Melalui akun twitter yang diunggah pada tanggal 14 Agustus lalu, Ardhito kemudian meminta maaf khususnya para mahasiswa dan buruh yang telah memperjuangkan untuk meonlak UU tersebut meskipun pada akhirnya tetap disahkan juga melalui siding DPR pada September lalu.Â
Ardhito merasa dirinya dijebak oleh salah satu agen ‘buzzer’ tersebut dan mengakui kalau ia tidak mengakui UU tersebut sepenuhnya seperti yang dikutip dari artikel Tempo.com yang berjudul Omnibus Law, Ardhito Pramono: Mohon Maaf ke Mereka yang Berjuang Menolak RUU Ini.Â
Namun, poin penting yang ingin disampaikan bahwa meskipun ketidaktahuan Ardhito soal politik dan masalah UU yang dianggap tidak pro terhadap rakyat, Ardhito bahwa dirinya akan terus membantu pihak-pihak yang menolak UU tersebut, yang sekaligus menegaskan bahwa Ardhito menolak dengan tegas RUU Ciptakerja hingga disahkannya menjadi UU.
Berbeda halnya dengan Budiman, nampaknya masih setengah hati untuk menolak dari UU tersebut. Dikutip dari situs voi.id artikel yang berjudul Politikus PDIP Budiman Nilai UU Cipta Kerja Ada yang Mengecewakan, Tapi Harus Dilihat Objektif, Budiman mengatakan bahwa DPR telah gagal dalam melakukan komunikasi pada rakyat terkait UU tersebut yang seakan-akan selalu mementingkan sisi investasi pada pengusaha dan kolongmerat. DPR juga tidak menyebutkan sisi koperasi, UMKM, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang berbasis pada perekonomian rakyat.
Budiman juga menyoroti pon-poin yang dianggap merugikan, namun Budiman malah mengajak masyarakat untuk bersikap objektif terhadap UU tersebut. Masyarakat sendiri sebenarnya sudah objektif dan tahu bahwa UU tersebut banyak menimbulkan sisi negatif bagi masyarakat.
Jikalau memang betul jika UU Cipta Kerja dapat memberikan dampak positif khususnya bagi buruh bakalan tidak mungkin aksi serangkaian demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat yang terjadi pada Bulan Oktober lalu. UU Ciptakerja seharusnya diganti dengan Peraturan Pemerintah terkait dengan penyediaan lapangan kerja namun tidak merugikan bagi masyarakat bawah.
Namun kenyataanya pemerintah ‘keukeuh’ dengan pendiriannya untuk tetap mensahkan menjadi UU. Penolakan terus berjadi mulai dari aksi demonstrasi hingga mengajukan penolakan ke Mahkahmah Konstitusi sebagai upaya terakhir yang dilakukan oleh Mahasiswa dan Kaum Buruh dalam menolak UU tersebut.
Padahal sebenarnya, DPR pada setahun lalu mengundang perwakilan mahasiswa untuk menyampaikan gugatan RUU tersebut ke gedung dewan yang sepertinya hanya untuk meredam marah para demonstran dan buruh terkait UU tersebut. Sehingga apa yang disampaikan oleh Rocky Gerung melalui kanal youtube pribadinya bahwa pemerintah sekarang telah melakukan otoriterisme melalui supremasi kebijakannya.Â
Bedanya dengan jaman Orde Baru yang melalui supremasi kekuasaan sehingga ketika ada masyarakat yang membicarakan seputar rezim langsung ditangkap tanpa diadili secara hukum sedangkan untuk sekarang masyarakat dapat berbicara namun telah dibungkam secara hokum melalui ancaman pidana UU ITE.
Kembali, ke soal Budiman terkait dengan UU Ciptakerja penulis tidak akan melihat darimana background seorang Budiman Sudjatmiko namun seharusnya sebagai seorang aktifis jika memang ada suatu kebijakan yang dianggap tidak pro terhadap rakyat dan hanya menguntungkan pihak pengusaha seorang Budiman alangkah baiknya tetap berada pada idealismenya sebagai ‘pejuang kelas bawah’.
Dengan hal itu, posisi Budiman sebagai seorang mantan aktifis terus menyampaikan suara-suara kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat dan bagian dari freedom of speech atau kebebasan berpendapat. Maka sekaligus menjadi opini penulis terkait dengan sikap Ardhito dan Budiman yang dianggap oleh netizen mirip paras mukanya namun berbeda sikap dalam menyikapi soal Omnibus Law.