutan tidak menjadi masalah. Berbagai platform online sudah menyediakan kemudahan untuk itu. Kendala bahasa, tempat tinggal, bahkan umur tidak lagi menjadi pembatas. Ada faktor lain yang diutamakan yatu keahlian yang dimiliki.

Apakah artinya? Sederhana saja: Jika anda tidak punya skill yang bisa dibarterkan maka kemungkinan anda akan tertinggal. Perusahaan akan semakin melempar berbagai jenis pekerjaan rutin kepada jenis pekerja seperti ini. Jadi percuma kalau model outsourcing dituding sebagai biang kerok masalah tenaga kerja di Indonesia. Masalah sebenarnya adalah skill yang kurang. Bangun dan sadarlah teman-teman yang anggap enteng dengan skill anda yang pas-pasan saat ini. Perusahaan akan semakin berhemat dan berusaha efisien. Perampingan SDM hanya satu sisi saja. Yang mereka cari adalah orang yang mampu menyelesaikan pekerjaan.

Mendapatkan ilmu tidak lagi sesulit dulu. Sekarang sangat mudah mendapatkan berbagai ilmu secara online bukan. Contohnya Udemy dan berbagai platform belajar online lainnya. Para pakar bidang tertentu bisa menjual skillnya ke seluruh dunia. Bagaimana dengan nasib guru? Apakah guru tradisional siap bersaing dengan munculnya guru-guru online yang biayanya terjangkau dan lebih leluasa dalam menentukan jam akses?Mungkin untuk sebagian besar murid, guru tradisional masih jadi pilihan yang tidak bisa dihindari, tapi bagaimana dengan yang berkebutuhan khusus? Menurut anda sudahkah kita mulai membutuhkan guru yang demikian?

Bagaimana dengan dosen? Siap bertarung melawan konsep e-learning yang semakin meluas di berbagai negara termasuk Indonesia? Sampai kapan menurut anda konsep kuliah tradisional dapat dipertahankan? Atau ekstrimnya, apakah ijazah dari kampus bisa melawan kebutuhan skill spesifik yang dibutuhkan dunia industri? Saya hanya bertanya saja, bukan menggugat. Tapi saat ini kondisi dunia kerja juga semakin luas dan kompleks.

Jika disikapi dengan baik, perubahan memberikan banyak peluang. Contohnya pada 2 kasus diatas. Pemerintah bisa berinisiatif memberikan fasilitas untuk menyediakan akses guru on-demand via mobile phone. Indonesia terkenal memiliki penetrasi kepemilikan handphone yang besar. Alih-alih hanya digunakan untuk tujuan hiburan, kenapa tidak diarahkan untuk mempermudah akses pendidikan?

Dosen juga tidak lagi terbatas memberikan keahlian dan pelajaran di ruang terbatas dengan sedikit orang. Berperan serta di dunia e-learning malah memperluas jangkauannya bahkan kepada individu yang tidak pernah menjadi mahasiswanya langsung. Reputasi dan pendapatan didapat si dosen, sedangkan keahlian ditransfer ke individu tersebut yang mungkin berjarak ribuan kilometer dan pada waktu yang berbeda pula. Jika anda seorang yang memiliki naluri bisnis, bukankah hal seperti ini layak untuk dicoba?

Pasar ideal bagi pemberi kerja dan penerima kerja tentu membutuhkan waktu untuk matang. Namun dengan besarnya tenaga kerja di Indonesia dan kemajuan teknologi saat ini, sepertinya konsolidasi pasar yang ideal tidak akan terlalu lama untuk terjadi. Peluang yang muncul juga akan semakin bervariasi. Banyak pekerjaan yang dulu sulit untuk didapatkan tenaga kerjanya mungkin akan semakin mudah karena persaingan pelayanan yang semakin tajam. Tapi uniknya, konsep sharing economy juga memberikan aspek keadilan sebenarnya. Coba lihat bagaimana Gojek bisa tetap bertahan dan berkembang walau Uber muncul. Artinya tiap segmen pasar memiliki preferensi masing-masing. Tiap layanan memiliki pengguna sendiri. Itu kalau penyedia layanan berbenah dan memberikan yang dibutuhkan konsumen, kalau tidak ya seperti kasus taksi tradisional versus taksi online. Tergilas oleh jaman.

Penutup

Perubahan yang terjadi memberikan guncangan di awal. Ada yang baik dan tentu ada yang buruk. Teknologi memberikan akselerasi terhadap perubahan. Sejalan dengan waktu akan menjadi fenomena biasa. Dampak yang buruk segera akan diminimalkan dan disesuaikan dengan kondisi nyata terus menerus, proses penyesuaian tetap berlangsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun