Mohon tunggu...
Samudra Eka Cipta
Samudra Eka Cipta Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Travel dan Jalan-Jalan

Jadikanlah Setiap Peristiwa Sebagai Guyonan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Charlie Hebdo dan Gelombang Kekerasan di Eropa

4 November 2020   16:39 Diperbarui: 7 November 2020   02:50 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diolah dari realitiabadi.blogspot.com

Beberapa waktu lalu dihebohkan dengan munculnya cover majalah yang berisikan tentang penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW yang merupakan pembesar umat Islam. Sontak menimbulkan berbagai reaksi terutama oleh Islam karena dianggap sebagai bentuk penghinaan. Charlie Hebdo yang merupakan surat kabar mingguan satir Prancis, menampilkan kartun, laporan, polemik dan lelucon. 

Secara nyaring non-konformis dalam penyuaraan sehingga seringkali majalah tersebut selalu membuat kegaduhan bagi para pembacanya. Majalah ini kerap kali mengkritik sayap kanan, termasuk politik, budaya, dan beberapa agama meliputi Katolik, Yudaisme, dan Islam. Dilansir dari The Signal, Charlie Hebdo meyakini bahwa freedom of speech atau kebebasan berbicara dalam jurnalistik tidak memiliki batasan apapun.

BAGAIMANA PERKEMBANGAN AWAL MAJALAH CHARLIE HEBDO?

Charlie Hebdo merupakan sebuah majalah satire yang sudah didirikan sejak tahun 1960 oleh Francois Cavanna dan George Bernier yang merupakan jurnalis sekaligus kartunis. 

Mereka sepakat mendirikan harian Koran yang bernama Hara-Kiri yang merupakan suatu istilah yang lazim dipakai oleh masyarakat Jepang merupakan sebuah tradisi bunuh diri. 

Dalam tradisi Masyarakat Indonesia pemilihan sebuah nama merupakan bentuk doa. Wajar saja majalah tersebut tidak bertahann lama sehingga pada tahun 1961 majalah tersebut resmi bubar. Penyebab dari dibubarkannya majalah tersebut dikarenakan adanya perselisihan antara Cavanna dengan Bernier terkait dengan manajemen kepenulisan.

Kemudian pada tahun 1970 barulah didirikan Majalah Charlie Hebdo, pertama kali majalah ini muncul adalah ketika itu pada November 1970, mantan presiden Prancis Charles de Gaulle meninggal di desa asalnya, Colombey-les-Deux-glises, delapan hari setelah bencana di sebuah klub malam, kebakaran yang terjadi di wilayah tersebut menyebabkan kematian 146 orang. 

Setelah kematian Mantan Presiden Prancis tersebut majalah itu sudah mulai menunjukkann sikap anti terhadap Charles de Gaulie pada tahun 1981 sehingga otoritas Prancis menangkap para editor yang terlibat sekaligus memberhentikan majalah mingguan tersebut. Hingga akhirnya pada tahun 1992, Charlie Hebdo kembali beroperasi, dan menerbitkan publikasi pertamanya yang berhasil terjual 100 ribu eksemplar (dikutip dari https://bagikanberita.pikiranrakyat.com ).

KONTROVERSI MAJALAH CHARLIE HEBDO

Pada tahun 2015 silam setalah munculnya insiden jatuhnya Malaysian Airlines yang hingga saat ini belum ditemukan puing-puingnya majalah ini menampilkan gambar yang berisikan penghinaan terhadap Pemerintah Malaysia terkait dengan insiden jatuhnya pesawat tersebut yang menganggap kelalaian Malaysia dalam dunia penerbangan yang saat itu dieditori oleh Stephane Charbonnier.

Sontak membuat marah reaksi PM Malaysia yang saat itu masih diketuai oleh Najib Razak dan rakyat Malaysia yang mengatakan bahwa majalah itu jauh dari kata ''kode etik'' dalam penerbitan dan penyiarannya (Dikutip dari Selina Sykes, diakses https://express.co.uk ) .

Jauh sebelum insiden Malaysian Airlines tepatnya pada tahun 2008 Majalah Charlie Hebdo menerbitkan statement yang menyetakan bahwa Imigran Palestina yang bermukim di Prancis merupakan imigran yang terlantar dan tidak memiliki kewarganegaraan yang jelas. Bahkan menyebutnya sebagai bangsa yang tidak mempunyai tanah airnya sendiri kedua setelah Bangsa Yahudi. Sehingga lagi-lagi menimbulkan keresahan bagi kaum Migran terutama dari wilayah Timur Tengah.

Kemudian pada tahun 2016 majalah itu juga pernah menghina Presiden Trump ketika muncul isu Perang Nuklir antara AS-Korut dengan menampilkan gambar sampul pada majalah itu menampilkan kartun Trump yang sedang menyeringai dengan jas hitam, memegangi seorang wanita di antara kedua kakinya dan menjuntai terbalik. "Haruskah kita memberinya tombol nuklir?" bunyi judul di atasnya.

PENGHINAAN TERHADAP UMAT ISLAM

Sebelum insiden Oktober 2020 majalah Charlie Hebdo pertama kali menghina Umat Islam melalu gambar yang berisikan tentang Penghinaan Terhadap Nabi Muhammad. Pada 2006, majalah Charlie Hebdo mencetak ulang kartun tentang Nabi Muhammad dan diberi judul Mahomet deborde par les intgristes yang maksudnya adalah bahwa Nabi Muhammad seperti yang dituduhkan oleh Majalah Charlie Hebdo dianggap sebagai tokoh yang konservatisme dalam kehidupan agama. 

Majalah kontroversi ini merupakan cetakan ulang dari surat kabar di Denmark Jyllands-Posten. Presiden Prancis, Jacques Chirac yang berkuasa ketika itu mengkritisi keputusan Charlie Hebdo dan menyebutnya sebagai tindakan provokasii. Kritikan itu tak membuat jera Charlie Hebdo dengan mengunggah lagi karikatur Nabi Muhammad. Pada 2011, kantor Charlie Hebdo dilempar bom molotof karena publikasi karikatur itu. 

Serangan demi serangan terhadap kantor berita tersebut terus terjadi dan memuncak pada tahun 7 Januari 2015 yang saat itu terjadi penyerangan yang dilakukan oleh tigs orang masuk ke dalam kantor berita tersebut dan menyebabkan korban tewas sebanyak 12 orang. Motif penyerangan tersebut karena penghinaan majalah itu terkait simbol-simbol keagamaan. Pelaku penyerangan tersebut adalah Sad Kouachi dan Chrif Kouachi (Andrew Marszal, 2017 diakes dari https://www.telegraph.co.uk ).

BERUJUNG PADA KEKERASAN SENTIMEN AGAMA DI EROPA

Seperti tidak merasa jera dan kapok Majalah Charlie Hebdo terus melakukan penghinaan terutama terhadap Umat Islam dan Kaum Migran. Dengan dalih freedom of speech menjadikannya landasan untuk terus melakukan kebencian terhadap agama tertentu serta mengabaikan kode etik dalam kebebasan pers yang dilakukan oleh Charlie Hebdo. 

Ketika terbitnya harian Charlie Hebdo yang berisikan tentang penghinaan terhadap Islam selalu diikuti dan diawali dengan serangkaian aksi kekerasan dan demonstrasi anti-Islam di berbagai negara terutama Swedia dan Norwegia yang beberapa waktu lalu dihebohkan dengan aksi pembakaran Al-Qur'an pada awal September 2020 lalu. 

Aksi pembakaran Al-Qur'an dilakukan oleh Rasmus Paludan seorang politikus sayap kanan Swedia dan diikuti oleh aksi yang dilakukan oleh politikus ''anti-Islam'' lainnya seperti Geert Wilders yang merupakan politikus sayap kana nasal Belanda yang disinyair juga terlibat dengan aksi pembakaran Al-Qur'an yang dilakukan di Swedia (dikutip dari https://surabaya.tribunnews.com).

Setelah muncul kembali terkait dengan penghinaan Majalah Charlie Hebdo terhadap Umat Islam muncul gelombang protes terutama dari kalangan Umat Islam banyak produk-produk Prancis seperti Unilever dan Danone yang merupakan produk makanan dan gaya hidup yang kemudian diboikot di sejumlah negara seperti Arab Saudi, Mesir, Palestina, Kuwait, dan Iran. 

Di Indonesia juga melakukan hal demikian dan mengadakan aksi demonstrasi ke Konsulat Prancis bahkan ada yang berdemonstrasi di Lembaga Pendidikan IFI (Institut Francais d'Indonsie) merupakan sebuah lembaga pendidikan bahasa yang dinaungi langsung oleh Kedutaan dan Konsulat Prancis di Indonesia seperti yang di Bandung.

Disaat yang bersamaan muncul kasus serangan terhadap komunitas Muslim-Kristen di Prancis dan Austria sebagai buntut dari serangkaian aksi penghinaan dan pembakaran kitab suci sebagai bagian dari unsur keagamaan. 

Di Prancis selama kurun bulan Oktober 2020 terjadi penyerangan terhadap salah satu guru sekolah dasar yakni Samuel Patty berawal dari penunjukkan karikatur Nabi Muhammad ketika ia mengajar di SMA dihadapan muridnya Samuel Patty menjelaskan hal tersebut sehingga setelahnya Samuel Patty dibunuh oleh muridnya sendiri yang bernama Abdullakh Anzorov bersama dengan enam orang lainnya ditahan sekaligus ditembak mati oleh Kepolisian Prancis (dikutip dari https://www.cnnindonesia.com).

Di Austria terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh Kaum Jihadis tepatnya di Wina terjadi pada 30 Oktober 2020 tepatnya dua hari yang lalu yang menyebabkan empat orang tewas. Meskipun belum diketahui apakah ada kaitannya dengan Kasus Majalah Charlie Hebdo yang ada di Prancis.  

Peristiwa ini terjadi beberapa jam sebelum Austria memberlakukan aturan nasional guna menghentikan penularan virus corona. Banyak warga tengah bersenang-senang di restoran dan bar sebelum tempat-tempat itu tutup hingga akhir November.  

Namun apa yang ingin disampaikan disini adalah bahwa serangan terorisme yang terjadi di Eropa baru-baru ini merupakan serangan kekerasan yang berlatang belakangi oleh sentimen anti agama di Eropa. 

Secara keseluruhan jika berkaca pada politik di Eropa memang Eropa merupakan wilayah dengan sekulerisme terbesar namun terdapat beberapa politikus yang anti terhadap Islam mereka inilah yang memainkan peran penting dalam isu yang sedang terjadi di Eropa bahkan menimbulkan serangan yang berujung pada kekerasan (dikutip dari bbc.com).

Referensi:

satu, dua, tiga, empat, lima, enam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun