Sontak membuat marah reaksi PM Malaysia yang saat itu masih diketuai oleh Najib Razak dan rakyat Malaysia yang mengatakan bahwa majalah itu jauh dari kata ''kode etik'' dalam penerbitan dan penyiarannya (Dikutip dari Selina Sykes, diakses https://express.co.uk ) .
Jauh sebelum insiden Malaysian Airlines tepatnya pada tahun 2008 Majalah Charlie Hebdo menerbitkan statement yang menyetakan bahwa Imigran Palestina yang bermukim di Prancis merupakan imigran yang terlantar dan tidak memiliki kewarganegaraan yang jelas. Bahkan menyebutnya sebagai bangsa yang tidak mempunyai tanah airnya sendiri kedua setelah Bangsa Yahudi. Sehingga lagi-lagi menimbulkan keresahan bagi kaum Migran terutama dari wilayah Timur Tengah.
Kemudian pada tahun 2016 majalah itu juga pernah menghina Presiden Trump ketika muncul isu Perang Nuklir antara AS-Korut dengan menampilkan gambar sampul pada majalah itu menampilkan kartun Trump yang sedang menyeringai dengan jas hitam, memegangi seorang wanita di antara kedua kakinya dan menjuntai terbalik. "Haruskah kita memberinya tombol nuklir?" bunyi judul di atasnya.
PENGHINAAN TERHADAP UMAT ISLAM
Sebelum insiden Oktober 2020 majalah Charlie Hebdo pertama kali menghina Umat Islam melalu gambar yang berisikan tentang Penghinaan Terhadap Nabi Muhammad. Pada 2006, majalah Charlie Hebdo mencetak ulang kartun tentang Nabi Muhammad dan diberi judul Mahomet deborde par les intgristes yang maksudnya adalah bahwa Nabi Muhammad seperti yang dituduhkan oleh Majalah Charlie Hebdo dianggap sebagai tokoh yang konservatisme dalam kehidupan agama.Â
Majalah kontroversi ini merupakan cetakan ulang dari surat kabar di Denmark Jyllands-Posten. Presiden Prancis, Jacques Chirac yang berkuasa ketika itu mengkritisi keputusan Charlie Hebdo dan menyebutnya sebagai tindakan provokasii. Kritikan itu tak membuat jera Charlie Hebdo dengan mengunggah lagi karikatur Nabi Muhammad. Pada 2011, kantor Charlie Hebdo dilempar bom molotof karena publikasi karikatur itu.Â
Serangan demi serangan terhadap kantor berita tersebut terus terjadi dan memuncak pada tahun 7 Januari 2015 yang saat itu terjadi penyerangan yang dilakukan oleh tigs orang masuk ke dalam kantor berita tersebut dan menyebabkan korban tewas sebanyak 12 orang. Motif penyerangan tersebut karena penghinaan majalah itu terkait simbol-simbol keagamaan. Pelaku penyerangan tersebut adalah Sad Kouachi dan Chrif Kouachi (Andrew Marszal, 2017 diakes dari https://www.telegraph.co.uk ).
BERUJUNG PADA KEKERASAN SENTIMEN AGAMA DI EROPA
Seperti tidak merasa jera dan kapok Majalah Charlie Hebdo terus melakukan penghinaan terutama terhadap Umat Islam dan Kaum Migran. Dengan dalih freedom of speech menjadikannya landasan untuk terus melakukan kebencian terhadap agama tertentu serta mengabaikan kode etik dalam kebebasan pers yang dilakukan oleh Charlie Hebdo.Â
Ketika terbitnya harian Charlie Hebdo yang berisikan tentang penghinaan terhadap Islam selalu diikuti dan diawali dengan serangkaian aksi kekerasan dan demonstrasi anti-Islam di berbagai negara terutama Swedia dan Norwegia yang beberapa waktu lalu dihebohkan dengan aksi pembakaran Al-Qur'an pada awal September 2020 lalu.Â
Aksi pembakaran Al-Qur'an dilakukan oleh Rasmus Paludan seorang politikus sayap kanan Swedia dan diikuti oleh aksi yang dilakukan oleh politikus ''anti-Islam'' lainnya seperti Geert Wilders yang merupakan politikus sayap kana nasal Belanda yang disinyair juga terlibat dengan aksi pembakaran Al-Qur'an yang dilakukan di Swedia (dikutip dari https://surabaya.tribunnews.com).