Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seni Mengkritisi Tanpa Merusak

31 Juli 2015   22:41 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:52 2100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak orang yang mengatakan bahwa berpikir kritis itu sangat penting dijaman yang "edan" ini. Dengan riuhnya berbagai lapisan masyarakat baik dalam hal politik, ekonomi dan kehidupan sehari-hari, pemikiran kritis sering diasumsikan sebagai salah satu tanda tolak ukur mampu tidaknya merespon perubahan disekeliling kita dan melakukan perubahan atau pengaruh tertentu.

Sayangnya, sifat mengkritisi yang terjadi saat ini malah keblablasan dan negatif efeknya. Yang kita lihat diberbagai area seperti media sosial, media massa dan berbagai ruang interaksi publik lainnya adalah berbagai model kerusakan. Ada yang merusak pertemanan, rasa respek, kewajaran sampai moralitas dan norma susila ketimuran.

Sepertinya sampai saat ini terlalu sulit untuk dibendung efek negatifnya. Tidak hanya remaja dan orang kebanyakan, beberapa petinggi atau kalangan intelektual juga ikut "ngaco dan asal bacot". Banyak yang lebih mengarah kepada penyajian ungkapan kasar dan makian. Apakah harus begitu? Itukah yang disebut sebagai bentuk kritis seseorang? Kalau tidak, bagaimana sifat mengkritisi yang masih dalam aturan permainan dan batas kewajaran?

Yang Mengakselerasi

Kemajuan teknologi melalui internet dan peralatan komunikasi saat ini sangat menunjang penyebaran informasi ke berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya teks dan gambar, bahkan video pun sudah mudah untuk disebarkan.Namun artikel ini lebih memfokuskan kepada informasi dalam bentuk tulisan atau opini dan pendapat seseorang.

Setiap orang berhak bersuara dan mengeluarkan pendapat. Bahkan hak ini dilindungi oleh undang-undang kita. Tapi yang menjadi permasalahan saat ini adalah model penyajiannya yang buruk. Banyak yang menuliskan berbagai pendapat dan argumentasi tanpa melakukan proses yang baik.

Akibat pengabaian proses ini, maka banyak dampak buruk yang terjadi. Seperti pemahaman yang salah, pengertian yang menyimpang dari maksud awal, bahkan yang terburuk adalah provokasi tanpa sadar. Lalu, digabung dengan kemajuan teknologi tadi, apa yang terjadi? Anda bisa tebak sendiri bukan?

Lepas dari masalah itu, banyak akibat yang tidak diinginkan muncul. Sialnya ketika nasi sudah jadi bubur, si pemilik suara malah tidak mengakui perbuatannya dengan jujur. Sembunyi di balik alasan kilaf, tidak bermaksud demikian, dsb. Tapi satu hal yang perlu diingat, tidak ada manfaat menghempang informasi yang tersebar biarpun berita itu tidak benar. Lho?

Begini, bila berita yang tidak benar telah menyebar dan ada upaya tekanan untuk menghentikannya maka yang terjadi adalah sebaliknya. Tindakan represif selalu menghasilkan perlawanan dan pada akhirnya yang tumbuh bukanlah kesadaran tapi malah simpati. Biarpun dirasa logika ini bersifat paradoks, tapi yang terjadi seringkali memang demikian.

Lebih baik berita itu dibiarkan menyebar, dan untuk menghentikan atau memperlambat akselerasinya sebaiknya dibuat berita penyeimbang. Berita inilah yang akan membuat balance antara efek negatif tadi dan berita yang sebenarnya. Artikel saya ini lebih menyoroti bagaimana caranya agar kita bisa membuat keseimbangan tertentu.

Tentu yang paling ideal adalah anda - sebagai pemilik suara - sudah melakukan proses mengkritisi diri sendiri terlebih dahulu.

Bila Anda Pemilik Suara

Tanpa mengurangi rasa hormat, kita perlu berkaca sejenak untuk mengenal diri kita. Kita harus berani kritis terhadap diri sendiri sebelum berupaya untuk kritis terhadap lingkungan. Betapa seringnya kita bersuara tanpa sadar siapa diri kita sebenarnya. Kita bicara isu politik seakan-akan kita adalah anggota dewan. Kita memamerkan istilah teknis yang sejujurnya kita belum pahami seluruhnya. Kita suka sekali menambahkan kata-kata kasar sebagai pengganti tanda seru (!) dengan harapan suara kita lebih menggambarkan emosi dan ekspresi kita.

Sayangnya, hasil akhir jauh dari yang kita harapkan. Latar belakang dan pengalaman kita sering tidak mendukung pendapat yang kita beri. Pengetahuan kita yang terbukti cekak akan mudah dijegal ketika berargumentasi. Tentu saja, makian dan cacian adalah jurus kunci kalau kita sudah terdesak dan ingin mengakhiri perdebatan. Akhirnya debat kusir yang tidak mengarah kepada solusi yang ramai jadi lebih ditampilkan bukan?

Jika anda seorang individu yang mencoba kritis, maka ada beberapa hal yang perlu anda lakukan sebagai langkah awal dalam mengkritisi diri sendiri. Beberapa diantaranya:

  • Sifat kritis tidak selalu harus mengikuti sopan santun formal yang cenderung membosankan dan rata tanpa intonasi.Tapi tidak pula jadi ngelantur tanpa arah dan fokus yang tidak jelas. Bercanda, menggunakan gaya satire, atau model lain sah-sah saja. Tapi anda harus bisa memastikan bahwa isi dan opini anda dapat dengan jelas dipahami.
  • Tidak pula harus selalu mengarah dan mengutip ketentuan atau aturan moralitas tertentu (agama, hukum atau adat). Walaupun bila kita mampu, sebaiknya faktor-faktor itu sangat berperan dalam memoles dan menajamkan pemikiran yang kita miliki. Ingat, berpikir "out of the box" tidak berarti membenarkan anda melanggar kepatutan dan norma manusia seenaknya. Selalulah berpikir reaksi dan respon dari orang yang mencoba memahami maksud dan opini anda.
  • Kesopanan dan standar moralitas (seperti hukum atau agama misalnya) menurut pandangan saya bukan menumpulkan ketajaman analisa dan suara yang kita hendak utarakan. Malah mengamankan dari serangan "tidak bermutu, debat kusir dan tuduhan serampangan" para argumentator diskusi.

Rasanya sulit ya jadi bebas mengkritisi seseorang atau sesuatu dengan poin-poin diatas?

Berpikir Kritis

Sebelum kita masuk ke area seni praktis mengkritisi, ada baiknya kita pahami dengan singkat apa yang dimaksud dengan berpikir kritis.

Berpikir kritis adalah kemampuan berpikir dengan jernih dan rasional tentang apa yang akan dilakukan atau apa yang diyakini. Termasuk didalamnya adalah kemampuan untuk terlibat dalam berpikir secara bebas dan reflektif. Yang dimaksud dengan reflektif adalah kemampuan kita menganalisa sudut pandang terbalik dari objek yang kita bahas/pandang. Cukup rumit ya pengertiannya? Hehehe.. tidak sulit kok, baca saja sampai habis. Jamin anda pasti mengerti.

Seseorang dengan skill berpikir kritis dianggap mampu melakukan hal berikut ini:

  • Mengerti hubungan logis antar ide
  • Bisa mengenal, menyusun dan mengevaluasi argumen
  • Mendeteksi tidak konsisten dan kesalahan umum dari alasan
  • Menyelesaikan masalah secara sistematis
  • Mengenal relevansi dan pentingnya dari ide
  • Gambaran dari pembenaran akan kepercayaan dan nilai seseorang

Wow... rumit ya pengertiannya. Sebenarnya tidak. Secara sederhana diartikan dengan: kalau anda memberikan sebuah pendapat atau opini, sebaiknya ada data dan argumen yang mendukungnya. Susun secara sistematis agar mudah dipahami. Sebaiknya dapat diterima logis oleh akal sehat.

Ketika kita memilih kata dan ide berlandaskan kesopanan atau moralitas tertentu, itu saja sudah menjadi filter awal dari diri kita sendiri. Apakah ide kita mampu melewati saringan tersebut dengan baik dan lancar? Di tahap ini saja, kedengkian tak beralasan, fitnah dan kekejian tersembunyi sudah bisa kita tandai sejak dini. Kalau ada kata-kata kita yang kasar dan tidak mendasar sebaiknya kita hapus saja. Itu sudah melanggar faktor kepercayaan dan nilai anda sendiri bukan? Contohnya: jangan memaki dengan kata-kata kotor. Nilai dan kepercayaan apa yang ditimbulkan hal seperti itu menurut anda?

Maksud Sebenarnya

Kalau anda menjadi seorang yang kritis bersuara dan berpendapat, apa sebenarnya maksud anda? Tebakan saya: mempengaruhi orang lain agar menyetujui dan mendukung opini anda bukan?

Bayangkan apa yang terjadi kalau argumen anda berdasarkan data yang tidak valid? Atau anda lebih melihat ego lawan debat anda? Sialnya, emosi anda juga ikut bermain?

Tulisan yang bersemangat tidak berarti harus lepas kendali. Tidak pula dipenuhi emosi yang bertebaran disana-sini. Sebaliknya, penyusunan argumen/data yang salah sekalipun tidak akan membuat anda kehilangan muka jika dikritik oleh lawan anda. Bayangkan seperti arena pertarungan tinju. Kedua pihak berusaha untuk bermain "fair" bukan? Itu intinya. Fokus anda adalah melancarkan pukulan-pukulan argumentasi satu demi satu untuk menohok argumen lawan.

Anda tidak akan melakukan pelanggaran dengan melakukan pukulan yang dilarang seperti merendahkan intelektual lawan anda. Godaan untuk melakukan itu memang besar, apalagi ketika emosi sudah tersulut. Tapi, menang dengan cara memukul emosi lawan sama saja dengan memukul harga diri anda. Tidak ada yang menang selain kebodohan.

Ketika anda memukul area yang tidak terlindungi, disinilah sebenarnya kritikan anda tadi bisa mengena dan menohok lawan. Ketika argumen anda tidak dapat dibalas balik dengan argumen yang valid, maka ibarat tinju, anda sudah mendapat skor.

Humor, satire atau sindiran, ceplas ceplos, hanyalah jurus dalam berdebat melalui argumen. Semua itu hanyalah "bunga-bunga" yang tidak mendasar tapi enak untuk dinikmati. Hanya saja, pada akhirnya, orang yang ingin anda pengaruhi harus bisa mengerti sudut pandang anda dan bisa mengikuti pendapat anda.

Kunci terakhir yang penting kita pegang dalam mengkritisi orang lain atau sesuatu adalah: KITA SEPAKAT untuk TIDAK SEPAKAT. Dengan kata lain, tetap berpegang teguh kepada pendapat kita sekalipun tidak akan mengubah aturan dasar yang dibuat yaitu saling hormat dan tidak lepas kendali. Pencapaian tertinggi dari debat argumen dan kritis dalam berpendapat adalah penerimaan perbedaan itu sendiri dengan lapang dada. Orang lain yang ikut dalam percaturan argumentasi anda akan respek kepada kedua belah pihak, lepas dari sudut pandang masing-masing.

Tidak mudah memang melakukan hal demikian. Sama halnya dengan anda, yang sudah bersusah payah membaca sampai bagian akhir ini. Saya kira anda cukup kritis untuk menemukan berbagai argumen didalam tulisan saya kali ini bukan?

 

Catatan: Bahasa penyajian yang agak rumit dari artikel ini memang saya sengaja dengan maksud agar dibaca pelan-pelan dan fokus. Hehehe... sifat kritis harus diawali dengan kehati-hatian!

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun