Mohon tunggu...
Samudra Eka Cipta
Samudra Eka Cipta Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Travel dan Jalan-Jalan

Jadikanlah Setiap Peristiwa Sebagai Guyonan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Biden Menang, Bagaimana Nasib Palestina?

6 November 2020   22:12 Diperbarui: 9 November 2020   06:31 3882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kandidat calon presiden Partai Demokrat, Joe Biden.(AFP / SAUL LOEB via KOMPAS.com))

Pemilu AS yang berlangsung tanggal 3 November lalu, telah memberikan warna baru dalam sistem demokrasi di Amerika Serikat. Kedua, partai tersebut baik demokrat maupun republican sama-sama mengklaim telah memenangi pemilihan presiden AS. Namun, proses perhitungan suara antara Joe Biden dengan Trump masih belum usai. 

Kedua kandidat tersebut hanya selisih sekian persen. Berdasarkan data yang dikutip oleh CNBC Indonesia seperti yang dilansir oleh AP pada Jumat ini menyebutkan bahwa hingga saat ini beberapa negara-negara bagian yang masih menghitung jumlah perolehan suara diantaranya Nevada, Georgia, North Carolina, dan Pennsylvania. 

Namun, yang menarik dari pemilihan AS adalah jumlah pemilih Muslim meningkat total ada sekitar 69% dari keseluruhan jumlah populasi Muslim AS sedangkan 17% Muslim lainnya memilih Trump seperti yang dikutip oleh Media Indonesia.

Mayoritas pemilih Muslim memilih Joe Biden ketimbang Trump, padahal sebelumnya pemilih Muslim ketika itu memilih Trump. Ada beberapa poin mengapa Umat Islam Amerika saat ini lebih memilih Joe Biden ketimbang Trump?

KEBIJAKAN KONTROVERSIAL TRUMP TERHADAP UMAT MUSLIM

Pertama, pada awal Maret tahun 2017 lalu, Trump melakukan kebijakan yang dianggap kontroversial terkait dengan pelarangan kaum migran di AS sontak, kebijakan ini dianggap sebagai upaya tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh Trump.

Trump berdalih saat itu diberlakukannya kebijakan tersebut agar tidak membebani tunjangan warga negara karena perlu diketahui bahwa kebanyakan para migran sering kali mengalami kesulitan terkait regulasi dalam bekerja di AS. 

Tentunya, kebijakan tersebut berdampak pada Umat Muslim di AS karena kebanyakan imigran yang datang ke Amerika adalah mayoritas negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar, tak ketercuali dengan Indonesia.

Namun, dampak kebijakan tersebut juga dialami oleh negara tetangganya Meksiko yang merupakan migran terbanyak di AS dari sekian migran yang ada. Selain, karena dekat para migran asal Meksiko juga mendapatkan perlakuan yang sama terkait dengan kebijakan tersebut.

Kedua, disaat yang bersamaan kebijakan Trump yakni menolak perpanjangan visa bagi 7 negara diantaranya Somalia, Irak, Syria, Yaman, Iran, Libya, dan Sudan.

Sontak kebijakan tersebut mendapatkan reaksi yang sangat keras bagi parlemen di Amerika, salah satunya adalah Ilhan Omar yang merupakan anggota kongres AS keturunan Somalia menolak keras bagi kebijakan tersebut karena dianggap sebagai suatu tindakan yang rasis. Ilhan Omar juga seringkali mendapatkan tindakan diskrimanitf oleh para pendukung Trump dengan mengatakan ''Send Her Back''. 

Kasus antara Ilhan Omar dengan Trump berawal ketika Ilhan Omar diwawancarai oleh Mehdi Hasan presenter dari Aljazeera terkait dengan Umat Muslim di AS.

Kemudian, ia menjawab bahwa kekerasan yang terjadi terhadap Umat Muslim di AS disesabkan oleh orang berkulit putih yang radikal tegasnya, ia juga mendorong agar seluruh lapisan elemen masyarakat AS harus bahu-membahu melawan rasisme di AS.

Namun, justru video terebut dipotong oleh Molly Prince seorang politisi sayap kanan AS yang seolah-olah mengatakan apa yang disampaikan oleh Ilhan Omar adalah rasis dan disebarkan oleh Christian Broadcasting Network (CBN). Sehingga apa yang dilakukan oleh Molly Prince memberikan respon negatif terutama bagi para pendukung Trump.

Ketiga, terkait dengan kebijakan luar negeri AS, Trump memindahkan kedutaanya yang semula berada di Tel Aviv yang kemudian dipindahkan ke Yerusalem yang mana sebelum kepemimpinan Trump mulai dari Clinton, Bush, hingga Obama mereka semua menangguhkan untuk memindahkan kedubesnya.

Pasalnya, apabila AS memindahkan kedubes ke Yerusalem berati secara langsung AS dibawah kepemimpinan Trump mengakui kedaulatan Israel atas Yerusalem setelah wilayah tersebut seletah perang enam hari 1967. 

Hal ini juga menentutkan posisi Israel secara politik terhadap isu kota suci Yerusalem sebagai bagian dari ibu kota Israel semakin kuat. Tentunya, kebijakan yang dikeluarkan oleh Trump lagi-lagi mendapatkan protes baik dari kelompok Pro Demokrasi dan Muslim Amerika terlebih lagi bagi para penduduk Palestina baik di Tepi Barat maupun Gaza. Kemudian, terjadilah demonstrasi secara besar-besaran, di Tepi Barat misalnya ratusan orang ditembak karena melakukan demonstrasi di wilayah tersebut. 

Israel saat itu, berdalih bahwa penembakan itu dilakukan agar ingin menghentikan pengaruh Hamas yang ingin merebut kembali Yerusalem pasca pengakuan kedaulatan oleh Trump sedangkan, Hamas menyangkalnya dan mengatakan bahwa tindakan Amerika dan Israel adalah sebagai bentuk dari aneksasi illegal.

Ironinya, setelah kebijakan itu diberlakukan Benjamin Netanyahu (Bibi panggilan akrabnya) membuat pemukiman Yahudi di Daratan Tinggi Golan dengan mengubah nama menjadi Daratan Tinggi Trump sebagai bentuk ucapan terimakasih pada Trump atas pengakuan Yerusalem menjadi ibu kota negaranya. 

Setidaknya ada beberapa negara yang memindahkan kedubesnya ke Yerusalem dianaranya AS, Australia, Guatemala, Paraguay, Brazil, Honduras, Ceko, Moldova, hingga Serbia sebagai negara pertama di Eropa yang akan berencana untuk memindahkan kantor kedubesnya ke Yerusalem tahun 2021 yang akan datang.

Unjuk rasa terkait dengan kebijakan Trump dalam memindahkan kedutaan besarnya di Yerusalem terus dilakukan di berbagai baik negara Arab maupun negara Mayoritas Muslim lainnya tak ketercuali di Indonesia yang mengadakan aksi 212 sembari menolak dengan tegas tindakan yang dilakukan oleh Trump atas pengakuan wilayah Yerusalem.

Aksi 212 kemudian bahkan diliput secara langsung saat itu oleh media Aljazeera dan tentunya mendapatkan sambutan positif bagi Masyarakat Palestina. 

Dalam sikap politik Indonesia terkait dengan isu tersebut Indonesia tetap menolak dengan tegas bahkan mengecam atas apa yang dilakukan oleh AS dan Israel tersebut.

Melalui Kementrian Luar Negeri saat itu, Retno Marsudi mengungkapkannya dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR, di Kompleks arlemen Senayan tanggal 31 Mei 2018 lalu. Pemerintah Indonesia juga mendesak agar sekiranya AS membatalkan sikapnya atas Yerusalaem.

Namun, tidak diindahkan oleh AS saat itu hingga tetap pada pendiriannya. Ketika Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB isu tersebut kembali diangkat dan mendesak AS terkait dengan kebijakan yang berdampak bagi Masyarakat Palestina khususnya.  

Keempat, Kebijakan Amerika Serikat sebagai fasilitator dalam upaya normalisasi antara negara-negara Teluk dengan Israel. Sebelum menjelang pemilihan Amerika Serikat, Trump dengan siap akan menjadi fasilitator bagi negara-negara Arab yang ingin melakukan kerjasama dengan Israel. Ketika pertama kali Israel dan Uni Emirat Arab sepakat untuk melakukan hubungan kerjasama yang kemudian diikuti oleh negara Arab lainnya seperti Bahrain, Oman, dan Mesir. 

Langkah tersebut diambil oleh negara Arab karena dianggap lebih menguntungkan yang sebenarnya sudah dilakukan pertama kali oleh Yordania pada tahun 1994 lalu ketika Raja Hussein dan Mantan PM Israel Yitzhak Rabin melakukan hubungan bilateral tersebut.

Sikap Raja Hussein saat itu dibandingkan dengan para pemimpin Arab lainnya cenderung memiliki sikap orientasi Barat sehingga apa yang dilakukan oleh Raja Hussein saat itu sangat berdampak bagi negara Arab dan mengakibatkan kekecewaan pada dunia Arab. 

Terutama pada organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang menentang secara tegas tindakan yang dilakukan oleh Yordania kala itu. Kebijakan yang dilakukan oleh Raja Hussein saat itu menginginkan agar batas wilayah antara Israel-Yordania jelas karena sebelum dilakukan normalisasi hubungan tersebut antara Yordania maupun Israel saling klaim atas wilayahnya.

LANTAS, BAGAIMANA RENCANA KEBIJAKAN BIDEN BAGI MASALAH PALESTINA?

Joe Biden akhir-akhir ini dianggap sebagai tokoh yang sangat dekat dengan Umat Islam di AS, apa sebabnya?

Sebab dalam janji-janjinya ia akan selalu mengedepan hak-hak bagi Umat Muslim, para migran baik dari negara Muslim maupun Meksiko serta warga keturunan Afro-Amerika pasca insiden Goerge Flyod yang menyebabkan demonstrasi secara besar-besaran hingga Trump saat itu terpaksa berlindung di bunker Istana Presiden ketika terjadi demonstrasi secara besar-besaran warga AS pada Juni lalu. 

Secara kekuataan politik apabila Biden jika dihadapkan dengan Trump posisi Biden sangat diuntungkan karena mayoritas pendukung Biden adalah kaum pro demokrasi, umat Islam, dan warga Keturunan Afro-Amerika sedangkan Trump hanya didukung oleh kalangan konservatif dan warga Yahudi Amerika. 

Sehingga jika dilihat berdasarkan hitungan matematis posisi Biden jauh lebih unggul ketimbang Trump. Namun, kenyataanya justru persaingan antara Trump melawan Biden sangatlah ketat baginya Trump bukan lawan sembarang bagi perebutan menuju orang nomor satu di AS tersebut.

Bahkan seorang Jurnalis Australia menyebutkan jika kondisi politik AS saat ini sama halnya seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 2019 lalu, pasalnya kondisi kedua masing-masing pendukung baik kubu Trump maupun Biden sama-sama melakukan ujaran kebencian diantara keduanya.

Keberadaan Biden tentunya membuat "khawatir"  Israel mengingat Trump bisa dikatakan sebagai sekutu Israel dalam sejarah hubungan Diplomatik Israel-AS setelah masa kepemimpinan George W. Bush.

Seperti yang dikutip dari Pikiran Rakyat bahwa jika Biden menang, Israel akan khawatir jika AS membuka kembali kesepakatan nuklir dengan Iran yang sebelumnya telah dihentikan oleh Trump pada tahun 2018 lalu.

Bahkan para pejabat Israel mengatakan bahwa tidak ragu-ragu untuk menyatakan bahwa "langit mungkin jatuh ke Israel" jika ternyata Biden adalah presiden terpilih Amerika Serikat selanjutnya. 

Karena sikap Biden yang lebih pro terhadap Islam itu, Biden juga sempat mengucapkan kalimat ''Insyallah'' pada debat presiden AS yang pertama.

Kalimat tersebut tentunya menimbukan reaksi yang beragam terutama di kalangan Umat Islam Dunia ada yang menyebutkan sebagai tindakan sarkasme pada kebijakan Trump soal kasus penggelapan pajak. 

Ada yang mendukung kalimat yang diucapkan oleh Biden seperti Wajahat Ali seorang politikus Islam, akan tetapi juga yang menilai bahwa apa yang diucapkan oleh Biden sebagai candaan seperti yang dilontarkan oleh Meriam Masmoudi dan Tamer El Ghobashy dikutip dari Republika seperti yang dilansir dari About Islam Namun tidak berpengaruh pada jumlah suara dan dukungan Muslim di Amerika.

Dengan demikian jika memang Biden terpilih menjadi Presiden AS, Amerika akan mengulangi hubungan yang harmonis antara Islam, Arab, dan Palestina seperti yang dilakukan oleh para pendahulunya yakni Obama. Namun di tahun 1991 Mantan Presiden AS George H.W. Bush merupakan sosok presiden yang menentang kebijakan Israel dan adalah presiden pertama AS yang mendukung upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. 

Di masa kepemimpinannya, presiden ke-41 AS tersebut mengadakan Konferensi Madrid sebuah upaya perjanjian damai yang akan mengarah pada Perjanjian Oslo antara Israel di bawah pimpinan Yitzhak Rabin dan Palestina yang di bawah pimpinan Yaseer Arafat serta Bill Clinton pengganti dari George H.W. Bush pada tanggal 20 Agustus 1993 silam.

Secara singkat, isi dari Perjanjian tersebut adalah Israel dan Palestina akan melakukan cara-cara yang lebih diplomatis dan mereka sepakat untuk melakukan gencatan senjata. 

Sehingga harapannya, jika Biden menang akan terulang kembali harmonisasi hubungan AS-Palestina serta dunia Islam dan tentunya akan lebih menguntungkan bagi Palestina terkait kebijakannya terutama dalam membatasi permukiman yahudi di Tepi Barat dan Gaza.

Sehingga wajar saja jika pemilih Muslim pada pemilu AS kali ini lebih memilih Biden ketimbang Trump dengan segala harapan dan doanya agar Biden bisa memenangkan pemilihan tersebut dan melaksanakan janji-janji bagi Umat Islam Dunia terutama Palestina.

Samudra Eka Cipta (06 November 2020)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun