Mohon tunggu...
Samudra Eka Cipta
Samudra Eka Cipta Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Travel dan Jalan-Jalan

Jadikanlah Setiap Peristiwa Sebagai Guyonan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenang Tengku Hasan Di Tiro, "Sang Proklamator" Gerakan Aceh Merdeka

5 Desember 2020   18:29 Diperbarui: 5 Desember 2020   18:42 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peringatan Milad GAM (Gerakan Aceh Merdeka) berlangsung tepat tiap tanggal 4 Desember, Masyarakat Aceh mengibarkan bendera tersebut selama tiga jam lalu kemudian menurunkan kembali bendera tersebut dan kembali digantikan dengan bendera merah putih. 

Hari Ulang Tahun (HUT) atau Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke-43 tak lagi diperingati dengan upacara bendera bulan bintang di hutan-hutan. Tapi, sebagian mantan kombatan GAM memperingatinya dengan doa bersama di makam Deklarator GAM seperti yang dikutip dari Kumparan.com dengan judul artikel 43 Tahun Lalu, Kisah Tgk Hasan Tiro Deklarasikan Aceh Merdeka pada (4/12/2019).  

Dilansir dari Tempo.co pada (4/12) dengan judul artikel Peringati Ulang Tahun GAM, Eks Kombatan Diminta Ziarah Makam dan Santuni Yatim, dalam artikel tersebut Muzakir Manaf atau Mualem menginstruksi seluruh mantan kombatan GAM agar kegiatan peringatan Milad GAM diisi dengan berziarah para pejuang eks GAM yang telah gugur dan menyantuni para anak yatim utamanya yang menjadi korban perperangan selama masa konflik RI- GAM sepanjang kurun 1976-2006. Saat ini pengibaran bendera GAM sudah tidak lagi dianggap sebagai pidana pasalnya, sudah diatur dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2013. 

Perlu diketahui Qanun adalah sebuah 'Perda Syariah' yang khusus diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Aceh sebagai bentuk 'kompromi' upaya perdamaian diantara keduanya. 

Hasan Tiro diketahui selama masa perjuangannya juga dikenal sebagai seorang penulis beberapa buku diantara bukunya yang ditulis berjudul Aceh Mata Dunia, The Drama of Achehnes History, Catatan Masa Gerliya, Demokrasi Untuk Indonesia, Jum Meudehka Seunurat Njang Gohlom Lheueh Nibak Tengku Hasan Di Tiro, Masa Depan Politik Dunia Melayu, Nasionalisme Indonesia, Perkara & Alasan Acheh Merdeka, terakhir buku, Sumatera Siapa Punya jilid 1 & 2.

Perjuangan GAM dalam catatan sejarah kontemporer tidak terlepas dari peran Hasan Tiro yang merupakan 'pendiri' sekaligus inisiator perjuangan untuk mencapai 'Aceh Merdeka'. 

Dilansri dari Acehnews.id pada (4/12) dengan judul artikel 4 Desember 1976: Perlawanan Hasan Tiro dan Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka, dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Hasan Tiro memilih untuk melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Indonesia karena ingin 'menagih' janji pada Sukarno waktu itu agar wilayah Aceh segera hak-hak warga Aceh terutama berkenaan dengan politik Islam dapat segera diwujudkan karena keterlibatan Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan saat itu dengan mengikuti dan selalu menjadi agen dari pemerintah untuk melakukan perundingan di tingkat internasional. 

Terlebih saat itu pada tanggal 16 Juni 1948 ketika Presdien Sukarno berkunjung ke daerah Kutaraja, ia diberikan pesawat C-47 Dakota atau RI 001 Seulawah oleh Daud Beureuh yang kemudian sosok Daud menjadi musuh Sukarno karena keterlibatannya di Pemberontakan Darul Islam di Aceh. Sebelumnya pada artikel tersebut dijelaskan juga bahwa Hasan Tiro sempat memproklamasikan diri sebagai menteri luar negeri dari Darul Islam.

Alasan Hasan Tiro kemudian mendirikan GAM karena, ia juga mengingat sebuah peristiwa yang dikenal dengan 'pembantaian massal' ketika masih terjadinya konflik dengan DI/TII. 

Peristiwa itu dikenal dengan Pulot Cot Jeumpa, yang mana pada saat itu ratusan warga dibunuh secara membabi buta oleh tentara saa itu karena diduga memiliki keterlibatan dengan DI/TII, meskipun pada akhirnya Daud Beureh pada tahun 1962 sepakat untuk melakukan perdamaian dengan Pemerintah Indonesia dan sejak saat itu juga wilayah Aceh kemudian menjadi status istimewa. 

Hasan Tiro kemudian melakukan respon dengan mengirimkan surat terbuka kepada Ali Sastroamidjojo yang saat itu menjadi Perdana Menteri yang menyaakan bahwa pemerintah sudah bertindak atas Aceh di luar batas kemanusiaan. 

Surat tersebut kemudian disiarkan di beberapa stasiun radio AS dan beberapa media di Indonesia saat itu diantaranya Surat Kabar Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po. Pembentukan GAM tidak terlepas dari peran Tengku Malik Mahmud yang merupakan kawan pergerakan sekalgus politik dari Hasan Tiro. 

Bahkan selama Hasan Tiro menjalani masa pengasingan Tengku Malik lah yang berusaha untuk melakukan lobby politik kepada Pemerinahan Indonesia dan Hasan Tiro pernah berkunjung ke Indonesia secara resmi dan bertemu langsung dengan Presiden Soeharto. 

Hubungan antara Malik Mahmud dan Hasan Tiro semakin erat ketika mereka selalu membahas mengenai politik di Aceh dan nasib rakyatnya kedepannya. Kepulangan Hasan Tiro ke Aceh saat itu ialah dalam rangka bisnis, ia datang ke Indonesia melalui bantuan dari Hadi Thayeb (Tokoh Aceh) dan Ramlan Ramli (Dubes Indonesia untuk AS). 

Meskipun Hasan Tiro sering berkunjung ke Indonesia melalui cara illegal karena sebelumnya Pemerintah Indonesia mencabut status WNI pada dirinya. 

Selama tinggal di AS Hasan Tiro juga pernah ditangkap oleh aparat kepolisian AS karena masalah visa izin tinggal di Amerika, namun ia kemudian sukses hidup di Amerika dan menjalani profesi barunya sebagai pebisnis. Hal itulah juga yang menyebabkan GAM terus mendapatkan bantuan dana yang berasal dari dirinya.

GAM terbentuk pada 4 Desember 1976, ketika Hasan Tiro sedang berada di Pidie. Pasca pendeklarasian GAM, Hasan Tiro kemudian membentuk kabinet yang terdiri dari Muchtar Hasbi, Zaini Abdullah, Husaini Hasan, Zubir Mahmud, Amir Ishak, Tengku Ilyas Leub, Tengku Muhammad Usman Lampoih Awe, Malik Mahmud, Amir Rasyid Mahmud, dan komandan tentara Daud Husin alias Daud Paneuk serta Keuchik Umar.  

Malik Mahmud kemudian ditugaskan untuk menjadi wali Nanggroe di yang bermakas di Singapura dengan terus mengirimkan supplai berupa dana dan persenjataan bagi para geriliyawan GAM dikutip dari Kumparan.com. 

Tidak sampai disitu saja, Hasan Tiro juga mendirikan kamp militer khusus GAM di Libya sebagai 'pasukan cadangan' apabila dibutuhkan para pejuang GAM di Aceh. Selama masa pemberontakan GAM, tercatat ada sebuah peristiwa memilukan bagi masyarakat Aceh yang terjadi di Simpang KKA, di Lhokseumawe pada 3 Mei 1999 yang menewaskan puluhan warga sipil.  

Dikutip dari Serambinews.com dengan judul artikel Mengenang 21 Tahun Tragedi Simpang KKA, Begini Kronologis Versi Catatan Serambi Hingga Rekaman Video pada (3/5) lalu dalam artikel tersebut dijelaskan eristiwa tersebut bermula karena adanya rumor bahwa GAM akan melakukan rapat di Desa Cot Murong, Kabupaten Aceh Utara, salah seorang tentara yakni Sersan Aditia dari Satuan Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) datang ke lokasi tersebut dengan membawa handy talky di tangannya dan menyusup ditengah kerumunan warga. Karena telah dicurigai sersan tersebut kemudian sempat ditangkap oleh massa dan menginterogasinya. 

Puluhan anggota Arhanud sudah mendengar kabar bahwa Sersan Aditia ditahan maka langsung bergegas untuk mencari sersan tesebut dan insidenpun terjadi. Kini peristiwa it uterus dikenang oleh Masyarakat Lhokseumawe sebagai peristiwa berdarah.

Adapun respon dari Hasan Tiro saat itu tentunya marah besar dan lagi-lagi menyatakan sikap perlawanannya terhadap Pemerintah Indonesia. Ketika terjadnya Tsunami Aceh 2004 lalu yang banyak menewaskan warga Banda Aceh maupun Lhokseumawe, GAM terpaksa membuka akses bagi semua pihak tersmasuk diantaranya adalah Pemerintah Indonesia agar membantu dalam pencarian korban di Aceh. Tentunya, ini menjadi jalan dalam menuju perdamaian antara GAM dengan RI. 

Tahun 2006 dua tahun setelah Tsunami Aceh maka tercetuslah Perjanjian Kesepakatan Damai yang diselenggarakan di Helsinki, Finlandia. Udshs perdamaian Aceh uga tdak terlepas dari peran Abdullah Pateh yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Aceh. Tengku Malik Mahmud kemudian langsung pulang di Aceh, sedangkan Hasan Tiro baru pulang dua tahun kemudian tepatnya pada Oktober 2008. 

Sebelum sesampainya di Aceh Hasan Tiro menyampaikan sebuah konferensi pers di Hotel Concorde, Selangor, Malaysia, Minggu 5 Oktober 2008, seminggu sebelum ia kembali ke Aceh. 

Saat konferensi pers tersebut, ia menyatakan bahwa perjanjian damai yang ditanda tangani di Helsinki adalah perjanjian damai yang abadi bagi kedua belah pihak, dikutip dari Suara.com dengan judul artikel Aceh Hari Ini: Hasan Tiro Wafat pada (3/5) lalu. 

Hasan Tiro kemudian wafat  pada 3 Juni 2010, setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin, Banda Aceh. Ribuan pelayat mengantar Hasan Tiro ke tempat peristirahatan terakhirnya, di Gampong Manggra, Indrapuri, Aceh Besar. Beliau dimakamkan tepat di sebelah makam leluhurnya, Pahlawan Nasional dari Aceh, Tgk Thik Di Tiro atau Wali Nanggroe pertama. Padahal, sehari sebelumnya tepatnya tanggal 2 Juni 2010, Hasan Tiro dianugrahi status WNI oleh Pemerintahan SBY kala itu.

Samudra Eka Cipta, (05 Desember 2020)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun