Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seni Mengkritisi Tanpa Merusak

31 Juli 2015   22:41 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:52 2100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan yang bersemangat tidak berarti harus lepas kendali. Tidak pula dipenuhi emosi yang bertebaran disana-sini. Sebaliknya, penyusunan argumen/data yang salah sekalipun tidak akan membuat anda kehilangan muka jika dikritik oleh lawan anda. Bayangkan seperti arena pertarungan tinju. Kedua pihak berusaha untuk bermain "fair" bukan? Itu intinya. Fokus anda adalah melancarkan pukulan-pukulan argumentasi satu demi satu untuk menohok argumen lawan.

Anda tidak akan melakukan pelanggaran dengan melakukan pukulan yang dilarang seperti merendahkan intelektual lawan anda. Godaan untuk melakukan itu memang besar, apalagi ketika emosi sudah tersulut. Tapi, menang dengan cara memukul emosi lawan sama saja dengan memukul harga diri anda. Tidak ada yang menang selain kebodohan.

Ketika anda memukul area yang tidak terlindungi, disinilah sebenarnya kritikan anda tadi bisa mengena dan menohok lawan. Ketika argumen anda tidak dapat dibalas balik dengan argumen yang valid, maka ibarat tinju, anda sudah mendapat skor.

Humor, satire atau sindiran, ceplas ceplos, hanyalah jurus dalam berdebat melalui argumen. Semua itu hanyalah "bunga-bunga" yang tidak mendasar tapi enak untuk dinikmati. Hanya saja, pada akhirnya, orang yang ingin anda pengaruhi harus bisa mengerti sudut pandang anda dan bisa mengikuti pendapat anda.

Kunci terakhir yang penting kita pegang dalam mengkritisi orang lain atau sesuatu adalah: KITA SEPAKAT untuk TIDAK SEPAKAT. Dengan kata lain, tetap berpegang teguh kepada pendapat kita sekalipun tidak akan mengubah aturan dasar yang dibuat yaitu saling hormat dan tidak lepas kendali. Pencapaian tertinggi dari debat argumen dan kritis dalam berpendapat adalah penerimaan perbedaan itu sendiri dengan lapang dada. Orang lain yang ikut dalam percaturan argumentasi anda akan respek kepada kedua belah pihak, lepas dari sudut pandang masing-masing.

Tidak mudah memang melakukan hal demikian. Sama halnya dengan anda, yang sudah bersusah payah membaca sampai bagian akhir ini. Saya kira anda cukup kritis untuk menemukan berbagai argumen didalam tulisan saya kali ini bukan?

 

Catatan: Bahasa penyajian yang agak rumit dari artikel ini memang saya sengaja dengan maksud agar dibaca pelan-pelan dan fokus. Hehehe... sifat kritis harus diawali dengan kehati-hatian!

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun