Mohon tunggu...
SAMSURYADI AL BARRU
SAMSURYADI AL BARRU Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Lepas, Bercita-cita Naik Kapal Selam

Samsuryadi al barru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjalanan Panjang, Kutemukan Negeri Bugis yang Hilang

23 November 2020   21:45 Diperbarui: 1 Desember 2020   12:05 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillah, Terimakasih Kepada Allah Tuhan Semseta Alam, yang telah menakdirkan penulis untuk bisa sampai dan menjelajah di Kabupaten Pontianak dan Kuburaya Selama Sebulan ini.

Kecintaan perilis terhadap suku bugis dan memperkenalkan bugis dimanapun merupakan citacita bagian dari pencarian keluarga besar yang orang tua kami titip pesankan. (Sappai Appangmu Nak nasaba idi Tau pa'biring mi iko manengmi tu irengnuang sappa maneng,i sumpung lolomu nasaba narapi umuru'ni) Cari kau keturunan mana nak, karna kalian semualah yang diharap, kita hanya orang pinggiran, kalian semualah diaharap mencari keluarga yang lain, karena kami sudah sampai umur.

Ugi, Ogi, Atau Bugis merupakan suku yang berasal dari Sulawesi Selatan, suku ini tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu (Melayu muda). Sebuah artikel di website diskominfo Wajo, menjelaskan Kata Bugis berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan Ugi merujuk pada raja pertama kerajaan China yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo, yaitu La Sattumpugi.Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau pengikut La Sattumpugi. 

La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang ditulis oleh Ratu asal Tanete Barru yakni colliq pujie era abad 18 sebagai karya mitologi sastra terbesar di dunia melebihi mahabarata. 

Beberapa kerajaan Bugis klasik seperti Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng, dan Rappang. Suku Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, dan Barru.
Masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir. Mayoritas masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. 

Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah berdagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Suku Bugis juga dikenal piawai merantau mengarungi samudra. Wilayah perantauan mereka hingga ke Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Arab, Australia, Madagaskar, Amerika, Belanda, Perancis dan Afrika Selatan. Penyebab merantau disebutkan antara lain karena konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18, dan 19. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. 

Christian Pelras dalam bukunya yang berjudul The Bugis, bercerita tentang riwayat hidup masyarakat Bugis dari awal abad pertama hingga abad kontemporer. Melalui karyanya itu, Pelras menuliskan kehidupan masyarakat Bugis yang pada awalnya merupaman masyarakat agraris, kemudian bermigrasi sejak jatuhnya Makassar pada tahun 1666.

Mereka mengasingkan diri Di perantauan, orang-orang Bugis terkenal sebagai pelaut ulung, serdadu hebat, dan penguasa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Peran dan kiprah mereka, telah mewarnai perjalanan sejarah Indonesia, khususnya pada tahun 1800 dan 1900 Masehi.

Singkat cerita, Konflik pertikaian hebat antara raja-raja Bugis dan Gowa/Makassar (Mangkasara’) abad ke 17, 18 dan 19 menjadi latar belakang migrasi orang-orang dari timur jazirah Sulawesi Selatan, dari Wajo soppeng, tanete hingga Bone.

Arung Palakka mewakili perjuangan entitas Bone yang hendak otonom melawan hegemoni Sultan Hasanuddin di kubu Gowa, dan mulai membangun strategi hingga bersekutu dengan belanda demi melepaskan dan memerdekaan orang-orang bugis bone yang menjadi tawanan gowa era itu.

Orang Bugis ditemukan di hampir semua pesisir Nusantara, dari Pulau Simuelue di Aceh hingga Pulau Kolepom di Merauke.  
Mereka menjadi corak perlawanan dan perjuangan sejak lampau dan menjadi panutan sekaligus pemberi warna catatan sejarah Indonesia.

Nama-nama tenar seperti Jenderal M. Jusuf, BJ. Habibie, Sandiaga uno, Jusuf Kalla, Najib Tun Razak. Raja Ali Haji, Erna Witoelar, lanyalla mattalitti,  Syamsul bahri, Nurdin halid, Aksa Mahmud, Sri nurmaal tohl di australia, Syamsi ali imam islamic center amerika, dan banyak lagi yang datang dari bumi jazirah timur Pulau Sulawesi itu.

Data yang lain menunjukkan penduduk Indonesia keturunan Bugis ditaksir 6 juta jiwa. Sebanyak 50 persen berada di Sulawesi Selatan, sekitar 20 persen di Sulawesi Tenggara dan Tengah, 20 persen di Kalimantan Timur, Barat dan Selatan.

Di Malaysia diperkiran bermukim 800 jiwa. Selebihnya di Singapura, Kalimantan Utara, Riau, Jambi , Bangka Belitung dan Riau. Ribuan lainnya tersebar di Maluku, Nusatenggara dan Papua. Di provinsi Seribu Sungai Kalimantan Barat diperkirakan ada 150 ribu jiwa sebagai keturunan Bugis.

Dan ini merupakan perjalanan pertama saya menempuh waktu kurang lebih empat jam untuk sampai di daerah yang terkenal Ikan Arwana Super Red ujung barat kalimantan.

Pontianak 23 november  2020, dalam sebuah perkenalan saya dengan salah satu tokoh mahasiswa yang berlatar belakang hijau hitam, Namanya Ferry Saat ini menjabat selaku ketua IKAMI SULSEL Cabang Pontianak menjadi pemacu semangat menggali saya menggali rasa keingin tahuan mengapa sangat banyak sekali saya menemukan keunikan di negeri melayu ini, Ferry menjelaskan tentang akulturasi suku suku unik selain bangsa melayu dan dayak sebagai pribumi, jawa, bugis, china dan mongol telah hadir sebagai pelengkap dinamisasi struktur sosial di kalimantan barat

Hal tersebut terbukti beberapa pejabat yang silih berganti yang tanpa mengenal suku bangsa dan agama, kadang waktu bupati melayu, walikota bugis, camat dayak, hingga kepala desa china, menguatkan betapa harmoni provinsi ini begitu mengedepankan sikap pancasilais, yang demokratis.

Kembali ketopik, rasanya tak cukup ketika dalam tulisan ini jika membahas banyak hal tentang suku suku tadi. Kisah terdiasporanya masyarakat Sulawesi Selatan ke seluruh Nusantara, bermula dari ide Arung Palakka yang meminta bala bantuan Hindia-Belanda. Ketika itu, Kerajaan Bone yang dipimpinnya, memang dalam keadaan terjepit. Di bawah kendali Sultan Hasanuddin, Kesultanan Gowa tetangga sekaligus pesaingnya, mencapai puncak peradaban. Wilayahnya yang terus berkembang, mengancam eksistensi Bone yang semakin rapuh. 

Di pihak lain, ekspansi dagang Gowa ke seberang lautan, juga mengancam jaringan perdagangan Belanda di Indonesia Timur. Keadaan ini menyebabkan, terjadinya aliansi Bone-Belanda di Sulawesi.

Kuatnya aliansi Bone-Belanda, berakibat pada jatuhnya benteng Makassar ke tangan Kompeni. Keadaan ini semakin diperparah oleh Perjanjian Bongaya tahun 1666, yang melarang orang-orang Makassar pergi melaut. Hingga usai Perang Makassar tahun 1669, seluruh wilayah Kesultanan Gowa telah menjadi bagian dari Pax Nederlandica. 

Orang Bugis yang tak puas dengan kondisi politik Sulawesi di bagian Selatan ini, memilih untuk pergi merantau dan mengancam Belanda di perairan. Mereka bertekad, akan melawan setiap kapal-kapal Belanda yang mereka temui di lautan. tak heran mengapa bagi belamda Bugis itu adalah bajak laut.

Sebenarnya banyak Hal-hal kemudian memicu pertentangan dikalangan internal orang bugis yang melahirkan suatu solusi bahwa jika merantau adalah bukanlah sebagai bentuk dari sifat apatis, namun sebuah perlawanan menuju keseimbangan baru yang mereka sebut kedamaian.

Banyak dari kalangan arung bugis, dewan kerajaan, yang ikhlas melepas gelarnya menjadi rakyat biasa dengan membawa pengikutnya di tepi pantai bermuara dan membuat suatu perkampungan.

Maka tak heran jika hari ini kita temui kebanyakan orang-orang bugis perantauan bermukim tak jauh dari pantai atau pelabuhan.

Mereka dikenal sebagai padangkang atau pedagang ulung yang lihai dalam berbisnis, disisi lain mereka mengajarkan anak-anaknya berlayar mengarungi lautan menjadi nelayan, dan membawa pulang hasil tangkap yang kemudian menjadi konsumsi sehari-hari dan sisanya di perdagangkan di pasar-pasar rakyat.

Lambat laun komunitas ini pun tumbuh dan melahirkan banyak turunan, mereka pun terlatih dan menjadi suku yang disegani, dikarenakan suku bugis begitu kental dengan watak persatuan, dan semangat belajar berperangnya  tinggi.

Di bumi bagian lain, Menjadi bajak laut dan serdadu bayaran, merupakan dua profesi utama perantau Bugis. Kiprah bajak laut dan perompak Bugis, agak samar-samar terdengar. Di kalangan ahli dan sejarawan, eksistensi mereka sempat menjadi perdebatan. Namun Bernard Vlekke, dalam bukunya : “Nusantara, Sejarah Indonesia”, melukiskan keberadaan armada perompak Bugis yang banyak berkeliaran di perairan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda, dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang internal antar-mereka. Walau kiprah lanun Bugis tidak lebih hebat dari orang-orang Moro, namun serangan sporadis yang mereka lancarkan, kerap menjadi momok menakutkan bagi perusahaan dagang Belanda : VOC.

Reputasi mereka sebagai serdadu bayaran, juga dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk memperluas jajahannya. Pada masa Perang Paderi (1803-1838), selain orang-orang Ambon dan Madura, laskar Bugis dikenal sebagai serdadu Belanda yang tangguh. 

Di Jawa, di bawah pimpinan Karaeng Galesong dan Karaeng Naba, mereka berperang melawan pasukan Trunojoyo membela boneka Belanda, Prabu Mangkurat II. Di Banten, pasukan Bugis juga turut membantu Belanda membersihkan sisa-sisa pengikut Sultan Ageng Tirtayasa.
Tahun 1722 huru hara besar terjadi di Johor. 

Era ini menjadi awal mula serdadu bayaran Bugis berkiprah dalam percaturan politik kerajaan-kerajaan semenanjung. Pada saat itu, pasukan Bugis pimpinan Daeng Perani, menjadi tentara sewaan Bendahara Abdul Jalil untuk merebut tahta Johor dari tangan Raja Kecil, seorang pengelana asal Pagaruyung. 

Dalam peperangan itu, pasukan Bugis berhasil memenangkan pertarungan, sekaligus menaikkan Abdul Jalil ke singgasana Johor. Walau Abdul Jalil naik tahta, namun posisinya di kerajaan hanya menjadi bayang-bayang Bugis. Pada masa selanjutnya, raja-raja Johor justru banyak datang dari kalangan Bugis-Makassar.

Kerajaan Selangor yang lahir pada abad ke-18, juga didirikan oleh seorang Bugis bergelar Sultan Salehuddin Syah. Dari penelusuran silsilah raja-raja Bugis, diketahui bahwa Salehuddin Syah atau Raja Lumu, merupakan keturunan Daeng Cella, salah satu dari empat saudara Daeng Perani. Kedua kakak-beradik itu, adalah cicit dari raja Luwu terkemuka, Wetenrileleang. Melengkapi Lontara Akkarungeng yang sudah tua, kitab Tuhfat al-Nafis karangan Raja Ali Haji, juga menceritakan kebesaran Bugis di masa lampau.

Penduduk Indonesia keturunan Bugis ditaksir 6 juta jiwa. Sebanyak 50 persen berada di Sulawesi Selatan, sekitar 20 persen di Sulawesi Tenggara dan Tengah, 20 persen di Kalimantan Timur, Barat dan Selatan.

Di Malaysia diperkiran bermukim 800 jiwa. Selebihnya di Singapura, Kalimantan Utara, Riau, Jambi , Bangka Belitung dan Riau. Ribuan lainnya tersebar di Maluku, Nusatenggara dan Papua. Di provinsi Seribu Sungai Kalimantan Barat diperkirakan ada 150 ribu jiwa sebagai keturunan Bugis.

Dari perkiraan 1 juta keturunan Bugis di Pulau Kalimantan, ditaksir 30% ada di Kalimantan Barat, dan untuk Kalbar, 50% ada di Kubu Raya. Sumber passole(dot)id Tulisan ini berjudul Perjalanan Panjang, Kutemukan Negeri Bugis Yang Hilang 

Dalam wawancara singkat saya dengan Ferry Ketua Ikami Sulsel Cabang Pontianak, dirinya mengakui kelahiran Mempawah namun dia tak mau disebut melayu dikarenakan di dalam darahnya ada darah keturunan Bugis Bone. Bone adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan atau berjarak kurang lebih 1300 kilometer ke timur dari pontianak. Yahh sekampung dengan Jusuf Kalla  dong.

Dirinya merupakan generasi ke empat dari lingkungan keluarganya yang dikenal sebagai pedagang dan petani, dengan aktivitas sehari hari sebagai aktivis sosial ia menceritakan banyak hal tentang orang-orang bugis yang sukses di kalimantan barat, namun ada dua hal yang unik lagi lagi ketua IKAMI Sulsel Cabang Pontianak Ini, hanya tau sulawesi di PETA dan Tidak faham berbahasa bugis. Ia menceritakan semua itu dalam aksen Melayu khasnya.

Lanjut cerita dari perkiraan 1 juta keturunan Bugis di Pulau Kalimantan, ditaksir 30% ada di Kalimantan Barat, dan di Kubu Raya 50% dari total keseluruhan masyarakat keturunan bugis di Kalimantan Barat.

Peran penting masyarakat bugis semakin nampak,

Pontianak atau Kalimantan Barat ini dibangun oleh kerjasama antara penduduk transmigrasi, orang Dayak yang bermukim di hulu dan Melayu Bugis yang bermukim di pesisir, serta etnis china di perkotaan. Kemudian terjaga dengan Damai, semoga demikian adanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun