Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Transportasi Online Hanya Permulaan, Selanjutnya?

26 Maret 2016   08:06 Diperbarui: 26 Maret 2016   09:30 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar: www.1e.com"][/caption]Mungkin keriuhan mengenai aplikasi taksi online sudah mulai mereda. Demo yang nyaris anarkis juga mulai terlupakan. Lalu bagaimana selanjutnya? Apakah akan ada lagi guncangan dengan model aplikasi online? Bidang apa kira-kira? Bagaimana kita bisa memahami dan menerimanya? Artikel ini mencoba memberi beberapa kilas jawaban kepada anda.

Contoh Kasus Global dan Lokal

Kalau di dunia global sering mengacu kepada kasus Uber dan AirBnB, mungkin kasus di Indonesia lebih mengacu kepada kasus Uber dan Gojek. Dulu diawali dengan keriuhan dari sepak terjang Gojek dan beberapa minggu lalu diikuti dengan penolakan terhadap Uber. Keduanya adalah contoh kesuksesan konsep sharing economy di tanah air. Satu berangkat dari pasar lokal dan yang lain dari global.

Kesamaan dari keduanya adalah menimbulkan goncangan, terutama dalam regulasi dan penerimaan publik. Memang dengan kecepatan perkembangan teknologi saat ini dapat dipahami kalau pihak otoritas sering keteteran dan kewalahan mengantisipasi hal tersebut. Goncangan ini juga terjadi di luar negeri. Jadi kita jangan hanya bisa menyalahkan pemerintah dan menganggap kalau peraturan yang saat ini sudah usang. Pada kenyataanya adaptasi peraturan atau undang-undang sering berjalan lebih lambat dan sulit mengejar kecepatan perubahan akibat teknologi.

Persaingan tidak lagi melulu dengan kompetitor lain saja. Saat ini persaingan lebih kepada waktu. Artinya, jika produk atau layanan yang akan dibuat tidak bisa diselesaikan dengan cepat, maka akan muncul produk yang sama atau pengganti dari pesaing. Inovasi bukan lagi hanya soal keunikan, tapi sudah melebar kepada segi kecepatan muncul. Inovasi tidak lagi berjalan lambat dan sesekali, namun semakin cepat dan sering. Fitur terus ditambahkan bukan hanya agar pesaing tidak bisa menang, tapi lebih agar pelanggan tidak pindah ke lain hati.

Perubahan Yang dan Sedang Terjadi

Jika dulu kita mengenal model barter, maka sebenarnya konsep sharing economy tidaklah terlalu jauh berbeda. Bahkan sebenarnya berdasarkan hal itu juga. Hanya saja anda menggunakan teknologi untuk memudahkan prosesnya. Batas jarak, waktu dan item yang dipertukarkan semakin meluas dan bervariasi. Tapi pada dasarnya adalah berkolaborasi dengan orang lain dalam pertukaran produk/layanan. Jika sekarang anda lebih mengenal brand Gojek atau Uber di pasar lokal, AirBnB di pasar global, maka coba ingat soal Napster dan Ebay. Napster adalah media pertukaran file antar penggunanya. Ebay anda gunakan untuk melelang berbagai produk yang dimiliki baik demi uang atau bahkan barter. Jika Napster dan Ebay lebih menyodorkan item yang bervariasi didalam satu platform, maka model Uber dan AirBnB lebih spesifik ke satu produk/layanan dalam platformnya. Uber ditujukan untuk bidang transportasi dan AirBnB untuk akomodasi/ruang menginap.

Sebenarnya konsep sharing economy berangkat dari pemanfaatan kapasitas yang idle alias tidak terpakai maksimal. Artinya anda memberikan kesempatan kepada pengguna lain yang membutuhkan produk/layanan sejenis yang anda miliki untuk dipergunakan mereka sehingga penggunaannya lebih maksimal.

Contoh pada AirBnB, kamar kosong di rumah anda kini bisa memberikan pendapatan tambahan jika disewakan kepada pengguna. Atau mobil anda kini bisa mendapatkan pemasukan tambahan jika waktu luang yang tersedia digunakan untuk mengantar orang lain. Dari survey luar negeri ditemukan bahwa kendaraan seperti mobil hanya digunakan sekitar 4% dari kapasitasnya, jadi ada 96% yang terbuang. Wajar saja kalau dimanfaatkan bukan? Apalagi pemasukan yang diterima bisa dimanfaatkan untuk biaya perawatan dan pemeliharaan bahkan sampai tahap meringankan biaya cicilan kredit. Demikian tujuan awalnya. Yang kemudian berkembang menjadi sumber & mata pencaharian adalah perkembangan lanjutan.

Ada 4 komponen dasar yang penting sehingga konsep ini dapat berjalan dengan baik. Dibalik konsep berbagi ini ada alasan:

  • Alasan sosial (bertemu dengan orang baru)
  • Alasan ekonomi (untuk menghemat uang atau biaya)
  • Alasan kepraktisan (untuk menghemat waktu)
  • Alasan ketahanan (dalam hal ini ketahanan lingkungan dengan maksud melindunginya).

Keempat alasan itu menggerakkan model bisnis on-demand economy atau sharing economy dengan memaksimalkan implementasi teknologi sebagai media perantaranya. Jika pada bisnis lama fungsi middleman lebih dikuasai oleh manusia sehingga berjalan relatif lebih lambat, maka dengan teknologi berlangsung jauh lebih cepat dan otomatis.

Bila melibatkan teknologi sebagai komponen awal perubahan, maka komposisi dimulai & diakhiri oleh:

  • Inovasi Teknologi 
  • Perubahan Nilai Kemanfaatan
  • Realita Ekonomis Baru
  • Pengaruh Terhadap Lingkungan

Jika kita melihat kepada konsep ini, maka sebenarnya konsep sharing economy bagus bukan? Tapi seperti yang sudah dialami oleh berbagai perubahan, akan ada goncangan dan dampak sampingan yang untuk sebagian pihak dianggap buruk dan merugikan. Dan umumnya goncangan yang terkeras akan dialami oleh pelaku perintis di era awal. Contohnya seperti Uber dan Gojek di Indonesia. Publik tidak menerima dengan mulus pada awalnya dan juga setelah beberapa waktu kemudian. Banyak negara yang belum siap menerima perubahan model bisnis dan perilaku sehingga cukup keras menolak. Namun apakah ini berarti serbuan aplikasi online berbasis sharing economy akan terhenti? Sayangnya tidak. Suka atau tidak perubahan sedang terjadi dan akan terus terjadi. Konsep sharing economy akan semakin menjadi gaya hidup yang biasa beberapa tahun kemudian.

Jadi jika di abad 20 kita mengenal istilah Hyper Consumption yang diwakili dengan model kredit + periklanan + kepemilikan pribadi, maka di abad 21 saat ini terjadi perubahan menjadi Collaborative Consumption yang diwakili dengan model reputasi + komunitas + berbagi akses. Jika pada abad 20 lalu korporasi besar biasa menjadi penguasa tunggal di satu industri tertentu, kini akses tersebut dibagi kepada banyak pengusaha mikro yang bergabung. Hotel tidak lagi dimiliki oleh pemilik dan jaringan besar saja, pemilik rumah di tepi pantai Parangtritis Jogja juga bisa ikut di jaringan AirBnB dan memperkenalkan fasilitas kamar miliknya ke seluruh anggota situs tersebut. Dengan berbagi kamar via AirBnB, akses bisnis terbuka kepada pengusaha kecil tadi.

[caption caption="Sumber gambar: wiprodigital.com"]

[/caption]Di beberapa negara lain, sudah mulai bermunculan trend sharing economy di berbagai bidang. Lihat gambar diatas untuk contoh beberapa brand yang terkenal dari beberapa industri. Saya duga sebagian dari brand tersebut belum anda kenal bukan? Wajar saja, karena belum banyak penggunanya di Indonesia. Tapi sampai kapan? Apakah semua brand asing yang akan muncul?

Pemain lokal juga ikut mencoba peruntungan di industri on-demand berbasis sharing economy ini. Sekedar menyebutkan saja,  contoh yang juga muncul di Indonesia: model pembiayaan online (lending money). Beberapa waktu lalu muncul layanan yang memberikan pinjaman uang secara online dengan nama UangTeman.com (baca artikel saya yang membahasnya disini ). Sayang bunga pinjaman yang diberikan masih tinggi sehingga kurang diminati. Malah berita penolakan yang marak terjadi. Tapi itu hanya di awal saja. Ibarat penjelajah di era awal, akan muncul layanan berikutnya dengan model dan gaya yang lebih disesuaikan dengan kondisi pasar lokal. Ini hanya soal waktu saja.

Sebenarnya konsep sharing economy merupakan penemuan ulang terhadap konsep perilaku dari kegiatan tradisional seperti meminjamkan, menyewa, bertukar, berbagi pilihan, menghadiahkan dengan menggunakan sarana teknologi. Dengan teknologi terjadi perluasan pengguna dan skala pemanfaatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Dari contoh diatas, kita bisa menebak bahwa akan ada pengaruh kepada berbagai pihak: pelanggan dari/dan perusahaan penyedia, juga penerima kerja dan pemberi kerja.

Anda bisa menebak pengaruhnya apa? Coba bayangkan kalau jumlah pemilik mobil menyewakan mobilnya (kasus Uber) maka tentu logis perusahaan taksi akan terganggu bukan? Bayangkan kalau Gojek sukses disetiap kota di Indonesia apakah penjualan motor meningkat seperti biasa atau berkurang? Tebakan saya sedikit banyak akan berkurang. Kenapa? Karena kini perusahaan atau produsen akan berkompetisi dengan sejumlah pengguna (pembeli produk mereka sendiri) yang kini memberikan jasa dengan dan dari produk tersebut. Akibatnya pengguna produk itu akan memilih layanan dibanding membeli bukan? Kita tidak perlu memiliki mobil, rumah bahkan anjing. Ya, di luar negeri sudah ada layanan meminjamkan anjing disamping celana jeans dan lainnya. Anda akan geleng kepala melihat berbagai item yang ditransaksikan.

Menurut anda jika AirBnB meningkat kepopulerannya di Indonesia, apakah jaringan hotel tradisional akan menaikkan harga atau tidak? Kalau Netflix diterima dengan luas di Indonesia, bagaimana dengan harga televisi kabel lokal lainnya? Makin naik atau turun? Tebakan anda adalah harga semakin terkonsolidasi alias semakin murah sebuah dampak logis dari persaingan bisnis. Otomatis margin juga semakin tipis. Kalau tidak berinovasi maka kematian usaha yang lamban mengantisipasi akan berakibat fatal.

Dengan memahami pemaparan ini saya kira anda lebih jelas membaca mengapa ada anggapan bahwa penolakan akan aplikasi online ini lebih karena tudingan mematikan usaha yang sebelumnya sudah mapan. Juga kita bisa paham mengapa pemerintah kebingungan mencari solusi dengan cepat karena perubahan sangat tidak terduga jika dilihat dari kaca birokrasi. Jika dulu produsen jelas pelakunya, kini produsen bisa sekaligus menjadi konsumen. Ada juga yang menolak karena menganggap berbagai produk aplikasi online itu adalah milik perusahaan asing. Lha, bagaimana kalau nanti ada perusahaan lokal? Alasan apa lagi yang akan diutarakan? Bagaimana dengan Gojek yang datang dari  lokal? Beberapa produk lokal mulai bermunculan mencari pasar di negeri sendiri. Kita akan lihat siapa nanti yang akan berhasil.

Salah satu penolakan adalah dengan mengedepankan alasan hukum dan peraturan pemerintah. Untuk itu, memang dampak buruk dari perubahan yang terjadi untuk konsep sharing economy di tahap awal ini adalah regulasi yang belum siap. Pemerintah bisa mengambil sikap menolak atau mengubah peraturan dalam arti  menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Lalu bagaimana dengan publik (baik pengguna maupun penyedia layanan tradisional?). Pemerintah tidak bisa abai terhadap kebutuhan pasar dan keputusan pengguna (dalam jumlah besar) untuk  mendapatkan manfaat yang maksimal. Toh bisnis memang ditujukan untuk itu bukan? Yang bisa dibuat pemerintah adalah mengatur dan mengadaptasikan aturan baru terhadap perubahan itu.

Faktor lain yang perlu kita perhatikan adalah faktor kepercayaan. Tentu guncangan dan perubahan dari konsep sharing economy atau on-demand economy ini mempunya dampak lain juga, yaitu perubahan kepercayaan. Ibarat baru kenal, maka kita relatif mudah curiga dan kurang percaya. Tapi sejalan dengan waktu maka kepercayaan publik akan semakin tumbuh dengan baik. Lihatlah penerimaan akan Gojek dan Uber sekarang, tentu jauh berbeda dibanding dulu bukan? Keberhasilan kedua penyedia layanan ini akan semakin mempermudah layanan on-demand berbasis sharing economy di industri lain untuk masuk dan diterima publik kedepannya. Sekarang reputasi yang dibangun dari kepercayaan tadi menjadi kurs nilai menggantikan uang (atau kredit di era abad 20 lalu).

Mengapa model kolaborasi ini menjadi populer sekarang? Menjawabnya mungkin tidak mudah, tapi saya mencoba membuat perbandingan dengan bahasa yang lebih sederhana. Jika di abad 20 lalu (kita sebut saja ekonomi berbasis industri) maka kita sebagai pengguna berfungsi sebagai konsumen yang pasif. Tapi di abad 21 saat ini yang dikenal dengan abad ekonomi kolaborasi, setiap pengguna bisa saja berfungsi jadi: pencipta, penyedia jasa, penunjang kegiatan bahkan penyandang dana. Menurut anda mana yang lebih menarik dan menantang?

Terima atau tidak, perusahaan tradisional saat ini harus berubah dan beradaptasi dengan baik terhadap kondisi tersebut. Perusahaan tidak lagi bisa menjadi pemegang dominasi terus menerus dari satu produk/layanan. Perubahan akan implementasi teknologi harus dirangkul. Perbaikan kualitas layanan harus dikedepankan. Efisiensi biaya harus diperhatikan karena layanan berbasis sharing economy akan memberikan penawaran harga yang lebih murah dengan kualitas yang tidak kalah. Selain itu jumlah penyedianya juga akan semakin banyak dan bervariasi.

Pasar dan Konsolidasi Sumber Daya Manusia

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, perubahan juga terjadi pada pemberi kerja dan penerima kerja. Saat ini sudah semakin umum dikenal istilah freelancer dimana pekerja menyelesaikan pekerjaan tanpa terikat ruang dan waktu. Artinya bisa bekerja lebih bebas. Saya sendiri adalah contoh langsung dari kondisi tersebut. Walau saya memiliki pekerjaan penuh, saya juga memiliki beberapa pekerjaan paruh waktu lainnya. Artinya saya memaksimalkan produktivitas saya dan tidak terikat kepada satu penyedia kerja saja.

Kondisi seperti ini bahkan bisa mendefenisikan ulang konsep dan pengertian dari “pengangguran”. Orang yang nampak menganggur sebenarnya belum tentu menganggur. Yang tidak pernah punya kantor belum tentu tidak punya gaji.  Orang yang bekerja beberapa jam sehari saja bisa menerima gaji lebih dari pada pekerja penuh waktu. Perubahan model seperti ini semakin kentara beberapa waktu belakangan. Semua diakibatkan oleh teknologi bukan? Contoh nyatanya di sekitar saya. Sudah mudah melihat seorang freelancer mengerjakan projek untuk klien dari negara lain disebuah cafe di kota Yogyakarta. Separuh dari tim saya bahkan tidak pernah ke kantor untuk absen. Kami rapat dan komunikasi via Skype dan WA saja. Praktis dan hemat biaya.

Mencari seorang pekerja spesifik tidak lagi sesulit dulu. Tidak lagi perlu membuang waktu untuk wawancara yang melelahkan dan proses rekruitmen yang membosankan. Cukup memposting rincian pekerjaan dan anggaran biayanya di situs online tertentu, dalam waktu singkat belasan bahkan puluhan pekerja paruh waktu siap anda pilih berdasarkan skill dan portofolionya. Mau dikerjakan sambil begadang, di rumah dengan sarung sambil dangdutan tidak menjadi masalah. Berbagai platform online sudah menyediakan kemudahan untuk itu. Kendala bahasa, tempat tinggal, bahkan umur tidak lagi menjadi pembatas. Ada faktor lain yang diutamakan yatu keahlian yang dimiliki.

Apakah artinya? Sederhana saja: Jika anda tidak punya skill yang bisa dibarterkan maka kemungkinan anda akan tertinggal. Perusahaan akan semakin melempar berbagai jenis pekerjaan rutin kepada jenis pekerja seperti ini. Jadi percuma kalau model outsourcing dituding sebagai biang kerok masalah tenaga kerja di Indonesia. Masalah sebenarnya adalah skill yang kurang. Bangun dan sadarlah teman-teman yang anggap enteng dengan skill anda yang pas-pasan saat ini. Perusahaan akan semakin berhemat dan berusaha efisien. Perampingan SDM hanya satu sisi saja. Yang mereka cari adalah orang yang mampu menyelesaikan pekerjaan.

