Komite Nobel Norwegia pada tahun ini memutuskan memberikan hadiah Nobel Perdamaian kepada dua jurnalis: Maria Ressa dari Filipina dan Dmitry A. Muratov dari Russia. Keduanya adalah pemimpin redaksi dan pendiri media independen di negaranya masing-masing.
Kedua jurnalis ini dianugerahi nobel perdamaian karena "keberanian untuk memperjuangan kebebasan berekspresi, yang merupakan prasyarat bagi demokrasi dan perdamaian abadi."
"Mereka adalah perwakilan dari semua jurnalis yang membela cita-cita ini di dunia di mana demokrasi dan kebebasan pers menghadapi kondisi yang semakin buruk," kata komite itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis setelah pengumuman di Oslo, Jumat (8/10/2021).
Maria Ressa adalah Pendiri dan Pemimpin Redaksi Rappler. Dulu media ini punya edisi bahasa Indonesia dan sempat meramaikan jagat media di sini. Ressa juga dinobatkan sebagai Person of the Year majalah Time pada tahun 2018 atas kerja kerasnya melawan disinformasi -- yang telah menjadi duri di pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte. Sayangnya, ijin Rappler kemudian dicabut pada awal 2018.
Penyebabnya tidak lain adalah karena Rappler dengan berani mengungkap korupsi di pemerintahan dan kempemilikan modal serta potensi konflik kepentingan sejumlah tokoh politik terkemuka di negara itu. Dia juga membuka kebobrokan "perang melawan narkoba" yang dilancarkan oleh Presiden Duterte. Perang ini memakan kira-kira 30,000 nyawa dan korban-korbannya adalah rakyat kecil yang tidak bisa membela diri.
"Jumlah kematian sangat tinggi sehingga kampanye itu menyerupai perang yang dilancarkan terhadap penduduk negara itu sendiri," kata komite itu.
"Maria Ressa dan Rappler juga telah mendokumentasikan bagaimana media sosial digunakan untuk menyebarkan berita palsu, memfitnah lawan politik, dan memanipulasi opini publik."
Maria Ressa adalah wanita ke-18 yang memenangkan anugerah Nobel Perdamaian dalam 120 tahun sejarahnya. Berbicara di platform Facebook Live Rappler, Ressa mengatakan dia berharap penghargaan itu adalah "pengakuan betapa sulitnya menjadi jurnalis saat ini."
"Ini untukmu, Rappler," katanya. Ia menambahkan bahwa dia berharap "ini jadi energi bagi kita semua untuk melanjutkan pertempuran demi fakta."
Media ini sesungguhnya didirikan oleh Mikhail Gorbachev, Presiden terakhir Uni Sovyet. Modal untuk mendirikan Novaya Gazeta berasal hadial Nobel Perdamaian yang diterima Gorbachev pada tahun 1990.
Sementara Dmitri A. Muratov adalah salah satu pendiri surat kabar independen Novaya Gazeta pada tahun 1993. Dmitri Muratov telah menjadi pemimpin redaksinya sejak tahun 1995.Sejak didirikan, enam jurnalis Novaya Gazeta telah terbunuh. Semua ini berkaitan dengan laporan yang mereka tulis. Tidak terhitung ancaman, pelecehan, dan intimidasi yang mereka terima. Namun media ini tetap berusaha tegak memberitakan apa yang harus diberitakan dan membuat penguasa bertanggungjawab atas apa yang mereka lakukan.
"Meskipun pembunuhan dan ancaman, pemimpin redaksi Muratov telah menolak untuk meninggalkan kebijakan independen surat kabar itu," tulis komite itu.
"Dia secara konsisten membela hak jurnalis untuk menulis apa pun yang mereka inginkan tentang apa yang rakyat inginkan, selama mereka mematuhi standar profesional dan etika jurnalisme."
Kelompok opisis Rusia berharap bahwa hadiah itu akan diberikan kepada Aleksei A. Navalny, pemimpin oposisi yang saat ini dipenjara. Namun Muratov mengatakan hadiah itu sebagai kejutan - dan bahwa dia juga akan memberikannya kepada Navalny.
Muratov mengatakan akan menyumbangkan sebagian dari hadiah itu untuk memerangi atrofi otot tulang belakang, yang telah lama dia kampanyekan, dan untuk mendukung jurnalisme melawan tekanan dari penguasa Rusia.
"Perang melawan media bukanlah perang melawan media itu sendiri," kata Muratov dalam wawancara radio pada hari Jumat (8/10). "Ini adalah perang melawan rakyat."
Tahun ini untuk ketiga kalinya dalam 120 tahun sejarah penghargaan ini, nobel diberikan kepada jurnalis atas kontribusinya untuk tujuan perdamaian. Ernesto Moneta, editor surat kabar dan pemimpin gerakan perdamaian Italia, menang pada tahun 1907. Dan Carl von Ossietzky, seorang jurnalis Jerman, pasifis dan penentang Nazisme, yang dipenjara oleh Hitler, memenangkan penghargaan ini pada tahun 1935.Â
Anugerah untuk Ressa dan Muratov layak disebut sebagai anugerah kepada jurnalisme itu sendiri. Kita tahu bahwa dalam jaman sekarang ini sangat sulit menjadi jurnalis. Ada banyak orang yang berprofesi sebagai "wartawan" namun tidak semua wartawan mengerti jurnalisme dan mampu menghidupi profesinya dalam standar sebagai jurnalis.
Selain itu, di hari-hari ini pekerjaan sebagai jurnalis mengalami 'defisit kepercayaan' (trust deficit). Dengan munculnya media-media baru, khususnya sosial media, orang-orang sekarang disodorkan fakta-fakta alternatif (alternate facts) yang memberi tafsiran lain terhadap satu peristiwa.
Tidak mudah untuk mencerna media di jaman seperti ini. Bahkan jika Anda seorang yang bergelut di dunia intelektual sekalipun. Anda selalu diposisikan berada secara relatif terhadap kebenaran. Apa yang Anda yakini benar -- bahkan dibuktikan dengan data-data paling ilmiah sekali pun -- akan mendapat tandingan. Tandingan itu pun sama-sama berupa kajian ilmiah.
Dengan demikian, menjadi pintar saja tidak cukup. Melek huruf digital juga tidak cukup. Informasi dan media sekarang ini menjadi medan perang yang paling sengit.
Para penguasa tahu persis ini dan menggunakannya untuk kepentingan menambah atau mengabadikan kekuasaan mereka. Dan para penguasa ini melakukannya tidak dengan kekerasan masyarakat vs. negara. (*)
Link berita: Journalists Maria Ressa and Dmitri Muratov Win Nobel Peace Prize - The New York Times (nytimes.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H