Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Teman Ahok: Trend Kebangkitan Pemuda?

10 Maret 2016   16:47 Diperbarui: 10 Maret 2016   17:21 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Jakartabisnis.com - Antara

Membahas mengenai Ahok memang selalu seru. Walau menjadi incumbent, Ahok mendapat perhatian khusus dari sejumlah relawan. Kebanyakan memang berasal dari kalangan muda dan hal inilah yang menarik perhatian saya. Fenomena apakah ini?

Sekarang Relawan, Besok?

Kebetulan saya ikut aksi demo di Medan pada tahun 1998 lalu ketika masih bekerja di Inkubator Cikal USU setelah tamat kuliah. Diwaktu itu, sesak rasanya melihat model pemerintahan yang menurut kalangan mahasiswa tidak mencerminkan kehidupan demokrasi dan politik yang sehat. Membandingkan dengan suhu dan kondisi politik saat ini rasanya jauh berbeda. Namun saya menangkap kegelisahan yang sama di kalangan anak muda. Setidaknya sebagian anak muda Jakarta.

Membandingkan suasana politik di era 1998 dan saat ini memang sekilas tidak memiliki korelasi apapun. Dugaan saya baru muncul ketika melihat faktor keterkaitan yaitu: anak muda. Kalau di era 1998 kita melawan ketidakadilan Suharto, kini saya menduga anak muda Jakarta melawan ketidakadilan partai. Selalu harus ada musuh. Bisa jadi tokoh, kelompok atau bentuk apapun yang menjadi anti-hero disini. Dalam kasus Pilgub DKI ya partai politik itu sendiri.

Cukup unik melihat bagaimana sebagian anak muda Jakarta mulai menggalang kekuatan untuk melawan hegemoni partai politik formal. Sebagian pakar menilai ini adalah bentuk perlawanan moral awal melawan kotornya praktik politik di negeri ini. Ada yang mengatakan fenomena ini adalah bentuk awal dari kesadaran berpolitik anak muda namun karena tidak mendapatkan tempat dan ruang gerak yang memadai di dalam organisasi politik formal maka mereka menjalankan gerakan relawan seperti ini. Saya lebih setuju dengan pendapat terakhir itu.

Uniknya, pihak parpol malah menuding kalau Ahok bersama dengan Teman Ahok memiliki tujuan deparpolisasi. Selain terkesan panik, banyak juga yang beranggapan kalau deparpolisasi sebenarnya sudah dimulai dari partai politik itu sendiri. Yaitu ketidakmampuannya mengurus etika dan moral dari anggotanya di pemerintahan ataupun dewan.

Selain terkena kasus korupsi, banyak juga anggota partai yang bertindak sesukanya dan tidak menampilkan gaya berpolitik yang santun dan beradab. Jadi, wajar saja kalau rasa sesak yang dirasakan anak muda jaman sekarang jadi terlampiaskan lewat gerakan sosial dan relawan seperti Teman Ahok tersebut.

Banyak tokoh muda yang berpotensi berkumpul dalam kelompok relawan Ahok. Hal ini mengingatkan saya akan kejadian Malari 1974 dengan tokoh-tokohnya. Mungkin 15-20 tahun kemudian akan muncul tokoh pembaharu dari relawan Teman Ahok ini karena saat ini mereka melihat gerakan dan perjuangan yang dilakukan. Kalau saja partai politik mau melihat lebih kedalam dan introspeksi, bisa saja kekuatan ini digabung bersama. Apakah cara dukungan dari Nasdem menjadi pola baru dari kalangan partai? Waktu yang akan menunjukkan nanti.

David VS Goliath

Gerakan relawan Teman Ahok saya anggap seperti kisah David vs Goliath era Abad 21 di ranah politik. Kecil, disepelekan dan tidak dianggap pada awalnya. Namun sejalan dengan waktu, kekuatannya tidak main-main. Bisa mengumpulkan lebih dari 700.000 KTP. Jumlah yang tidak bisa dianggap remeh. Bahkan mengungguli jumlah dukungan untuk partai tertentu. Artinya, kekuatan relawan ini tidak mengecil dan mengendur. Ini yang seharusnya diperhatikan oleh pihak partai.

Kebetulan saya berasal dari industri yang akrab dengan dunia startup. Dunia bisnis pemula yang penuh tantangan dan dicecoki dengan ketidakpastian atau masa depan. Yang ada hanyalah semangat dan harapan. Namun bukan berarti usaha kecil ini tidak bisa besar dan merajalela. Analogi ini juga cocok saya berikan di kasus pilgub DKI ini. Seperti Uber yang mengganggu industri taksi global, seperti AirBNB yang merebut porsi jaringan hotel besar, kita bisa menganggap relawan Teman Ahok adalah gerakan yang men-disrupt pola perekrutan selama ini.

Menggugat kemapanan, menentang kebiasaan adalah salah satu ciri anak muda yang selama ini kita kenal lewat bentuk startup sebagai pola bisnis mereka. Namun bagaimana dengan pola politik mereka? Selama ini apakah aspirasi mereka digubris? Sepertinya gerakan relawan Teman Ahok ini adalah akibat daripada sebab. Jadi, kurang tepat kalau dikatakan tindakan deparpolisasi. Lebih mirip kondisi dimana partai politik kurang memahami aspirasi kalangan muda yang rindu figur negarawan.

Selama ini banyak dari anak muda yang mempertanyakan role model pemimpin yang ideal. Ucapannyakah atau aksinya? Janji-janji politik atau tindakan riil di lapangan? Sepertinya kondisi sekarang mulai berubah. Anak muda sebagai bagian dari masyarakat, sebagai komponen penggerak bangsa ini mulai bosan dengan bentuk role model ideal. Pemimpin yang suka dengan status quo, kebanyakan janji dan lebih perduli kompromi politik kini mulai diasingkan. Pilihan tergeserkan kepada pemimpin yang tegas dan berani tampil beda. Bukan sembarang beda, tapi dibuktikan dengan aksi riil. Dan untuk hal itu tampaknya Ahok masih memegang posisi pertama.

Sebenarnya Ahok tidak sendirian. Sudah ada Ridwan Kamil dan Bu Risma juga sebagai ikon pemimpin yang menarik perhatian anak muda. Walau berbeda gaya bicara dan pola kepemimpinan praktisnya, ada kesamaan diantara ketiganya: TEGAS dan MENJAGA amanat yang diberikan. Pilihan Ahok melalui jalan independen membuktikan kepada relawan Ahok kalau dirinya siap dengan resiko. Ketegasan Ridwan Kamil untuk tidak maju ke Pilgub DKI bukan karena persoalan mampu atau tidak mampu. Tapi lebih kepada menjaga amanat yang diberikan kepadanya oleh masyarakat Bandung. Demikian juga dengan Bu Risma, bertahan di Surabaya karena menghormati tugas yang diemban. Akankah terus bermunculan tokoh politik dan pemerintahan yang memegang amanah dari rakyatnya?

Trend ketegasan dalam menjalankan amanat inilah yang menjadi angin segar bagi pemilih. Dalam kasus Ahok, relawan mau bersusah payah melakukan hal dan kegiatan pengumpulan KTP yang dulu dianggap tidak mungkin oleh publik. Bukan aneh kalau nanti akan muncul gerakan relawan di daerah yang mencari tokoh muda yang penuh integritas dan menghormati amanat yang diemban. Saat ini, untuk kedua kalinya perhatian publik mengarah kepada relawan Teman Ahok yang ditantang untuk mengumpulkan 1 juta KTP. Apakah sulit? 700.000 ribu saja sudah terlampaui, jadi tidak mungkin mereka akan mundur.

Melawan Jaman

Kalimat itu saya tulis melihat trend terbaru: rakyat mulai mencari jalan dengan cara sendiri. Relawan Teman Ahok hanyalah bagian dari masyarakat yang mulai mencari cara sendiri dan memilih jalan yang berbeda dalam bentuk aspirasinya. Walau terkesan melawan kebiasaan, namun Undang-undang melindungi aktivitas ini dan memberikan ruang kepada publik dalam menentukan pilihan politiknya. Bukan hal gampang sebenarnya. Dari gejala relawan yang semakin membesar belakangan ini, seharusnya sudah menjadi pertanda untuk partai agar mampu berkonsolidasi serta mengatur strategi dengan lebih bijak. Sayangnya ada partai gede yang terkesan main hantam kromo dengan mengerahkan semua kadernya untuk melawan Ahok. Menurut saya itu semakin memojokkan diri sendiri.

Jaman sudah berubah. Partai harus lebih adaptif dan mampu bertindak fleksibel. Aturan kini dibuat untuk menyesuaikan, bukan menghalangi apalagi menjadi bumerang. Menyesuaikan bukan lagi diartikan kompromi dengan sesama partai politik, tapi menangkap kemauan publik.

Saat ini saya melihat PDIP menjadi semakin dijauhi oleh kalangan muda karena tindakannya yang kurang strategis yaitu keputusan melawan Ahok dengan segala cara. Pilihan tidak jadi meminang Ahok merupakan tindakan wajar sebenarnya dari sisi politik praktis, tapi tidak perlu disikapi berlebihan. Akhirnya keputusan Bu Mega malah menjadi korban bully oleh netizen. Dan ini hanyalah awal saja saya kira. Kedepannya akan semakin banyak wong cilik yang akan mempertanyakan logika keputusan untuk melawan Ahok yang dianggap sebagai pemimpin yang pro rakyat. Persepsi si besar menekan si kecil akan menguat disini. Apalagi tudingan deparpolisasilah, relawan merusak tatanan politiklah, dsb, tidak akan mengubah wajah bahwa partai menekan tokoh dan itu tidak baik dari pola pencitraan formal.

Tidak semua orang suka dengan Ahok. Sebagian dari rakyat Jakarta juga menentangnya. Tapi siapa dan kapan? Serta berapa banyak dan isu apa yang diangkat untuk menghadangnya? Selama ini isu SARA yang dijual. Sialnya lagi, menurut saya isu ini sudah ketinggalan jaman (lebih buruk sebenarnya dari gaya melawan jaman ala partai). 

Persepsi bahwa publik Jakarta itu masih bisa diarahkan dengan isu SARA sebenarnya semakin menunjukkan kelemahan dari penggiring isu. Saat ini, kalau mau jujur, seharusnya tokoh yang digunakan untuk melawan Ahok haruslah memiliki track record yang lumayan kalaupun tidak bisa mumpuni. Sayang seribu sayang, bakal calon yang masih ada maupun mengusung dirinya sendiri banyak yang memiliki masalah. Diperparah pula dengan menekan Ahok dari sisi SARA dengan mengumbar kebencian, klop sudah persepsi buruk bagi penentangnya.

Apakah tidak ada cara untuk menghadang Ahok? Masih ada sebenarnya yaitu dengan mengedepankan calon atau kandidat gubernur yang memiliki otak, nyali dan ketegasan dalam memimpin. Lebih bagus pula kalau ada track record sebelumnya. Hal ini dimiliki beberapa kandidat potensial seperti Ridwan Kamil dan Bu Risma. Hanya saja kesamaan memegang amanah rakyat tidak mampu membuat mereka bertarung sesuai dengan keinginan partai. Diluar mereka berdua bagaimana? Sayangnya disini harus kita akui kalau kader-kader partai saat ini tidak ada yang perduli membangun portofolio diri untuk pemilihan seperti pilkada dan pilgub. Yang ada hanya strategi mengumpulkan suara terbanyak via proses biasa. Sementara dari Ahok, kita melihat sinergi antara aksi, tindakan riil di lapangan sampai ke pencitraan yang dilakukan.

Penutup

Mungkin sudah saatnya partai politik belajar kondisi terbaru dari trend gerakan relawan seperti Teman Ahok ini. Berhentilah menuding dan membuat gaduh didepan publik dengan menebar kebencian serta tudingan tidak menentu. Apalagi menjual janji kosong ala Ahmad Dani hehehe.

Meyakinkan orang muda tidak bisa lagi dengan cara jadul dan bodoh seperti itu. Melainkan mencari cara untuk menunjukkan kapabilitas dan skill calon yang diusung. Orang muda senang dan menoleh kepada harapan. Saya kira hal itulah yang dilihat mereka dari sosok Ahok. Prediksi saya: harapan itu bersifat menular sehingga logis kalau jumlah pendukung Ahok akan bertambah melampaui 1 juta. Apalagi dia memilih wakilnya dari golongan yang mau bekerja, bukan seperti yang banyak kita tonton atau baca sekarang yaitu terlalu banyak bicara.

Terlepas dari opini dan prediksi saya, Pilgub 2017 nanti pasti akan sangat menarik dan mampu memberikan nuansa baru dalam politik di Indonesia. Semoga.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun