Mohon tunggu...
Samudra Eka Cipta
Samudra Eka Cipta Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Travel dan Jalan-Jalan

Jadikanlah Setiap Peristiwa Sebagai Guyonan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ardhito Pramono dan Budiman Sudjatmiko soal Omnibus Law

8 November 2020   19:39 Diperbarui: 8 November 2020   20:05 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diolah dari suara.com/ Twitter Ardhito Pramono @ardhitoprmn

Nama Ardhito Pramono dan Budiman Sudjatmiko memang sudah tidak asing bagi kalangan milenial, namun siapa sangka banyak warga net yang mengatakan hingga mengamini bahwa Ardhito Pramono memanglah mirip dengan Budiman Sudjatmiko.

Menanggapi candaan netizen tersebut, lantas Ardhito pun mengakui jika ia memang betul mirip dengannya. Ardhito kemudian membuat meme yang sebenarnya untuk mempromosikan lagunya di spotify dengan menempelkan gambar Budiman Sudjatmiko pada saat mengikuti persidangan karena dianggap sebagai upaya makar terhadap Pemerintah Orde Baru saat itu.

Namun, yang menariknya cuitan Twitter yang dilakukan oleh Ardhito kemudian dibalas oleh Budiman Sudjatmiko dengan mengatakan ‘’mari kita cerita tentang Indonesia hari ini..’’ dikutip dari suara.com. Komentar yang telah disampaikan oleh Budiman Sudjatmiko tersebut merupakan sebuah kalimat yang meplesetkan judul film yang dibintangi oleh Ardhito Pramono yakni Mari Kita Cerita Tentang Hari Ini.

Kemudian banyak warga net yang mentweet dari Budiman Sudjatmiko namun, banyak juga yang menyindir tweet tersebut seperti yang dilakukan oleh akun @jackjackparr seperti yang dikutip dari situs energibangsa.id dengan tweetan:

‘’Anda dulu seorang aktivis terlihat sadis di atas morat-maritnya krisis, kenapa sekarang diam tak bertaji, apa Anda sudah pro dengan semua komedi korupsi. Ah sudahlah demokrasi tak berarti bumi pertiwi menangis lagi.” Sehingga menurut asumsi penulis apa yang dilakukan oleh Budiman terkait dengan tweetnya Ardhito tidak selalu mendapatkan respon yang positif dari para warga net.

SEKILAS MENGENAI SOSOK ARDHITO PRAMONO DAN BUDIMAN SUDJATMIKO

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa kedua sosok tersebut nbaik Ardhito maupun Budiman memiliki latar belakang yang berbeda. Ardhito yang merupakan musisi sedangkan Budiman seorang politkus tentunya memiliki orientasi yang berbeda.

Ardhito pertama kali tampil di dunia music pada tahun 2013 lalu ketika ia banyak mencover lagu-lagu barat seperti lagunya AJ Rafiel yang berjudul She Was Mine yang kemudian diupload di aplikasi digital Soundcloud dan Myspace sebelum terjun ke dunia Youtube.

Kecintaan Ardhito Pramono terhadap musik sudah dirasakan sejak kecil, meskipun orang tua dari Ardhito merupakan seorang pengusaha yang mana sempat ditugaskan untuk meneruskan usaha milik orang tuanya namun darah musik yang dimiliki oleh Ardhito terus tumbuh dan berkembang hingga akhirnya menjadi seorang musisi dengan musik aliran jazz yang dikembangkannya.

Lagu pertamanya berjudul 'I Placed My Heart', kemudian disusul dengan lagu 'What Do You Feel About Me'. Lagu kedua menjadi salah satu lagu yang paling banyak ditonton.

Kemudian di tahun 2018 Ardhito merilis sebuah lagu yang berjudul Bitterlove, lagu tersebut sudah memiliki penonton youtube sebesar 19 juta kali penonton dan di spotify sebanyak 45 juta orang pendengar lagu inilah yang membuat nama Ardhito semakin banyak dikenal orang. Kini Ardhito Pramono merilis single terbaru yang berjudul 'Sudah' untuk soundtrack film 'Sotry of Kale'

Sedangkan karier awal Budiman Sudjatmiko berawal dari aktifitas dirinya sepanjang masa Orde Baru. Sebelum namanya dikenal, dan ketika ia masih menjadi mahasiswa di UGM Budiman selalu memimpin perlawanannya secara geriliya terhadap masalah perkebunan bersama para petani, buruh dan nelayan di Jawa Tengah.