Mendapatkan ilmu tidak lagi sesulit dulu. Sekarang sangat mudah mendapatkan berbagai ilmu secara online bukan. Contohnya Udemy dan berbagai platform belajar online lainnya. Para pakar bidang tertentu bisa menjual skillnya ke seluruh dunia. Bagaimana dengan nasib guru? Apakah guru tradisional siap bersaing dengan munculnya guru-guru online yang biayanya terjangkau dan lebih leluasa dalam menentukan jam akses?Mungkin untuk sebagian besar murid, guru tradisional masih jadi pilihan yang tidak bisa dihindari, tapi bagaimana dengan yang berkebutuhan khusus? Menurut anda sudahkah kita mulai membutuhkan guru yang demikian?

Bagaimana dengan dosen? Siap bertarung melawan konsep e-learning yang semakin meluas di berbagai negara termasuk Indonesia? Sampai kapan menurut anda konsep kuliah tradisional dapat dipertahankan? Atau ekstrimnya, apakah ijazah dari kampus bisa melawan kebutuhan skill spesifik yang dibutuhkan dunia industri? Saya hanya bertanya saja, bukan menggugat. Tapi saat ini kondisi dunia kerja juga semakin luas dan kompleks.

Jika disikapi dengan baik, perubahan memberikan banyak peluang. Contohnya pada 2 kasus diatas. Pemerintah bisa berinisiatif memberikan fasilitas untuk menyediakan akses guru on-demand via mobile phone. Indonesia terkenal memiliki penetrasi kepemilikan handphone yang besar. Alih-alih hanya digunakan untuk tujuan hiburan, kenapa tidak diarahkan untuk mempermudah akses pendidikan?

Dosen juga tidak lagi terbatas memberikan keahlian dan pelajaran di ruang terbatas dengan sedikit orang. Berperan serta di dunia e-learning malah memperluas jangkauannya bahkan kepada individu yang tidak pernah menjadi mahasiswanya langsung. Reputasi dan pendapatan didapat si dosen, sedangkan keahlian ditransfer ke individu tersebut yang mungkin berjarak ribuan kilometer dan pada waktu yang berbeda pula. Jika anda seorang yang memiliki naluri bisnis, bukankah hal seperti ini layak untuk dicoba?

Pasar ideal bagi pemberi kerja dan penerima kerja tentu membutuhkan waktu untuk matang. Namun dengan besarnya tenaga kerja di Indonesia dan kemajuan teknologi saat ini, sepertinya konsolidasi pasar yang ideal tidak akan terlalu lama untuk terjadi. Peluang yang muncul juga akan semakin bervariasi. Banyak pekerjaan yang dulu sulit untuk didapatkan tenaga kerjanya mungkin akan semakin mudah karena persaingan pelayanan yang semakin tajam. Tapi uniknya, konsep sharing economy juga memberikan aspek keadilan sebenarnya. Coba lihat bagaimana Gojek bisa tetap bertahan dan berkembang walau Uber muncul. Artinya tiap segmen pasar memiliki preferensi masing-masing. Tiap layanan memiliki pengguna sendiri. Itu kalau penyedia layanan berbenah dan memberikan yang dibutuhkan konsumen, kalau tidak ya seperti kasus taksi tradisional versus taksi online. Tergilas oleh jaman.

Penutup

Perubahan yang terjadi memberikan guncangan di awal. Ada yang baik dan tentu ada yang buruk. Teknologi memberikan akselerasi terhadap perubahan. Sejalan dengan waktu akan menjadi fenomena biasa. Dampak yang buruk segera akan diminimalkan dan disesuaikan dengan kondisi nyata terus menerus, proses penyesuaian tetap berlangsung.

Perubahan tidak hanya terjadi di industri transportasi dan penginapan (mengacu kepada cerita sukses industri global Uber dan AirBnB), tapi meluas ke berbagai industri dan sektor lain. Mungkin kita hanya belum menyadarinya saja atau karena belum muncul di Indonesia.

Awalnya kita menggunakan teknologi untuk mempermudah pekerjaan manusia. Lalu perlahan teknologi itu mengubah cara kita bekerja. Dan kini perilaku kita juga sudah berubah akibat dari bagaimana kita bertindak dan mengkonsumsi. Yang tidak  menyadari perubahan ini akan tergilas oleh keadaan.

Jika saat ini masing-masing penyedia layanan masih terpisah, kemungkinan di masa depan akan semakin terintegrasi dan dampaknya akan mempermudah keseluruhan pengguna berinteraksi. Berbagai layanan akan semakin efisien dan biaya akan semakin murah dan terkoreksi. Kini yang dijual bukan lagi produk semata tapi lebih kepada pengalaman dari layanan itu sendiri, termasuk interaksi sosialnya. Kita semua perlu bersiap menerima dan mengantisipasi dampak guncangannya sejak sekarang.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun