Hari Pahlawan Nasional yang diperingati setiap tanggal 10 November merupakan hari bersejarah yang wajib diperingati terutama bagi kaum milenial. Pasalnya, di masa itu tepatnya Masa Perang Kemerdekaan selama kurun waktu 1945-1950 ketika Belanda hendak melakukan aneksasi kembali wilayah Indonesia para pejuang kemerdekaan baik melalui peperangan maupun melalui diplomasi untuk mencapai kemerdekaan penuh harus dilalui proses yang alot dengan Belanda maupun Sekutu.Â
Upaya perjanjian terus diupayakan diantara kedua belah pihak, namun lag-lagi Belanda kemudian mengingkari kesepakatan yang telah dilakukan oleh kaum republik (sebutan untuk para pejuang diplomasi Indonesia).Â
Bahkan Van Mook yang saat itu baru dilantik untuk menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda ketika Inggris berhasil menaklukkan Jepang yang saat itu ia juga ditugaskan untuk melucuti serta membebaskan para tawanan Jepang.Â
Diawal kedatangannya Van Mook lantas langsung melakukan dialog dengan Soekarno, langkah tersebut kemudian diinilai oleh Sekutu sebagai 'penghinaan' oleh Kerajaan Belanda karena dianggap mendukung kemerdekaan di Indonesia.Â
Van Mook mengadakan perundingan dan pendekatan dengan kaum republik tetapi tidak berhasil. Sebenarnya, upaya yang dilakukan oleh Van Mook telah berhasil yakni dengan membentuk negara 'boneka' sebagai contoh di Jawa Barat, Van Mook yang kemudian membujuk Soeria Kertalegawa seorang mantan Bupati Garut untuk mendirikan Negara Pasundan yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).Â
Namun tindakan yang dilakukan oleh Soeria Kertalegawa dan Van Mook tidak seukai oleh tokoh-tokoh menak Sunda (atau Bangsawan Sunda) yang pro terhadap Republik Indonesia seperti Raden Aria Wiranata Kusumah  sehingga Negara Pasundan berhasil ditaklukkan oleh republik karena perananya. Â
Terlebih seperti yang dikutip dari sebuah artikel tirto.id  yang berjudul Soeria Kartalegawa, Menak Sunda di Pusaran Masa Peralihan, Soeria Kertalegawa seperti yang digambarkan oleh Van Der Plas seorang sejarawan Belanda menyebutnya sebagai koruptor.Â
Pada tahun 1947 ia memerintahkan aksi militer ke daerah republik. Ia lebih cenderung mengucilkan daerah kekuasaan Republik Indonesia dan membentuk negara federasi di luar daerah ini.Â
Pada tahun 1948 ia mengajukan pengunduran dirinya dari jabatannya, setelah ia dipaksa membentuk pemerintah federal termasuk daerah republik. Sehingga ketika terjadinya perundingan KMB yang juga merupakan perundingan terakhir dengan Belanda seorang diplomat asal Indonesia seperti Agus Salim dan Charles Tambu selalu mendesak agar segera mengakui Kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan, dalam bidang militer para pahlawanan nasional yang bergerak dalam bidang perperangan, dengan mengandalkan pengalaman baik di KNIL maupun PETA kemudian mendirikan BKR (Barisan Rakyat) yang kemudian menjadi TKR hingga TNI. Bersama Jendral Sudirman selama perang Kemerdekaan Indonesia untuk mengikuti teknik cara begeriliya.Â
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Kahin yang berjudul Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Taktik yang dilakukan oleh Jendral Sudirman berserta pengikutnya tidak pernah diajarkan sebelumnya ketika mengikuti masa pendidikan di PETA, begitupun dengan Jendral Abdul Haris Nasution yang saat itu menjabat sebagai Panglima KODAM III Divisi Siliwangi juga tak mengalami hal demikian ketika menjadi komandan di KNIL Taktik itu juga yang kemudian diikuti oleh Nasution untuk menghindari dari kejaran Belanda Sekutu.Â
Ada hal yang menarik dari cerita perjalanan yang dilakukan oleh Abdul Haris Nasution ketika melakukan hijrah ke wilayah Yogyakarta, karena memang saat itu seluruh wilayah Jawa termasuk Batavia kala itu sudah dikuasai oleh Sekutu berkat usaha Van Mook dalam memperkecil pengaruh tokoh republik di Indonesia  Jendral Nasution dalam sebuah video youtube yang berjudul Jendral Nasution Bercerita Tentang Agresi Militer I diunggah oleh akun youtube Maulana bin Nawawi, dalam video tersebut Nasution diwawancarai oleh salah satu wartawan asal Belanda yang dilakukan di rumahnya sekitar tahun 1970an.Â
Dalam wawancara tersebut Jendral Nasution menceritakan pengalamannya saat perjalanan dari Garut menuju Tasikmalaya yang mana berdasarkan kesaksiannya Jendral Nasution ketika Pesawat Tempur milik Sekutu menggempur wilayah sepanjang Garut-Tasikmalaya untuk menghancurkan sekaligus membunuh Jendral Nasution bersama dengan pasukannya.Â
Ia kemudian melompat kemudian berlindung diantara semak dan pepohonan agar terhindar dari serangan tersebut. Ketika sudah sampai di daerah Mangunreja Tasikmalaya ternyata akses jembatan yang menghubungkan ke Kota Tasikmalaya sudah terlebih dahulu dihancurkan oleh Sekutu sehingga Pak Nas (sapaan akrabnya) pergi ke daerah pegunungan dan kemudian menyusun strategi geriliyanya untuk sampai di Yogyakarta.Â
Taktik inilah yang kemudian ditakutkan oleh Belanda karena para pejuang republik menggunakan pendeketan 'menyergap lalu menyerang'. Sehingga para pejuang Kemerekaan Indonesia selama prosesnya selalu mengalami nasib pasang surut dalam upayanya untuk mencapai Kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana Cara Kaum Millenial Dalam Memaknai Hari Pahlawan?
Memperingati Hari Pahlawan bagi Kaum Millenial tidak harus selalu melulu diperingati melalui upacara-upacara. Terlebih di Masa Pandemi saat ini tidak dianjurkan untuk mengumpulkan massa.Â
Namun, terdapat beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk memperingati hari tersebut diantaranya adalah dengan membuat suatu karya berdasarkan minat, hobi, serta kemampuan.
Seperti dengan cara menulis, karena menulis selain hanya untuk kepentingan publikasi, menulis juga dapat dijadikan sebagai 'senjata' dalam menuangkan gagasan serta pemikirannya sehingga para pembaca dapat mengerti pesan yang disampaikan oleh penulis. Â
Hal  tersebut, diawali dengan sebuah kritikan yang ditulis oleh Multatuli atau Edward Douwes Dekker dan Surjadi Surjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara menuliskan sebuah tulisan yang berjudul Max Havelaar dan Als Ik Nderlander Was yang kemudian sempat dilarang peredarannya oleh Pemerintah Kolonial karena dianggap berbabahaya bagi kepentingannya.Â
Namun, perjuangan para tokoh perjuangan dalam mencapai 'Indonesia Merdeka' juga dilakukan oleh para tokoh Pergerakan Nasional, seperti Tirto Adhi Soerjo, Raden Mas Marco Kartodikromo, dan Lim Koen Hian seorang keturunan Tionghoa yang mendirikan Surat Kabar Sin Tit Po telah menjadikan koran sebagai bahan perjuangan untuk melawan kolonial.Â
Tirto Adhi Soerjo yang merupakan pendiri dari Surat Kabar Medan Priaji selalu memperjuangkan maupun mempropagandakan persamaan antara kaum Eropa maupun Inlander (sebutan orang Belanda untuk Orang Indonesia saat itu). Namun, bahasa yang dipergunakannya adalah dengan menggunakan bahasa yang alus sehingga tidak menyinggung kolonial.Â
Berbeda halnya, dengan saudaranya yakni Mas Marco Kartodikromo melalui surat kabar Saro Tomo and Doenia Bergerak yang dianggap mengganggu kepentingan kolonial saat itu karena surat kabar yang dikelolanya cenderung agresif bahkan bahasa yang dipergunakan selalu melalui cara sarkasme hingga penghinaan terhadap Orang Eropa maupun Kebijakan Kolonial hingga akhirnya ia ditangkap lal diasingkan hingga meninggal di Boeven Digul (sebuah daerah di Papua Barat).Â
Selain itu menulis juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mempersatukan sesama sebagai bentuk rasa persatuan dan nasionalisme sebagai Bangsa Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Lim Koen Hian melalui Surat Kabar Sin Tit Po yang berusaha untuk menyatukan kaum Tionghoa Peranakan maupun Totok, ia juga menggandeng Abdurahman Baswedan seorang nasionalis Keturunan Arab di Indonesia untuk bersama-sama menyatukan elemen seluruh Bangsa Indonesia tanpa memandang ras seperti yang dikutip dari https://majalah.tempo.co dengan judul artikel Belajar dari Liem, Baswedan, dan Sin Tit Po.
Sedangkan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia periode 1945-1950 pers juga menjadi sarana untuk mempropagandakan baik kalangan diplomat maupun kalangan militer.Â
Seperti yang dikutip dari artikel yang berjudul Dari Bandung ke Tasikmalaya: Surat Kabar Soeara Merdeka pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-1947 bahwa dalam Surat Kabar Soeara Merdeka selalu memberikan kritik terhadap pengaruh kekuasaan Tentara Sekutu ketika menguasai wilayah Pasundan dengan cara-cara yang elegan, rasional, dan dibawakan dengan cara yang santai.Â
Berbeda halnya, dengan Surat Kabar Kedaulatan Rakjat  yang ditulis oleh para jurnalis pro republik ketika wilayah Yogyakarta yang saat itu merupakan basis terakhir dari kekuatan kelompok republik sempat ingin dikuasai oleh pihak Belanda setelah melanggar batas garis 'Van Mook'.Â
Maka terjadilah peristiwa yang dikenal sebagai Serangan Umum Satu Maret 1949, Koran Kedaulatan Rakjat  yang saat itu juga melakukan peliputan disaat perperangan.Â
Terlebih dengan adanya sikap Sri Sultan HB IX yang mendukung penuh kemerdekaan Indonesia sehingga posisi Indonesia dan Koran Kedaulatan Rakjat tetap eksis hingga pasca peristiwa tersebut.
Tidak Harus Menulis Untuk Memperingati Hari Pahlawan
Memaknai Hari Pahlawan juga melalui kegiatan positif  diantaranya dengan menggunakan media sosial serta youtube sebagai sarana dalam menunjukkan seni dan kreasi yang dihasilkan.Â
Generasi muda dapat melakukan beberapa kegiatan seperti menyanyi, membuat vlog, membuat gambar, Â musikalisasi puisi maupun meransemen lagu, hingga bermain game bahkan bermain Tiktok sekalipun yang tentunya bertemakan dengan Hari Pahlawan.Â
Terlebih sekarang adalah eranya digital yang artinya digitalisasi sudah menjadi bagian dari budaya kita. Tentunya setiap individu memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam menunagkan gagasan dan idenya yang mana jika kita mengunggah sebuah konten pasti langsung dibaca seringkali viral karena begitu cepat arus informasi yang diterimanya.Â
Maka dari itu, Hari Pahlawanan harus betul-betul dimaknai oleh generasi milenial jangan sampai kita melupakan jasa para pahlawan yang telah mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan negeri ini namun tidak diapresiasi oleh generasi selanjutnya.Â
Pada artikel ini penulis lebih banyak menjelaskan tentang sisi sejarah terkait dengan peranan pers dalam upaya mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia karena penulis memiliki hobi menulis sehingga apa yang ingin disampaikan oleh penulis tertuang pada tulisan ini sehingga bias dijadikan contoh pada generasi muda sekaligus sebagai alternatif dalam mempunyai hobi menulis .
Samudra Eka Cipta (09 November 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H