Budiman juga dikenal oleh mahasiswa UGM saat itu sebagai organisator komunitas selama empat tahun dan bertugas untuk melakukan pemberdayaan politik, organnisasi, dan ekonomi di kalangan masyarakat bawah. Nama Budiman kemudian semakin dikenal ketika ia mendeklarasikan pembentukan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada tahun 1996.

Partai tesebut kemudian langsung dibekukan oleh Orde Baru karena dimasa itu hanya ada tiga partai yang boleh berdiri yakni PDI, Golkar, dan PPP. Terlebih, tanggal 22 Juli 1996  sebelum terjadinya peristiwa 27 Juli PRD mengeluarkan manifesto perlawanan terhadap Orde Baru. 

Akibatnya, Budiman bersama para tokoh PRD lainnya kemudian ditangkap dan dijatuhi vonis 13 tahun di LP Cipinang karena dianggap sebagai orang yang paling berbahaya dalam melawan pengaruh kekuasaan Orde Baru. Hingga pada akhirnya Budiman terpaksa harus ‘drop out’ dari kampusnya karena aktifitas politik yang dilakukanya.

Selama mengikuti persidangannya sosok Budiman kala itu selalu menunjukkan sikap perlawanannya bahkan terhadap jaksa penuntut hingga membuatnya marah terhadap Budiman karena dianggap tidak sopan kepada sang jaksa itu. Budiman bersama beberapa kawannya kemudian melakukan kampanye untuk aksi 'boycott' pada pemilu 1997 lalu.

Budiman kemudian membubarkan PRD dan bergabung dengan PDI Perjuangan, alasan ia bergabung dengan PDIP karena memiliki kesamaan ideologi yakni membela rakyat kecil seperti yang dikutip dari situs artikel tirto.id.

Selama, di PDIP Budiman membentuk Relawan Perjuangan Demokrasi dan langsung dipercayai untuk menjadi Ketua Departemen Pemuda PDI Perjuangan. Karena dianggap sebagai orang yang berjasa di PDIP, Budiman akhirnya bisa melanjutkan kembali pendikanya ke luar negeri yakni University of London School of Oriental and African Studies hingga mendapatkan gelar doktoralnya. Setelah sekembalinya dari luar negeri untuk belajar, kemudian Budiman pada tahun 2009 mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR.

Popularitas Budiman seakan tak pernah surut di kalangan komunitasnya hingga akhirnya terpilih menjadi anggota dewan. Selama menjadi anggota dewan Budiman ditugaskan di Komisi II DPR RI untuk membidangi tugas pemerintahan dalam negeri, birokrasi, hingga masalah agraria. Kemudian pada April 2019 Budiman dipercaya untuk menjadi relawan Jokowi-Maaruf.

TANGGAPAN ARDHITO DAN BUDIMAN SOAL OMNIBUS LAW

Pada September lalu sebelum disahkannya UU Cipta Kerja, publik dikejutkan dengan sebuah video yang memperlihatkan Ardhito Pramono bersama dengan para influenser lain seperti Gofar Hilman diminta oleh salah satu sebut saja agen ‘buzzer’ pemerintah untuk membuat dan kemudian menggugah sebuah video tentang dukungan RUU Omnibus Law di akun instagram miliknya.

Ia kemudian mengaku dibayar untuk mengkampanyekan tagar #IndonesiaButuhKerja, namun sebelumnya Ardhito sempat briefing dengan pihak yang dimaksud tersebut apakah ada keterkaitannya dengan politik saat ini atau tidak. Sontak, atas unggahan tersebut menuai kritik dan Ardhito kemudian meresponnya di twitter dan akun pribadi instagramnya.

Melalui akun twitter yang diunggah pada tanggal 14 Agustus lalu, Ardhito kemudian meminta maaf khususnya para mahasiswa dan buruh yang telah memperjuangkan untuk meonlak UU tersebut meskipun pada akhirnya tetap disahkan juga melalui siding DPR pada September lalu. 

Ardhito merasa dirinya dijebak oleh salah satu agen ‘buzzer’ tersebut dan mengakui kalau ia tidak mengakui UU tersebut sepenuhnya seperti yang dikutip dari artikel Tempo.com yang berjudul Omnibus Law, Ardhito Pramono: Mohon Maaf ke Mereka yang Berjuang Menolak RUU Ini. 

Namun, poin penting yang ingin disampaikan bahwa meskipun ketidaktahuan Ardhito soal politik dan masalah UU yang dianggap tidak pro terhadap rakyat, Ardhito bahwa dirinya akan terus membantu pihak-pihak yang menolak UU tersebut, yang sekaligus menegaskan bahwa Ardhito menolak dengan tegas RUU Ciptakerja hingga disahkannya menjadi UU.

Berbeda halnya dengan Budiman, nampaknya masih setengah hati untuk menolak dari UU tersebut. Dikutip dari situs voi.id artikel yang berjudul Politikus PDIP Budiman Nilai UU Cipta Kerja Ada yang Mengecewakan, Tapi Harus Dilihat Objektif, Budiman mengatakan bahwa DPR telah gagal dalam melakukan komunikasi pada rakyat terkait UU tersebut yang seakan-akan selalu mementingkan sisi investasi pada pengusaha dan kolongmerat. DPR juga tidak menyebutkan sisi koperasi, UMKM, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang berbasis pada perekonomian rakyat.

Budiman juga menyoroti pon-poin yang dianggap merugikan, namun Budiman malah mengajak masyarakat untuk bersikap objektif terhadap UU tersebut. Masyarakat sendiri sebenarnya sudah objektif dan tahu bahwa UU tersebut banyak menimbulkan sisi negatif bagi masyarakat.

Jikalau memang betul jika UU Cipta Kerja dapat memberikan dampak positif khususnya bagi buruh bakalan tidak mungkin aksi serangkaian demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat yang terjadi pada Bulan Oktober lalu. UU Ciptakerja seharusnya diganti dengan Peraturan Pemerintah terkait dengan penyediaan lapangan kerja namun tidak merugikan bagi masyarakat bawah.

Namun kenyataanya pemerintah ‘keukeuh’ dengan pendiriannya untuk tetap mensahkan menjadi UU. Penolakan terus berjadi mulai dari aksi demonstrasi hingga mengajukan penolakan ke Mahkahmah Konstitusi sebagai upaya terakhir yang dilakukan oleh Mahasiswa dan Kaum Buruh dalam menolak UU tersebut.

Padahal sebenarnya, DPR pada setahun lalu mengundang perwakilan mahasiswa untuk menyampaikan gugatan RUU tersebut ke gedung dewan yang sepertinya hanya untuk meredam marah para demonstran dan buruh terkait UU tersebut. Sehingga apa yang disampaikan oleh Rocky Gerung melalui kanal youtube pribadinya bahwa pemerintah sekarang telah melakukan otoriterisme melalui supremasi kebijakannya. 

Bedanya dengan jaman Orde Baru yang melalui supremasi kekuasaan sehingga ketika ada masyarakat yang membicarakan seputar rezim langsung ditangkap tanpa diadili secara hukum sedangkan untuk sekarang masyarakat dapat berbicara namun telah dibungkam secara hokum melalui ancaman pidana UU ITE.

Kembali, ke soal Budiman terkait dengan UU Ciptakerja penulis tidak akan melihat darimana background seorang Budiman Sudjatmiko namun seharusnya sebagai seorang aktifis jika memang ada suatu kebijakan yang dianggap tidak pro terhadap rakyat dan hanya menguntungkan pihak pengusaha seorang Budiman alangkah baiknya tetap berada pada idealismenya sebagai ‘pejuang kelas bawah’.

Dengan hal itu, posisi Budiman sebagai seorang mantan aktifis terus menyampaikan suara-suara kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat dan bagian dari freedom of speech atau kebebasan berpendapat. Maka sekaligus menjadi opini penulis terkait dengan sikap Ardhito dan Budiman yang dianggap oleh netizen mirip paras mukanya namun berbeda sikap dalam menyikapi soal Omnibus Law.

Samudra Eka Cipta (08 November 2020)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun