Sebenarnya banyak Hal-hal kemudian memicu pertentangan dikalangan internal orang bugis yang melahirkan suatu solusi bahwa jika merantau adalah bukanlah sebagai bentuk dari sifat apatis, namun sebuah perlawanan menuju keseimbangan baru yang mereka sebut kedamaian.
Banyak dari kalangan arung bugis, dewan kerajaan, yang ikhlas melepas gelarnya menjadi rakyat biasa dengan membawa pengikutnya di tepi pantai bermuara dan membuat suatu perkampungan.
Maka tak heran jika hari ini kita temui kebanyakan orang-orang bugis perantauan bermukim tak jauh dari pantai atau pelabuhan.
Mereka dikenal sebagai padangkang atau pedagang ulung yang lihai dalam berbisnis, disisi lain mereka mengajarkan anak-anaknya berlayar mengarungi lautan menjadi nelayan, dan membawa pulang hasil tangkap yang kemudian menjadi konsumsi sehari-hari dan sisanya di perdagangkan di pasar-pasar rakyat.
Lambat laun komunitas ini pun tumbuh dan melahirkan banyak turunan, mereka pun terlatih dan menjadi suku yang disegani, dikarenakan suku bugis begitu kental dengan watak persatuan, dan semangat belajar berperangnya tinggi.
Di bumi bagian lain, Menjadi bajak laut dan serdadu bayaran, merupakan dua profesi utama perantau Bugis. Kiprah bajak laut dan perompak Bugis, agak samar-samar terdengar. Di kalangan ahli dan sejarawan, eksistensi mereka sempat menjadi perdebatan. Namun Bernard Vlekke, dalam bukunya : “Nusantara, Sejarah Indonesia”, melukiskan keberadaan armada perompak Bugis yang banyak berkeliaran di perairan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda, dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang internal antar-mereka. Walau kiprah lanun Bugis tidak lebih hebat dari orang-orang Moro, namun serangan sporadis yang mereka lancarkan, kerap menjadi momok menakutkan bagi perusahaan dagang Belanda : VOC.
Reputasi mereka sebagai serdadu bayaran, juga dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk memperluas jajahannya. Pada masa Perang Paderi (1803-1838), selain orang-orang Ambon dan Madura, laskar Bugis dikenal sebagai serdadu Belanda yang tangguh.
Di Jawa, di bawah pimpinan Karaeng Galesong dan Karaeng Naba, mereka berperang melawan pasukan Trunojoyo membela boneka Belanda, Prabu Mangkurat II. Di Banten, pasukan Bugis juga turut membantu Belanda membersihkan sisa-sisa pengikut Sultan Ageng Tirtayasa.
Tahun 1722 huru hara besar terjadi di Johor.
Era ini menjadi awal mula serdadu bayaran Bugis berkiprah dalam percaturan politik kerajaan-kerajaan semenanjung. Pada saat itu, pasukan Bugis pimpinan Daeng Perani, menjadi tentara sewaan Bendahara Abdul Jalil untuk merebut tahta Johor dari tangan Raja Kecil, seorang pengelana asal Pagaruyung.
Dalam peperangan itu, pasukan Bugis berhasil memenangkan pertarungan, sekaligus menaikkan Abdul Jalil ke singgasana Johor. Walau Abdul Jalil naik tahta, namun posisinya di kerajaan hanya menjadi bayang-bayang Bugis. Pada masa selanjutnya, raja-raja Johor justru banyak datang dari kalangan Bugis-Makassar.
Kerajaan Selangor yang lahir pada abad ke-18, juga didirikan oleh seorang Bugis bergelar Sultan Salehuddin Syah. Dari penelusuran silsilah raja-raja Bugis, diketahui bahwa Salehuddin Syah atau Raja Lumu, merupakan keturunan Daeng Cella, salah satu dari empat saudara Daeng Perani. Kedua kakak-beradik itu, adalah cicit dari raja Luwu terkemuka, Wetenrileleang. Melengkapi Lontara Akkarungeng yang sudah tua, kitab Tuhfat al-Nafis karangan Raja Ali Haji, juga menceritakan kebesaran Bugis di masa lampau.