Selama ini banyak dari anak muda yang mempertanyakan role model pemimpin yang ideal. Ucapannyakah atau aksinya? Janji-janji politik atau tindakan riil di lapangan? Sepertinya kondisi sekarang mulai berubah. Anak muda sebagai bagian dari masyarakat, sebagai komponen penggerak bangsa ini mulai bosan dengan bentuk role model ideal. Pemimpin yang suka dengan status quo, kebanyakan janji dan lebih perduli kompromi politik kini mulai diasingkan. Pilihan tergeserkan kepada pemimpin yang tegas dan berani tampil beda. Bukan sembarang beda, tapi dibuktikan dengan aksi riil. Dan untuk hal itu tampaknya Ahok masih memegang posisi pertama.
Sebenarnya Ahok tidak sendirian. Sudah ada Ridwan Kamil dan Bu Risma juga sebagai ikon pemimpin yang menarik perhatian anak muda. Walau berbeda gaya bicara dan pola kepemimpinan praktisnya, ada kesamaan diantara ketiganya: TEGAS dan MENJAGA amanat yang diberikan. Pilihan Ahok melalui jalan independen membuktikan kepada relawan Ahok kalau dirinya siap dengan resiko. Ketegasan Ridwan Kamil untuk tidak maju ke Pilgub DKI bukan karena persoalan mampu atau tidak mampu. Tapi lebih kepada menjaga amanat yang diberikan kepadanya oleh masyarakat Bandung. Demikian juga dengan Bu Risma, bertahan di Surabaya karena menghormati tugas yang diemban. Akankah terus bermunculan tokoh politik dan pemerintahan yang memegang amanah dari rakyatnya?
Trend ketegasan dalam menjalankan amanat inilah yang menjadi angin segar bagi pemilih. Dalam kasus Ahok, relawan mau bersusah payah melakukan hal dan kegiatan pengumpulan KTP yang dulu dianggap tidak mungkin oleh publik. Bukan aneh kalau nanti akan muncul gerakan relawan di daerah yang mencari tokoh muda yang penuh integritas dan menghormati amanat yang diemban. Saat ini, untuk kedua kalinya perhatian publik mengarah kepada relawan Teman Ahok yang ditantang untuk mengumpulkan 1 juta KTP. Apakah sulit? 700.000 ribu saja sudah terlampaui, jadi tidak mungkin mereka akan mundur.
Melawan Jaman
Kalimat itu saya tulis melihat trend terbaru: rakyat mulai mencari jalan dengan cara sendiri. Relawan Teman Ahok hanyalah bagian dari masyarakat yang mulai mencari cara sendiri dan memilih jalan yang berbeda dalam bentuk aspirasinya. Walau terkesan melawan kebiasaan, namun Undang-undang melindungi aktivitas ini dan memberikan ruang kepada publik dalam menentukan pilihan politiknya. Bukan hal gampang sebenarnya. Dari gejala relawan yang semakin membesar belakangan ini, seharusnya sudah menjadi pertanda untuk partai agar mampu berkonsolidasi serta mengatur strategi dengan lebih bijak. Sayangnya ada partai gede yang terkesan main hantam kromo dengan mengerahkan semua kadernya untuk melawan Ahok. Menurut saya itu semakin memojokkan diri sendiri.
Jaman sudah berubah. Partai harus lebih adaptif dan mampu bertindak fleksibel. Aturan kini dibuat untuk menyesuaikan, bukan menghalangi apalagi menjadi bumerang. Menyesuaikan bukan lagi diartikan kompromi dengan sesama partai politik, tapi menangkap kemauan publik.
Saat ini saya melihat PDIP menjadi semakin dijauhi oleh kalangan muda karena tindakannya yang kurang strategis yaitu keputusan melawan Ahok dengan segala cara. Pilihan tidak jadi meminang Ahok merupakan tindakan wajar sebenarnya dari sisi politik praktis, tapi tidak perlu disikapi berlebihan. Akhirnya keputusan Bu Mega malah menjadi korban bully oleh netizen. Dan ini hanyalah awal saja saya kira. Kedepannya akan semakin banyak wong cilik yang akan mempertanyakan logika keputusan untuk melawan Ahok yang dianggap sebagai pemimpin yang pro rakyat. Persepsi si besar menekan si kecil akan menguat disini. Apalagi tudingan deparpolisasilah, relawan merusak tatanan politiklah, dsb, tidak akan mengubah wajah bahwa partai menekan tokoh dan itu tidak baik dari pola pencitraan formal.
Tidak semua orang suka dengan Ahok. Sebagian dari rakyat Jakarta juga menentangnya. Tapi siapa dan kapan? Serta berapa banyak dan isu apa yang diangkat untuk menghadangnya? Selama ini isu SARA yang dijual. Sialnya lagi, menurut saya isu ini sudah ketinggalan jaman (lebih buruk sebenarnya dari gaya melawan jaman ala partai).Â
Persepsi bahwa publik Jakarta itu masih bisa diarahkan dengan isu SARA sebenarnya semakin menunjukkan kelemahan dari penggiring isu. Saat ini, kalau mau jujur, seharusnya tokoh yang digunakan untuk melawan Ahok haruslah memiliki track record yang lumayan kalaupun tidak bisa mumpuni. Sayang seribu sayang, bakal calon yang masih ada maupun mengusung dirinya sendiri banyak yang memiliki masalah. Diperparah pula dengan menekan Ahok dari sisi SARA dengan mengumbar kebencian, klop sudah persepsi buruk bagi penentangnya.
Apakah tidak ada cara untuk menghadang Ahok? Masih ada sebenarnya yaitu dengan mengedepankan calon atau kandidat gubernur yang memiliki otak, nyali dan ketegasan dalam memimpin. Lebih bagus pula kalau ada track record sebelumnya. Hal ini dimiliki beberapa kandidat potensial seperti Ridwan Kamil dan Bu Risma. Hanya saja kesamaan memegang amanah rakyat tidak mampu membuat mereka bertarung sesuai dengan keinginan partai. Diluar mereka berdua bagaimana? Sayangnya disini harus kita akui kalau kader-kader partai saat ini tidak ada yang perduli membangun portofolio diri untuk pemilihan seperti pilkada dan pilgub. Yang ada hanya strategi mengumpulkan suara terbanyak via proses biasa. Sementara dari Ahok, kita melihat sinergi antara aksi, tindakan riil di lapangan sampai ke pencitraan yang dilakukan.
Penutup
Mungkin sudah saatnya partai politik belajar kondisi terbaru dari trend gerakan relawan seperti Teman Ahok ini. Berhentilah menuding dan membuat gaduh didepan publik dengan menebar kebencian serta tudingan tidak menentu. Apalagi menjual janji kosong ala Ahmad Dani hehehe.
Meyakinkan orang muda tidak bisa lagi dengan cara jadul dan bodoh seperti itu. Melainkan mencari cara untuk menunjukkan kapabilitas dan skill calon yang diusung. Orang muda senang dan menoleh kepada harapan. Saya kira hal itulah yang dilihat mereka dari sosok Ahok. Prediksi saya: harapan itu bersifat menular sehingga logis kalau jumlah pendukung Ahok akan bertambah melampaui 1 juta. Apalagi dia memilih wakilnya dari golongan yang mau bekerja, bukan seperti yang banyak kita tonton atau baca sekarang yaitu terlalu banyak bicara.