Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kiamat, Kebencian dan Konfirmasi

7 Juli 2015   13:33 Diperbarui: 7 Juli 2015   13:33 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan ini saya menangkap kecenderungan yang unik tapi lucu sekaligus menyedihkan di wall Facebook saya. Sejak awal 2015 lalu banyak sekali "friends" yang terkoneksi ke saya membuat komentar, menshare berita atau artikel yang dicopas dari berbagai sumber luar dengan tema utama: KIAMAT dan KEBENCIAN.

Trend Kiamat

Walaupun saya menganggap terlalu serius soal kiamat karena itu adalah soal keyakinan religius pribadi, tapi unik rasanya belakangan ini banyak sekali yang membagikan link artikel dan lainnya dengan tema kiamat. Mulai dari cuplikan dari kitab suci dilengkapi dengan penjelasan yang menurut saya pribadi semakin membingungkan kalaupun tidak bisa disebut absurd sampai gejala alam belakangan ini yang langsung dianggap sebagai tanda kiamat.

Benar atau tidaknya bukanlah fokus saya disini. Yang saya fahami, kiamat adalah satu bentuk akhir dari keyakinan. Sebuah pembuktian yang masih akan datang dan bukan sesuatu yang bisa diprediksi walau banyak yang mencobanya. Sekalipun enak dan asyik menggosipkan topik kiamat, ada yang sebenarnya tidak disadari oleh banyak orang yang menjadi efek negatif yaitu pembenaran.

Ketidaktahuan akan kiamat selalu ditutupi dengan kutipan dari kitab suci, juga seruan dari kalangan ahli agama selain dari dukun yang kini sudah kurang populer dibanding kalangan suci tersebut. Ibarat branding, posisi alim ulama dan para pengkotbah lebih menjual dibanding dukun yang tergerus ke belakang. Entah karena masih pakai kemenyan dan tidak mau upgrade ke aplikasi berbasis android, entahlah. Tapi kini semua yang berkaitan dengan agama memang lebih maju dengan teknologi, baik social media maupun yang lainnya.

Umat tidak lagi ada didalam rumah suci atau bangunan ibadah. Kini umat ada dimana-mana selama bisa mengakses via internet. Sekarang jumlah sempalan tidak lagi mudah dihitung departmen agama karena berbagai jenis aliran baru bermunculan dengan model dan triknya masing-masing. Dan hebatnya semua mengaku kecap nomor satu.

Kebencian

Bila ada sekelompok berbeda pandangan dengan yang lain maka apa yang terjadi? Demokrasi? Diskusi? Dulu mungkin bisa, tapi sekarang tidak. Lebih umum kita lihat dimana-mana budaya menjual kebencian dengan murahan. Jangankan penggemar gosip, kini kebencian sudah menjadi komoditi disemua lini. Mulai dari rumah, lingkungan, kantor sampai pemerintahan. Saya membaca sumpah serapah setiap waktu di halaman facebook saya. Walaupun saya sudah berusaha memilah teman yang mendaftarkan diri ke jejaring saya, tapi tidak saya sangka bahwa kini sudah hampir 50% membuat 2 topik tadi muncul terus menerus setiap hari.

Hebatnya lagi, kiamat ini selalu berdekatan dengan topik kebencian. Mulai dari membandingkan asal sumber berita, kesucian kitab yang menyatakannya, semangat gotong royong membully orang yang dianggap tidak sejalan (walau satu agama yang sama) dan paling parah adalah membantu menyebarkan berita yang dianggap benar walaupun hanya membaca judulnya saja.

Saya tidak tahu asalnya dari mana. Yang saya tahu, kelatahan yang timbul ini tidak hanya dikalangan ABG saja. Bahkan orang tua dan pendidik pun banyak yang mengikuti kelatahan tersebut. Tanpa memeriksa kebenaran dengan lebih mendalam, tanpa memikir dengan logika dan empati yang cukup, maka dengan sebuah sentuhan di tablet, hp atau laptop, berita itu tadi kini menyebar.

Kemungkinan Penyebab

Bisa jadi niat menyebarluaskan berita seperti ini didasari dengan niat baik. Setidaknya saya memilih alasan ini dahulu. Hanya saja, banyak yang tidak pernah belajar bahwa berita atau informasi yang hendak disebarkan setidaknya diperiksa dulu kebenarannya. Sebagai manusia yang memiliki otak apakah memeriksa itu sulit? Apalagi dijaman google ini?

Apakah keyakinan seseorang mampu menutup intelektualitas? Apakah kebenaran tidak bisa diuji? Maksud saya dengan pengujian adalah sumbernya? Benarkah memang ada di kitab suci? Benarkah memang itu pengertiannya? Setidaknya ada niat untuk memastikan bahwa informasi itu memiliki rujukan dan sebagai penyebar berita kita ikut memeriksanya terlebih dahulu.

Apa yang didapat dari ikut serta menyebarkan berita yang tidak bisa diverifikasi seperti itu? Apalagi diikuti dengan komentar pribadi?

Bila kita menyebarkan berita yang tidak benar atau berita yang dipelintir sedemikian rupa, apalagi menyangkut hal religi seperti kiamat dan soal kebenaran lainnya dengan niat pembenaran sendiri ke hadapan publik, apa yang bisa kita harapkan?

Bisa jadi lebih banyak yang negatif, seperti:

- Orang akan menertawai kelatahan dan kebodohan kita yang tidak memeriksa terlebih dahulu

- Kita sendiri akan semakin terbiasa tidak peka, tidak empati dengan lingkungan dan lebih sibuk dengan narsis diri di media social atau lebih parah, lebih suka sembunyi dibalik wall facebook kita misalnya dibanding berbicara langsung didepan publik

- Kita tidak akan bisa mengkalkulasi efek buruknya bagi orang lain yang tidak setuju, tidak suka atau berbeda pandangan

 

Penutup

Sulit memang membayangkan bahwa banyak netter sekarang ini bisa lebih bertanggung jawab dan menggunakan nalarnya dibanding keyakinan yang didasari kebencian tanpa dasar untuk berani memeriksa setiap informasi yang akan disebar. Jaduh lebih mudah memuaskan keinginan diri dengan membantu berita yang cenderung berisi pembenaran individu atau kelompok dan menyatakan bahwa hal itu adalah kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Padahal sejatinya, banyak yang tidak paham sama sekali apa yang dibaca, disebarkan atau kemungkinan dampaknya. Mudahnya mengklik link "SHARE" dibanding berpikir dengan sedikit mendalam dan narsisnya diri kita ketika melihat jumlah like di postingan pastilah sulit dielakkan.

Di era teknologi saat ini, saya melihat trend konfirmasi sudah jauh menipis. Efek globalisasi dan kemajuan lebih menguntungkan hal-hal absurd dan negatif seperti kiamat dan kebencian.  Belum lagi kebiasaan publik internet Indonesia yang selalu demen dengan cocokologi. Sungguh bangsa kita suka dengan budaya lisan dan gosip namun esensinya kurang menurut saya. Sayang sekali akrabnya kita dengan teknologi dan internet tidak terlalu banyak mengubah pola pikir kita sebenarnya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun